Aku Vs Mertuaku
Tepat dua tahun lalu lebih beberapa bulan lalu, aku melamar pacar untuk dijadikan istri. Untuk melamar, mengingat satu dan banyak hal, aku harus berangkat sendiri bersama si dia. Sebab, kami kuliah di kota yang sama. Kampus yang sama. Jurusan yang sama. Dan kelasnya pun sama. Alah. Ternyata, aku cinlok kawan.
Keberanian ku pupuk dari perjalanan Malang – Ngawi yang naik turun gunung melalui Batu, menyusuri panasnya Jombang, menembus Kertosono, Madiun, lalu Ngawi. Dan tak usahlah kau bayangkan betapa lamanya aku naik sepeda motor, karena cepat sekali ternyata. Relativitas waktu memainkan peranan yang tidak adil. Saat kita mengalami ketakutan, ketakutan kita membuat tiba lebih cepat dari bayangan sadar kita. Itulah yang terjadi.
Tak dinyana, bis yang paling ditakuti, Sumber Kenxxxx, berseliweran tanpa sedikit kutakuti. Tampaknya saat itu, setan-setan pencipta ketakutan sedang berkumpul dan berdiskusi untuk menjatuhkanku. Truk-truk besar yang seakan mau memakan manusia kembang kempis seperti aku ini tak kelihatan batang hidungnya. Apa mungkin makhluk besi rakitan manusia yang jika menabrak tanpa ampun itu juga kalah dengan ketakutanku?
Dan tak lama berselang, calon mertuaku datang. Bersalaman dan duduk.
“Jenengan pundi dalem me pun mas?” sapanya.
Mati aku. Empat tahun di Malang tidak melatih kemampuan mendengarku dalam bahasa Jawa. Dan seperti yang aku ingat dalam ilmu komunikasi paling canggih di dunia tentang cross-cultural communication, ada satu cara menangani ketidakmampuan kita dalam merespons suatu bahasa tertentu. Itulah bahasa universal yang dipahami oleh semua orang. Kecuali orang gila. Orang mabuk. Dan orang mau melamar gadis yang sudah dia inginkan untuk dijadikan pendamping hidup. Cara itu adalah hihihi tersenyum J.
Untung, si dia berbaik hati memberi tahu ayahnya bahwa aku ini adalah orang Jawa indigenous, yang tersesat dalam konstelasi dan pengaburan identitas dalam tradisi post-kolonialisme yang rumit itu, yang oleh temanku disebut ras minoritas yang berupaya menjadi recognizable other dalam budaya mainstream Jawa, yang mengalami pewacanaan yang tidak adil dari budaya mainstream itu sebagai orang yang berwatak keras dan tak kenal kompromi, sukanya carok dan nanam tembakau. Singkatnya, aku orang Jawa secara geografis-politis, tapi Madura secara antropologis. Intinya, orang Jawa yang berbahasa Madura itulah aku. Bingung, aku juga, kadang aku nggak tahu apa yang kutulis.
Dalam pertemuan pertama itu, tak ada yang bisa diandalkan. Mari diurut dari segi pakaian. Baju: kaos oblong, sandal: selop tipis, celana: jins, CD: tidak perlu dibahas :D. Warna pudar karena lama tidak make wenter.
Fisik: Rambut: Merah kena panas matahari ala tukang bangunan, badan kurus kerontang ala para pengamal puasa Daud kalo berpikir positif. Atau ala orang Afrika kelaparan kalo berpikir humanis. Ala junkish kalo berpikir kriminal. Ala Bohemian kalo berpikir seni. Dan ternyata calon mertuaku melihat dari sisi medis, badanku seperti orang habis terkena gizi buruk.
“Kamu serius mau nikah dengan dia” tanyanya dengan nada serius dari balik kamar ke istriku. Tampaknya, dahinya sedang mengernyit. “Badannya kurus dan tampaknya sering sakit-sakitan itu apa bisa mengurus dan menafkahimu? Terlihat sekali kalo badannya tidak kuat. Dan penampilannya. Apa kamu tidak ingin mencari cowok lain”
“Tapi....”
“Kalo kamu jatuh cinta lagi gimana? Ingat, menikah itu bukan main-main.”
“Iya...”
“Mencari pasangan harus melihat dari bibit, bebet dan bobotnya. La la la la la la la."
Dan Allah, aku hanya ingin menghilang saat itu. Mengikuti arus bis menuju ke Jogja atau kemana pun. Dan semua pembicaraan itu sudah cukup untukku membuat kesimpulan. Mengapa manusia melihat dari fisik semata? Tak bisakah manusia lebih adil melihat manusia lainnya? Bukankah Allah menciptakan manusia untuk saling melengkapi, bukan untuk saling menghina? Bukankah, lepas dari penampilanku yang jauh dari meyakinkan sebagai seorang calon suami, aku juga manusia?
Sejuta pernyataan yang menggugat diskriminasi penampilan seseorang berjumul di kepalaku. Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku seperti pembela kemanusiaan yang pintar membuat berjuta pertanyaan menggugah nurani seseorang.
Mungkin cinta telah membawaku melintas alam sadar, bawah sadar dan alam lainnya (alam gaib) secara simultan dan berurutan. Persis, seperti saat kita melihat layar tancap. Dan gelisah sekali aku saat itu. Gaib sekali kekuatan cinta ini, apalagi jika diragukan. Saat diragukan, tiba-tiba Minke, tokoh karya om Pram, yang menggugat semua masyarakat yang hanya melihat semuanya hanya dari tampak luar datang memberiku semangat.
“Ayo, kawan buktikan kau mampu buktikan betapa kuat cintamu” pekik Minke membawa sederet kelabu kisah pulau buru.
“Tetap perjuangkan cintamu, jangan seperti aku” kata Majnun.
“Yakinlah Allah punya solusi yang lebih baik, akhi” kata bang Fakhri.
“Keberanian adalah saat kita tahu kalah, tapi kita tetap maju dan menyelesaikannya” kata Atticus Finch tokoh rekaan Harper Lee.
“You will (achieve) when you believe” dendang Mariah Carey kemudian menyudahi pertempuran perasaan yang berkobar laksana pertempuran antara Hamas dan Israel. Dan kini, akulah penduduk Gaza. Dilempar sekian jauhnya, dan tampaknya pupus sudah harapanku untuk beristri.
***
Tiba-tiba secara tak terduga, awan tiba-tiba menggumpal. Entah kenapa seperti semua suasana mengikuti suasana hatiku. Bahkan becak yang berlalu lalang entah kemana tampak seperti truk fuso yang dikendarai orang gendut dengan handuk pengusap peluh di leher yang hobinya membawa penumpang dari warung-warung remang-remang.
Dan tiba-tiba ada suara kucing melengking yang seperti ditabrak bis kecepatan tinggi. Apa itu semua tanda buruk? Astaga mati naga mati. Astaghfirullah.
Terkesiap, aku tersadar. Lamunku kemana-mana. Hampir habis sudah harapanku, kemudian tiba-tiba ayah mertua keluar. Sambil menyalami tanganku, beliau memasrahkan putrinya.
“Tolong jaga dia. Bahagiakan dia. Aku tidak bisa membahagiakan pas kecil dulu. Kamu bisa kan menjaga amanah ini.”
Dunia tiba-tiba berputar dengan gerakan cepat. Semua berubah menjadi cerah kembali. Allah memang Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Pengasih yang sudah menciptakan manusia dengan ciptaan rancangan yang begitu sempurna. Sa la la la la. Tiba-tiba, semua becak menjadi begitu indah. Angin sepoi. Kursi yang awalnya seperti panas dan dialiri setrum listrik sehingga membuatku gelisah dan cemas akan kematian berubah menjadi empuk nan nyaman.
“Gimana? Jawab yang tegas sebagai seorang lelaki”
“I....ya pak” jawabku terkejut. Tampaknya, aku terlalu lama melamun.
Dan akhirnya, aku lanjutkan nanti ceritanya....
Mengulang 24 Tahun Lalu
Hidup Bak Komedi Putar
Gadis Cemara Rupa-Rupa yang Rapuh
Setelah berkonsultasi, judul ini akhirnya dipilih karena merepresentasikan semua isi pikiran dari tulisan ini. Tulisan ini saya persembahan untuk dia, gadis rapuh serupa pohon cemara rupa-rupa yang mencoba kuat menahan hembus angin tak ramah akhir-akhir ini dan dia mencoba tersenyum dengan kecut dan asam yang mengalahkan cuka.
Cerita ini bermula tahun 1897 atau 1798, ketika dia secara tak sadar menjadi anak salah satu pasangan yang sedang dimabuk asmara. Sebagai anak pertama, dunia selalu lebih indah dari biasanya. Dimanja, dibahagia, diharap dan dicemas menjadi kumpulan kenangan yang seakan memberi keteduhan untuk selamanya. Dan itulah indahnya menjadi anak pertama. Seandainya hidup selalu seperti itu…
Namun, hidup tak selamanya seperti cerita putri tidur yang hanya perlu tidur untuk mendapatkan pangeran rupawan bersenjatakan pedang dengan kuda gagahnya. Hidup adalah serial tak terduga antara duka dan suka. Hidup indah pertama kali itu berubah seketika saat adik-adiknya lahir, terus bertambah. Tiba-tiba semuanya jadi berubah. Dia jadi tidak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Dan selalu mengalah akhirnya membuatnya selalu kalah, demikian pikirnya, meski harus selalu bersikap gagah karena dia adalah anak pertama.
Dia menghadapi kenyataan itu dengan pahit tanpa sadar. Tanpa memilih, dia harus menghadapi kenyataan hidup yang sudah merampas kebahagiaannya. Kenyataan pahit harus dikecap bahwa kini dia harus berusaha mengorbankan apa pun demi adik-adiknya, demi keluarganya. Dan seketika itu, rumah tidak lagi menjadi tempat berteduh dari mara bahaya luar sana. Rumah lebih seperti sebuah rangkaian tuntutan dimana dia menjadi si tertuntut.
Untungnya, ada beberapa hal yang membuatnya bisa bertahan sekian lama. Senyum ibu, wajah ayah dan tawa adik-adiknya menjadi penguat kesekian dari seluruh benteng yang dia buat agar dia bisa bertahan. Mengalami diskriminasi karena kondisi keuangannya di sekolah sudah dia rasakan betul pahitnya. Menjadi tidak kaya di golongan orang kaya kadang membuatnya harus mencegah beberapa keinginan dan mengompresinya menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang tidak tahu kapan akan menjadi nyata menghiasi kesekian bagian dalam hidup dan membuatnya bisa mengerti bagaimana cara menjadi tidak ingin meski sangat ingin. Saat itulah, dia bisa bersandiwara.
Lebih menyedihkan lagi, pernah dia merasakan sangat perih karena pada suatu saat adiknya tidak bisa melanjutkan sekolah gara-gara tidak bisa membayar SPP. Kondisi ketidakmampuan ekonomi membuatnya merasa sedih dan bersalah di saat bersamaan. Dia bisa meneruskan sekolah sampai perguruan tinggi, sementara adiknya harus putus di tengah jalan. Dan yang paling perih dari segalanya, dia tidak bisa melakukan apa-apa saat itu. Satu babak lagi, dia harus kecewa. Belum pada suatu saat ibunya sakit, namun ibunya menahan sakit itu agar anak-anaknya bahagia.
Pada satu titik itu, dia merasa jatuh. Belum saat dia tahu, ternyata rumah yang sudah ditempatinya bertahun-tahun harus ditinggalkan karena ada sengketa. Intinya, dia harus berruwet-ruwet kesana kemari mencari bantuan dan mencari tempat berteduh baru.
Diterpa semua kegetiran hidup membuatnya berubah-ubah. Dari seorang ceria yang bisa membawa suasana bahagia dengan satu langkah kecil, dia sekarang lebih sering diam, meski ingin berkata seribu kata. Dari orang yang blak-blakan, dia menjadi pendiam yang lebih banyak menyelidik dan waspada. Dan itulah awal mulanya, latar belakang pahit keluarga membuatnya mengalami sebuah gejala kejiwaan yang sebenarnya tidak akut, namun cukup mengkhawatirkan. Nama gejalanya, split personality.
Gejala ini muncul pertama kali saat dia memendam kekesalan membuncah gara-gara memiliki adik. Lama-kelamaan, dia menjadi terbiasa dan merasakan semuanya sebagai sebuah kewajaran. Memang terkesan biasa, tapi kekesalan itu terus bertumpuk di alam bawah sadar. Adiknya terus bertambah dan bertambah. Dan kekesalan terhadap semuanya semakin terkikis.
Hingga pada satu ketika, pukulan terberatnya, banyak adiknya yang dia lindungi dengan segenap tenaga dan usaha tidak bisa mendapatkan keinginan mereka yang mungkin paling sederhana sekali pun, bersekolah. Padahal, untuk adik-adiknya itu, dia sudah banyak mengorbankan emosi dan kebahagiaan, dan dia sekarang ada di tengah pusaran masalah itu.
Kadang, sesekali dia ingin berteriak pada dunia yang sudah begitu tidak adil terhadap keluarganya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia, bahkan di usianya yang sangat muda, sudah berusaha keras membantu orang tua dengan bekerja. Dia sudah banyak mengorbankan keinginannya sendiri untuk keluarga, ayah ibu dan adik-adiknya, tapi belum banyak yang bisa diperbuat. Akhirnya, kecewa menjadi sahabatnya paling akrab.
Dan kini, dia berusaha menyembunyikan semua kisah ini sendiri. Ada sebuncah emosi yang meletup-letup tak tahu kemana akan keluar, namun sekali lagi dia tak tahu harus bercerita kepada siapa-siapa. Pernah dia bercerita dan punya tempat berbagi paling nyaman di dunia, saat di SMU saat dia merasa jatuh cinta. Dia mencintainya dengan sepenuh hati, namun keduanya harus terpisah sesuatu, yang juga tidak diketahui alasannya. Dan dia enggan sekarang bercerita. Dia takut kecewa. Biarlah cerita ini dia pegang sendiri seumur hidup.
Sekarang, dia punya tempat baru, di hati orang yang menurutnya ia cintai dengan sepenuh hati, namun belum dipercayainya dengan seutuhnya. Ada berjuta tembok yang menghalanginya untuk mencintainya sepenuh raga dan jiwa. Dan ia berjuang menembus tembok itu. Baginya, tempat baru itu belum mampu membawanya melepas semua beban. Entah, ada sesuatu tak terjelaskan yang membuatnya tidak bisa membuka kebekuan yang sudah lama ada di hatinya, dia hanya gadis rapuh yang tak tahu kenapa harus berusaha tegar. Meski baginya, tegar kadang menyakitkan.
Saya tak bisa berbuat apa-apa, karena dia juga tak mau bercerita yang sebenarnya. Cerita di atas ini adalah cerita yang saya kontruksi berdasarkan segurat kisah di wajahnya, di senyumnya dan di tangisnya. Semuanya tergambar jelas di sana, entah kenapa banyak yang tidak melihat. Dia masih saja menyimpan rahasianya, bahkan kepada hati yang baru. Rahasia itu masih tertahan di dalam hatinya, di sana, jauh di dalam hatinya bahwa ada sebuah kisah yang ingin dia gambarkan, kisah itu bernama “kisah gadis cemara rupa-rupa yang rapuh.”
Kisah ini saya ungkapkan agar dia merasa ada seseorang yang memahami seberapa pun ditutupi. Akan saya lanjutkan kalo dia mengizinkan.
Guruku adalah Anakku (Bagian III)
"Kasihan, masih kecil sudah sering sakit" kata dokter saat itu.
"Iya, dok."
"Saya kasih vitamin saja. Kasihan tubuhnya belum terlalu kuat kalo harus sering minum obat."
Kami pun pulang dengan satu pikiran. Banyak obat itu tidak terlalu bagus untuk perkembangan anak saya. Tapi bagaimana lagi, tanpa konsultasi ke dokter dan dokter selalu memberi resep obat, kami akan sangat khawatir sekali. Terus terang, kami lebih khawatir daripada anak kami sendiri sepertinya. Maklum karena dia belum bisa ngomong apa-apa.
Anak kami, seperti halnya biasanya, lebih bijak dari pada kami. Dia santai saja. Meski dia yang batuk dan sering terganggu tidurnya, dia jarang khawatir dan cemas. Dan itulah anak. Hebatnya, mereka jarang khawatir dan cemas, meski tindakan mereka membuat orang tuanya siak-siak.
Itulah yang ternyata sering terjadi di kehidupan kita. Orang tua lebih keukeuh dan lebih cemas mempersiapkan masa depan lebih dari kita sendiri. Bahkan tak jarang mereka memaksa, tapi perlu tahu apa yang diinginkan anaknya. Otoriter memang kebanyakan orang tua. Dan jika Anda salah satu korbannya, perlu Anda yakini satu hal, Anda tidak sendiri.
Saya juga begitu, pernah begitu, meski ibu menggunakan cara berbeda dengan orang tua lain. Suatu saat, saya males bangun pagi untuk sekolah. Alih-alih marah dan memaksa saya sekolah, ibu langsung mengambil buku-buku saya. Dibawanya serta korek beserta minyak tanah. Diajaknya saya ke depan rumah.
"Kalo nggak mau sekolah, nggak usah sekolah saja sekalian. Aku bakar buku-bukunya." kata ibu dengan tegas.
Aku ambil buku-buku itu dan aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk bersiap sekolah. Sejak saat itu, saya selalu rajin sekolah. Saya takut ibu membakar buku saya.
Saya tidak ingin anak saya begitu. Saya ingin membebaskannya dari tuntutan menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginan saya. Cukuplah dia menjadi anak saya, yang mudah-mudahan mau berbakti kepada Tuhannya, Orangtuanya, dan Idealismenya.
Sekarang anak saya suka pada satu benda sakral. Sepeda motor. Dia tidak bisa berkutik kalo diajak naik sepeda motor. Maunya selalu naik motor saja. Di dunia, tidak ada yang lebih indah dari sepeda motor, terkecuali susu ibu tentunya. Tangis berganti senyum seketika saat dia naik sepeda motor. Sepertinya, meski saya tidak punya otoritas moral dan ilmiah untuk menjelaskan, anak saya ketularan hobi ibunya ketika hamil, ingin selalu naik sepeda motor.
Melihat semua itu, saya berdo'a dengan sangat berharap meski sedikit cemburu dibuatnya "mudah-mudahan istri saya suka pada dokter saat hamil, siapa tahu anak saya jadi...:D"