Sebagian Teman kan Musibah?

Hujan rintik mengawali pagi yang temaram oleh matahari yang tertutup awan gelap. Fajar bersembunyi di balik gunung Semeru di sisi timur. Di sudut selatan rumah, tak terlihat rombongan burung pipit yang biasanya terbang rendah. Kupu-kupu dengan sayap-sayap menawan yang tak terlihat sejak kemarin tak juga menampakkan batang hidungnya. Rasa-rasanya mendung Malang membuat orang-orang, bahkan hewan-hewan, tak mau beranjak dari peraduannya.

Tidak semua kehadiran kawan membuat kita bersyukur, kan? Beberapa menjengkelkan. Sebagian kayak angin lalu saja. Tak banyak dihiraukan.   

Itu komentar salah seorang teman setelah membaca Hadirmu Hadiah Terbaik Bagiku, yang membuatku kaget pagi itu. Pembahasannya sudah berat sekali. Ia lalu bercerita pengalamannya. Karena suatu tugas, ia mengajari orang lain, sebutlah namanya Kipli, prosedur menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Anggaplah tugas perencanaan. Ia sudah lama mengajarinya dengan segenap tenaga dan perhatian. Ia betul-betul maksimal hingga rasanya stok kesabarannya mulai menipis dan hampir saja habis.

Mungkin kehadirannya juga hadiah. Hadiah dari Tuhan agar kita belajar mengasah kemampuan sabar, ujarku sambil tertawa. Jadi, biar item nilai kesabaran kita di rapor tidak kosong.

Bisa jadi, balasnya sambil tertawa. Atau kita jadi bersyukur, kita tidak sebebal itu, lanjutnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Kadang kehadiran teman itu membuat kita bersyukur... dan kadang bersabar. Cuman kita saja yang tidak sabar, ucap seorang ustadz pada suatu ketika sambil menyunggingkan senyum.

Dan kemudian pada khutbah Jumat siang kali ini, sang khotib di Masjid Muhajirin Perumahan Joyogrand juga menyampaikan pesan serupa. Kata beliau, kita dari kecil sudah diajari dan belajar tentang dua hal: syukur dan sabar. 

Saat SMP, pelajarannya juga sama: syukur dan sabar. Saat sudah punya anak pun, pelajarannya kembali dua hal tadi itu: syukur dan sabar. Cuman, lanjut sang Ustadz, tingkatan syukur dan sabar kita jadi berbeda.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Pada awalnya, kukira syukur dan sabar itu juga sikap pasif. Setelah kita diberi sesuatu, kita lalu memilih untuk bersyukur atau bersabar, sesuai sikap default kita. Model mental kita. Setelah hidup sekian tahun, rasanya syukur dan sabar ini rasanya juga sikap aktif.

Misalnya, kita bisa menjadi teman yang selalu membantu dan hadir saat teman kita terpuruk. Dan kita hadir dan ikut bahagia saat teman kita beruntung. Artinya, kita menjadi sarana bagi teman kita tersebut untuk bersyukur dengan kehadiran kita. Di sisi ini, kita jadi SYUKUR. Atau kita bisa jadi SABAR. Misalnya, saat berjanji untuk datang, kita ingkar. Atau kita bercerita buruk-buruknya orang tersebut kepada orang lain. Atau menyumpahi teman kita saat terpuruk.

Nah, saat teman saya patah hati dulu, saya bilang "SYUKURIN" sambil tertawa terbahak-bahak. Kalau begitu, saya itu jadi SYUKUR atau SABAR? #entahlah

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »