Nun jauh di desa, seorang bapak bertubuh tirus layaknya pohon kelapa yang sudah lama menunggu anak tiba-tiba harus pontang-panting ke sana kemari. Kegelisahan dan kecemasan menyatu saat itu. Bertumpuk. Dia menghampiri istrinya yang kesakitan. Tampaknya, bayi yang ditunggunya akan segera lahir ke dunia. Kelahiran bayi ini merupakan momen istimewa, yang dinanti-nanti sejak lama dan sangat mendebarkan. Sudah tiga anaknya yang pernah dimiliknya, tapi tidak ada dalam waktu lama. Semuanya singkat.
Dan kini, harapannya sangat besar, meski dia sudah bersiap-siap untuk kecewa lagi. Kehilangan beberapa kali dalam hidup kadang membuat kita bisa memiliki tingkat kekebalan kekecewaan. Artinya, banyak kehilangan berarti membuat kita lebih bahagia, karena kita sudah terbiasa.
Dan bapak itu sudah biasa merasakan kekecewaan ditinggal oleh anak yang sangat diinginkannya. Meski untuk anak yang akan dilahirkan ini, ia sudah banyak bersiap dan berharap dengan segenap do’a dan munajat yang dipanjatkan tanpa rasa lelah dan selalu sabar. Setiap malam, tak ada keinginan yang lebih besar ketimbang memiliki anak yang bisa hidup.
Dan hari itu, 24 tahun yang lalu, bapak itu tahu rasanya bagaimana getaran kecemasan membuat sendi-sendi tubuhnya berasa sedikit nyilu. Dan meski saat itu sakitnya tak tertahan dia tetap bertahan dan tersenyum penuh kesabaran, melihat wajah istri yang dicintainya, membayangkan anaknya yang lahir kelak, dan melihat anaknya tumbuh dan besar menjadi orang.
Sekilas kemudian, dia menyiapkan sepeda untuk menjemput spesialis obstetri dan ginekologi yang bertugas membantu persalinan istri bapak tersebut. Spesialis itu sangat kesohor di desanya, lantaran spesialis itu juga bisa sedikit ilmu pertulangan atau ortopedi hasil didikan alam yang lebih humanis dari edisi peredaran dokter nan canggih yang sudah tidak mengenal manusia yang sekarang.
Dalam kegelapan malam, bapak itu tidak merasakan bagaimana angin malam hampir merobohkan tubuh tirusnya. Dia terus saja mengayuh, bercampur ketakutan dan kecemasan, juga harapan mudah-mudahan anak yang akan lahir nanti bisa hidup dan melanjutkan tetirah genealogis keluarga. Dan mudah-mudahan anak itu bisa menjadi penopang keluarga dalam arti seluas-luasnya. Batuk, sesak nafas, dan remuk dada tak bisa menghentikannya. Bahkan, TBC yang sudah mengendap itu tak pula menghancurkan harapannya.
Dan akhirnya spesialis obgyn atau bahasa desanya dukun beranak itu bisa dibawa ke rumah untuk membantu kelahiran si bayi. Dan keras kepalanya, bayi itu tidak mau keluar meski ibunya sudah berusaha menghela dan mengeluarkan nafas dalam porsi teratur.
Tiba pada jam 11 Malam, lahirlah sebuah bayi mungil berjenis kelamin laki-laki, kelihatan masih merah dan tak tahu akan jadi apa, menangis dengan sangat keras. Dan itulah bayi, saat keluar menangis, dan semua orang tertawa bahagia. Dan harapan bapak itu, jika saatnya bayi itu harus meninggalkan dunia, mudah-mudahan dia bisa tertawa dan orang di sekitarnya menangis. Artinya, dia bisa membawa bapak itu ke Surga.
Dan tahukah dirimu Kawan, bayi itu adalah aku, dua puluh empat tahun yang lalu. Sudah lama memang, dan aku masih belum bisa mengingat sekilas wajah ayahku pun, selain yang aku lihat di foto lama hitam putihnya. Kata orang setelah aku beranjak dewasa, ayah orangnya ganteng dan baik hati. Saat dia bisa membeli sepeda motor, dia mengajak ki Maden, seorang tua tuna netra di tempatku, untuk membeli soto, harapan besarnya. Sampai sekarang, ki Maden mengingat dan menceritakannya seakan bapakku masih hidup di dunia. Saat bercerita, mata ki Maden berkaca-kaca. Begitu juga mbah sebelah rumah bapak. Semua orang mengingatnya dengan kenangan terbaik.
Dan tahukah kau siapa ibuku? Ibuku adalah orang terbaik di dunia, menurutku. Beliau selalu sabar merawat ayah yang sudah lama mengidap penyakit TBC. Tak peduli malam atau siang, ibu selalu ada. Setia mendampingi ayah yang sekian lama seperti sudah tak bisa melanjutkan hidup. Semua jenis pengobatan mulai dari yang modern hingga tradisional, ibu mau menjalaninya. Bahkan sejauh kaki masih bisa melangkah, ibu akan mencari obat itu.
Delapan bulan kemudian, setelah bapak sudah bisa menikmati dan merasakan tangisanku yang semakin lama tak kunjung reda, cerita ibuku, ayahku meninggalkan dunia dengan sejuta laksa kenangan yang tak mampu ku ukir. Dan aku, masih tidak bisa mengingat semuanya, karena aku masih kecil saat itu. Aku masih berumur delapan bulan.
Ibu yang terlampau memikirkanku akhirnya menikah lagi dengan seorang duda tanpa anak. Awalnya, ibu takut dan terus berharap orang itu akan baik. Dan ternyata memang baik. Bapak, panggilanku sekarang terhadap beliau, menganggapku seperti anaknya, Akulah anak pertamanya.
Dan seperti cerita banyak orang, aku termasuk beruntung karena mempunyai bapak (aku tidak mau menganggap bapakku ini tiri, karena tiri selalu negatif) yang super baik. Sebagai perbandingan begini, setiap ayah di tempatku selalu ingin anaknya bekerja membantu ayahnya di sawah, tapi bapakku tidak. Tak jarang beliau melarangku membantunya, meski aku tak bisa kalau tidak membantu beliau.
Mungkin ini yang selalu membengkas dalam jiwaku kini, apa artinya ayah biologis dan tidak biologis jika keduanya sama-sama mencintai dan menyayangi kita tulus dan ikhlas. Dan itulah bapakku, keduanya. Mereka sama-sama mau berkorban. Ayah pertamaku berkorban banyak waktu untuk berdo’a agar aku hidup dan aku hidup hingga kini. Ayah keduaku berkorban bahkan masa-masa awal indah pernikahannya dengan ibuku. Dan banyak lagi.
Bagiku, ayah biologis dan psikologisku sama berperan memberi ruang indah dalam hidup. Keduanya selalu membuatku ingin mendengar lagu ayah, bapak, papa dan father. Dan setiap kali aku mendengar lagu-lagu bapak, aku selalu ingin meneteskan air mata. Keduanya adalah inspirasi tiada henti.
Sekarang, aku sudah 24 tahun, dan menjadi ayah dari seorang anak yang sekarang sedang sakit dan jauh dari rumah. Dan aku merayakan ulang tahun malam ini. Jika ulang tahun berarti mengulang tahun, aku mengulang tahun malam ini dengan mengenang kedua ayah dan satu ibuku yang hebat-hebat itu. Mereka benar-benar hebat. Ah..jadi pengin nangis L.