Guruku adalah Anakku (Bagian III)

Beberapa hari ini, anak saya batuk. Batuk agak berdahak yang membuat saya lumayan khawatir. Jika Anda menyarankan saya untuk membawanya ke dokter, terima kasih atas sarannya. Dan saya sudah membawanya ke sana.

"Kasihan, masih kecil sudah sering sakit" kata dokter saat itu.

"Iya, dok."

"Saya kasih vitamin saja. Kasihan tubuhnya belum terlalu kuat kalo harus sering minum obat."

Kami pun pulang dengan satu pikiran. Banyak obat itu tidak terlalu bagus untuk perkembangan anak saya. Tapi bagaimana lagi, tanpa konsultasi ke dokter dan dokter selalu memberi resep obat, kami akan sangat khawatir sekali. Terus terang, kami lebih khawatir daripada anak kami sendiri sepertinya. Maklum karena dia belum bisa ngomong apa-apa.

Anak kami, seperti halnya biasanya, lebih bijak dari pada kami. Dia santai saja. Meski dia yang batuk dan sering terganggu tidurnya, dia jarang khawatir dan cemas. Dan itulah anak. Hebatnya, mereka jarang khawatir dan cemas, meski tindakan mereka membuat orang tuanya siak-siak.

Itulah yang ternyata sering terjadi di kehidupan kita. Orang tua lebih keukeuh dan lebih cemas mempersiapkan masa depan lebih dari kita sendiri. Bahkan tak jarang mereka memaksa, tapi perlu tahu apa yang diinginkan anaknya. Otoriter memang kebanyakan orang tua. Dan jika Anda salah satu korbannya, perlu Anda yakini satu hal, Anda tidak sendiri.

Saya juga begitu, pernah begitu, meski ibu menggunakan cara berbeda dengan orang tua lain. Suatu saat, saya males bangun pagi untuk sekolah. Alih-alih marah dan memaksa saya sekolah, ibu langsung mengambil buku-buku saya. Dibawanya serta korek beserta minyak tanah. Diajaknya saya ke depan rumah.

"Kalo nggak mau sekolah, nggak usah sekolah saja sekalian. Aku bakar buku-bukunya." kata ibu dengan tegas.

Aku ambil buku-buku itu dan aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk bersiap sekolah. Sejak saat itu, saya selalu rajin sekolah. Saya takut ibu membakar buku saya.

Saya tidak ingin anak saya begitu. Saya ingin membebaskannya dari tuntutan menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginan saya. Cukuplah dia menjadi anak saya, yang mudah-mudahan mau berbakti kepada Tuhannya, Orangtuanya, dan Idealismenya.

Sekarang anak saya suka pada satu benda sakral. Sepeda motor. Dia tidak bisa berkutik kalo diajak naik sepeda motor. Maunya selalu naik motor saja. Di dunia, tidak ada yang lebih indah dari sepeda motor, terkecuali susu ibu tentunya. Tangis berganti senyum seketika saat dia naik sepeda motor. Sepertinya, meski saya tidak punya otoritas moral dan ilmiah untuk menjelaskan, anak saya ketularan hobi ibunya ketika hamil, ingin selalu naik sepeda motor.

Melihat semua itu, saya berdo'a dengan sangat berharap meski sedikit cemburu dibuatnya "mudah-mudahan istri saya suka pada dokter saat hamil, siapa tahu anak saya jadi...:D"

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 comments

comments
6 January 2009 at 14:05 delete

ehm... saya juga sering mengalami gejala yang sama. Batuk-batuk disertai dahak tanpa demam. Saya orangnya paling susah kalau disuruh minum obat. karena tidak saya obati, maka lanjut jadi pharingitis. Biasanya, penyebab utama batuk-batuk semacam ini selain karena daya tahan tubuh lemah (bisa dikasih vitamin dan olahraga ringan rutin), adalah juga karena alergi. Dokter biasanya tidak mendiagnosa alergi, karena tidak tahu sumbernya. coba cek alergi deh pak... dan amati biasanya gejala batuknya ini muncul tiap anak anda berinteraksi dengan apa.

Reply
avatar
antonharyadi
6 January 2009 at 22:28 delete

Terima kasih atas sarannya. Alergi memang hanya bisa dites dengan mencoba alergen satu per satu sehingga bisa diketahui mana yang paling berdampak. Salam kenal ya mbak Uswa, kayaknya kok kita belum kenal ya..:D. Atau kita pernah kenal di kehidupan lalu.

Reply
avatar