Setelah berkonsultasi, judul ini akhirnya dipilih karena merepresentasikan semua isi pikiran dari tulisan ini. Tulisan ini saya persembahan untuk dia, gadis rapuh serupa pohon cemara rupa-rupa yang mencoba kuat menahan hembus angin tak ramah akhir-akhir ini dan dia mencoba tersenyum dengan kecut dan asam yang mengalahkan cuka.
Cerita ini bermula tahun 1897 atau 1798, ketika dia secara tak sadar menjadi anak salah satu pasangan yang sedang dimabuk asmara. Sebagai anak pertama, dunia selalu lebih indah dari biasanya. Dimanja, dibahagia, diharap dan dicemas menjadi kumpulan kenangan yang seakan memberi keteduhan untuk selamanya. Dan itulah indahnya menjadi anak pertama. Seandainya hidup selalu seperti itu…
Namun, hidup tak selamanya seperti cerita putri tidur yang hanya perlu tidur untuk mendapatkan pangeran rupawan bersenjatakan pedang dengan kuda gagahnya. Hidup adalah serial tak terduga antara duka dan suka. Hidup indah pertama kali itu berubah seketika saat adik-adiknya lahir, terus bertambah. Tiba-tiba semuanya jadi berubah. Dia jadi tidak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Dan selalu mengalah akhirnya membuatnya selalu kalah, demikian pikirnya, meski harus selalu bersikap gagah karena dia adalah anak pertama.
Dia menghadapi kenyataan itu dengan pahit tanpa sadar. Tanpa memilih, dia harus menghadapi kenyataan hidup yang sudah merampas kebahagiaannya. Kenyataan pahit harus dikecap bahwa kini dia harus berusaha mengorbankan apa pun demi adik-adiknya, demi keluarganya. Dan seketika itu, rumah tidak lagi menjadi tempat berteduh dari mara bahaya luar sana. Rumah lebih seperti sebuah rangkaian tuntutan dimana dia menjadi si tertuntut.
Untungnya, ada beberapa hal yang membuatnya bisa bertahan sekian lama. Senyum ibu, wajah ayah dan tawa adik-adiknya menjadi penguat kesekian dari seluruh benteng yang dia buat agar dia bisa bertahan. Mengalami diskriminasi karena kondisi keuangannya di sekolah sudah dia rasakan betul pahitnya. Menjadi tidak kaya di golongan orang kaya kadang membuatnya harus mencegah beberapa keinginan dan mengompresinya menjadi sebuah mimpi. Mimpi yang tidak tahu kapan akan menjadi nyata menghiasi kesekian bagian dalam hidup dan membuatnya bisa mengerti bagaimana cara menjadi tidak ingin meski sangat ingin. Saat itulah, dia bisa bersandiwara.
Lebih menyedihkan lagi, pernah dia merasakan sangat perih karena pada suatu saat adiknya tidak bisa melanjutkan sekolah gara-gara tidak bisa membayar SPP. Kondisi ketidakmampuan ekonomi membuatnya merasa sedih dan bersalah di saat bersamaan. Dia bisa meneruskan sekolah sampai perguruan tinggi, sementara adiknya harus putus di tengah jalan. Dan yang paling perih dari segalanya, dia tidak bisa melakukan apa-apa saat itu. Satu babak lagi, dia harus kecewa. Belum pada suatu saat ibunya sakit, namun ibunya menahan sakit itu agar anak-anaknya bahagia.
Pada satu titik itu, dia merasa jatuh. Belum saat dia tahu, ternyata rumah yang sudah ditempatinya bertahun-tahun harus ditinggalkan karena ada sengketa. Intinya, dia harus berruwet-ruwet kesana kemari mencari bantuan dan mencari tempat berteduh baru.
Diterpa semua kegetiran hidup membuatnya berubah-ubah. Dari seorang ceria yang bisa membawa suasana bahagia dengan satu langkah kecil, dia sekarang lebih sering diam, meski ingin berkata seribu kata. Dari orang yang blak-blakan, dia menjadi pendiam yang lebih banyak menyelidik dan waspada. Dan itulah awal mulanya, latar belakang pahit keluarga membuatnya mengalami sebuah gejala kejiwaan yang sebenarnya tidak akut, namun cukup mengkhawatirkan. Nama gejalanya, split personality.
Gejala ini muncul pertama kali saat dia memendam kekesalan membuncah gara-gara memiliki adik. Lama-kelamaan, dia menjadi terbiasa dan merasakan semuanya sebagai sebuah kewajaran. Memang terkesan biasa, tapi kekesalan itu terus bertumpuk di alam bawah sadar. Adiknya terus bertambah dan bertambah. Dan kekesalan terhadap semuanya semakin terkikis.
Hingga pada satu ketika, pukulan terberatnya, banyak adiknya yang dia lindungi dengan segenap tenaga dan usaha tidak bisa mendapatkan keinginan mereka yang mungkin paling sederhana sekali pun, bersekolah. Padahal, untuk adik-adiknya itu, dia sudah banyak mengorbankan emosi dan kebahagiaan, dan dia sekarang ada di tengah pusaran masalah itu.
Kadang, sesekali dia ingin berteriak pada dunia yang sudah begitu tidak adil terhadap keluarganya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia, bahkan di usianya yang sangat muda, sudah berusaha keras membantu orang tua dengan bekerja. Dia sudah banyak mengorbankan keinginannya sendiri untuk keluarga, ayah ibu dan adik-adiknya, tapi belum banyak yang bisa diperbuat. Akhirnya, kecewa menjadi sahabatnya paling akrab.
Dan kini, dia berusaha menyembunyikan semua kisah ini sendiri. Ada sebuncah emosi yang meletup-letup tak tahu kemana akan keluar, namun sekali lagi dia tak tahu harus bercerita kepada siapa-siapa. Pernah dia bercerita dan punya tempat berbagi paling nyaman di dunia, saat di SMU saat dia merasa jatuh cinta. Dia mencintainya dengan sepenuh hati, namun keduanya harus terpisah sesuatu, yang juga tidak diketahui alasannya. Dan dia enggan sekarang bercerita. Dia takut kecewa. Biarlah cerita ini dia pegang sendiri seumur hidup.
Sekarang, dia punya tempat baru, di hati orang yang menurutnya ia cintai dengan sepenuh hati, namun belum dipercayainya dengan seutuhnya. Ada berjuta tembok yang menghalanginya untuk mencintainya sepenuh raga dan jiwa. Dan ia berjuang menembus tembok itu. Baginya, tempat baru itu belum mampu membawanya melepas semua beban. Entah, ada sesuatu tak terjelaskan yang membuatnya tidak bisa membuka kebekuan yang sudah lama ada di hatinya, dia hanya gadis rapuh yang tak tahu kenapa harus berusaha tegar. Meski baginya, tegar kadang menyakitkan.
Saya tak bisa berbuat apa-apa, karena dia juga tak mau bercerita yang sebenarnya. Cerita di atas ini adalah cerita yang saya kontruksi berdasarkan segurat kisah di wajahnya, di senyumnya dan di tangisnya. Semuanya tergambar jelas di sana, entah kenapa banyak yang tidak melihat. Dia masih saja menyimpan rahasianya, bahkan kepada hati yang baru. Rahasia itu masih tertahan di dalam hatinya, di sana, jauh di dalam hatinya bahwa ada sebuah kisah yang ingin dia gambarkan, kisah itu bernama “kisah gadis cemara rupa-rupa yang rapuh.”
Kisah ini saya ungkapkan agar dia merasa ada seseorang yang memahami seberapa pun ditutupi. Akan saya lanjutkan kalo dia mengizinkan.