Saat Tuhan Menguji Kata-Katamu

Leo Tolstoy pernah menulis salah satu cerpen yang sangat terkenal, dengan judul "God Sees the Truth, but Waits". Artinya kira-kira "Tuhan Maha Tahu, tetapi Menunggu." Beberapa orang merasa bahwa yang dimaksud Leo Tolstoy bukan harfiah. Bukan berarti bahwa Tuhan itu sukanya menunggu dan tidak melakukan apa-apa. Maksudnya kira-kira, Tuhan bekerja secara misterius. Tuhan menunggu. Menunggu kita berubah. Menunggu kita bertindak. Menunggu kita menyadari.

Begitu pula sehari setelah aku menulis tentang Sebatang Kara Tapi Tak Lantas Menderita. Kukira hanya tulisan biasa saja. Toh, hanya dari lagu yang kebetulan terdengar sepulang dari Batu. Ternyata Tuhan menunggu, tapi tak lama.

Jadi ceritanya: Selasa pagi itu, aku harus mengantarkan Kafka ke pinggir jalan untuk kemudian naik angkot ke sekolahnya. Tak ada yang aneh atau terasa berbeda. Semuanya normal saja. Kami juga bercakap seperti biasa.

Sepulang dari jalan raya, ada kucing yang terlihat linglung di tengah jalan masuk gang menuju rumah. Matanya sembab. Jalannya agak sempoyongan. Saat kulewati, kucing tiga warna itu hendak menyeberang jalan. Sontak, aku pun mengerem motor, menurunkan standar, lalu turun dari sepeda untuk meminggirkan kucing tersebut. Mencoba menyelamatkannya agar tidak tertabrak saat menyeberang perempatan yang pagi itu agak ramai.

Saat kutarik ke pinggir jalan, suaranya lemah seakan memohon-mohon untuk dipertemukan dengan sang induk. Mata kami bersirobok dan ia menatapku dengan melas. Sejurus kemudian, dia mengikuti langkahku dan berlindung di bawah sepeda motor. Karena tak bisa memajukan sepeda motor, kupinggirkan lagi kucing itu.

Setelah itu, kubetot gas sepeda motor agar bisa segera pulang. Sial, mata sembabnya terlintas di pikiran. Suara lirihnya terngiang-ngiang di telinga. Ingatanku lalu membawa ke tulisan tentang sebatang kara. Apakah pantas makhluk sekecil itu dibiarkan tak berdaya lalu mati sebatang kara? 

Sesampainya di rumah, kuberi tahu istri yang sedang masak tentang kucing kecil yang berjalan sempoyongan di jalan masuk gang. Sontak, istriku yang pecinta kucing langsung mengambil baju dan berjalan menuju lokasi kucing.

Beberapa menit kemudian, seperti sudah kuduga dia memeluk dan memangku makhluk kecil itu. Mata istriku ikut-ikutan sembab saat melihat kucing yang terlihat kehilangan daya. Ia mengelus kucing tersebut dengan penuh rasa iba. 

“Ayo kita adopsi kucing ini” katanya sambil menatapku untuk meminta persetujuan. Melihatku yang tak menunjukkan rasa keberatan, “Kita kasih nama kucing ini Mochi”. 

Menurutku, mengadopsi kucing mungil ini langkah yang paling pas. Aku juga tidak tega melihat kucing imut itu kedinginan. Keena lalu mengambil handuk untuk membantu menghangatkan kucing mungil itu. Beberapa menit setelah diselimuti handuk, ia terlihat lebih nyaman dan matanya lebih cerah.


Keena dan istriku lalu berangkat ke sekolah masing-masing. Siangnya, Kafka yang pulang dari sekolah kaget karena mendengar suara kucing. Wajahnya langsung semringah, katanya. 

Sepulangku dari kantor, kami  sekeluarga kembali berkumpul malam itu untuk melihat mochi.  

“Kita bawa ke dokter hewan saja ya” usul istriku. “Kita tidak akan mampu merawat kucing yang masih kecil dan semestinya dirawat oleh induknya ini.”

Tak ada yang setuju dengan usul itu. Karena Mochi sudah terlihat lebih sehat setelah kami beri makan creamy treat. Lebih bugar. Namun, ada satu masalah yang tak kunjung tuntas: baunya sangat tidak enak. Bau kecut, bau tanah, bau kotoran, dan bau urin bercampur. Amboi betul.

Di antara kabar baik dan kabar buruk itu, harapan kami hanya satu: Mochi bertahan hidup. Dan ia berhasil hidup sampai hari Sabtu. Empat hari. Pada hari Minggu pagi, kami putuskan untuk memandikannya biar baunya tak terlalu menusuk hidung.  

Namun, dari situ masalahnya muncul. Saat kumandikan, Mochi terlihat sempoyongan. Ia tak bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Beberapa saat kemudian, kami memutuskan untuk membawanya ke klinik dokter hewan.

Sesampainya di sana, dokter hewan perempuan berjilbab hitam dan berbaju biru keluar dari kamar. Ia lalu meminta kami membawa mochi ke meja periksa.  

Suara sang dokter langsung berubah parau seakan menahan tangis. Matanya ikut-ikutan sembab.  Setelah memeriksa suhu mochi yang ternyata 33 derajat dari semestinya 38 derajat, Mochi dihangatkan di suatu oven khusus kucing. Tujuannya, suhunya kembali normal.

“Kucingnya ini masih terlalu kecil, jadi belum punya imun. Kecil kemungkinan untuk bisa bertahan hidup, tapi kita berusaha ya.” Dari tatapannya, kami bisa membaca bahwa ia hanya berusaha menghibur. Ia tidak yakin Mochi akan bertahan hidup. 

mochi dihangatkan

Pukul 5 sore, masuklah pesan WA dari klinik dokter hewan tersebut. Mochi dikabarkan meninggal dunia.  Sambil mengucapkan turut berduka cita, mereka menyampaikan bahwa mochi bisa diambil hari itu.

Istriku terus saja terisak. Begitu pun Keena, anak kedua.  Begitu juga Kafka yang sesenggukan. Ia yang paling dekat dengan Mochi, yang diajaknya menemani saat ia belajar. Hanya aku yang tidak menangis. Bukan karena tidak sedih, tetapi harus ada orang yang berpikir logis dan mencari cara untuk membawa Mochi pulang.

Aku pun mengajak Kafka untuk menjemput jasad Mochi. Sepanjang perjalanan, kami berdua terdiam. Waktu terasa memuai saat engkau diselimuti duka.  Terasa ada lubang besar di hati tapi tidak tahu apa. Terasa ada yang hilang tapi engkau tak paham. 

Sepulangnya dari klinik, kami membuat lubang makam untuk mochi. Kami tidak ingin lama-lama membiarkannya terbungkus kain.  Kami ingin ia segera kembali ke tanah dan menyatu dengan alam.

Kematian Mochi menyadarkanku bahwa takkan ada yang bisa menunda atau mempercepat laju kematian. 

Aku juga tersadar telah melakukan kesalahan. Aku tidak mencari di internet tentang pada usia berapa kucing bisa dimandikan.

Namun, yang terjadi, terjadilah. Penyesalan takkan mengubah apa-apa.

“Setidaknya kita membiarkan Mochi punya keluarga menjelang akhir hidupnya. Kita tidak membiarkan ia menderita dan sebatang kara” suaraku kalah lantang dari suara tangis mereka bertiga.

“Kita juga membawanya ke dokter hewan yang artinya kita peduli dan sayang”

Apakah ini karma karena aku menulis tentang sebatang kara? Apakah karma juga dari tulisan? Atau inikah cara Allah menguji kata-kataku bahwa kita tidak boleh membiarkan siapa pun sebatang kara?




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »