Hidup Bak Komedi Putar

Bagi saya sekarang, hidup seperti sebuah perjalanan terus menerus berputar dalam pusaran yang sama mirip komedi putar. Ia terus berputar, sampai waktu kita untuk turun tiba. Dan waktu turun adalah waktu yang sama dengan waktu yang ditunjukkan dalam karcis kita. Bedanya, karcis hidup diberikan, bukan dibeli.

Sama, dalam komedi putar kita tidak bisa memilih menaiki keranjang yang kita inginkan. Kita hanya mengikuti instruksi penjaganya. Itulah kesimpulan dari peristiwa magis, yang seandainya tidak direnungkan hanya akan menjadi peristiwa lalu tanpa makna.

25 Desember 2008 kemarin, saya diberi berkah membeli sepeda gunung di kota Malang. Saking bersemangatnya, saya lupa banyak hal. Saya hanya ingat bahwa jika ada yang lebih membahagiakan ketimbang bisa mendapatkan keinginan menahun itu, maka hal itu pasti sangat hebat, seperti bertemu Nabi Muhammad dalam sub-sadar dan bertemu Allah di surga nan tak terbayang.


Sepeda gunung bagi saya lebih dari sekedar sepeda biasa, yang tak punya arti apa-apa. Sepeda gunung, dalam relung tak sadar saya, seperti sebuah pembalasan dendam akan keinginan yang terpendam karena ketidakmampuan masa lalu mewujudkan keinginan itu.

Saat kecil, saya pernah sangat ingin mempunyai sepeda gunung yang dalam bayangan masa kecil lebih indah bahkan dari pelangi yang berpendar mengikuti gerimis siang. Saat melihat sepeda gunung, saya seperti melihat seorang bidadari. Dalam term teknis, saya mengalami obsesif kompulsif. Dalam istilah saya yang sederhana, pengertiannya adalah jika kita menginginkan sesuatu dengan seingin-inginnya, tapi kita tidak bisa memiliki dan melakukannya, dan kita simpan keinginan itu dengan sangat kuat, namun selalu meluap-luap untuk diwujudkan, itulah obsesif kompulsif. Menurut Andrea, saya mungkin mengalami penyakit gila nomor 13, tergila-gila pada suatu objek.

Makanya, saat saya dewasa, saya selalu menoleh setiap kali melihat sepeda gunung, entah sepeda gunung itu jelek atau bagus, polygon stiker atau polygon asli. Respons itu mungkin tidak masuk akal bagi kebanyakan kita. Saya pun merasa aneh. Akhirnya, saya bisa menjelaskannya dalam rentang masa lalu melalui kaca mata psikologis masa kecil.

Anehnya, kehidupan saya selalu aneh Saudara, respons saya ketika bisa membeli sepeda itu aneh. Aneh lagi. Saya lebih senang melihat sepeda saya, ketimbang menaikinya. Setiap kali lewat di samping sepeda, saya selalu menatapnya lekat-lekat. Bahkan, ketika awal-awal saya menaiki sepeda itu, jantung saya berdegup kencang seperti bertemu dengan kekasih masa kecil yang sekarang kembali dalam hidup dan ternyata jauh lebih cantik.

Peristiwa ini mengingatkan saya akan nasihat guru-guru SD dulu “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit.” “Siapa tahu akan tercapai” lanjut guru ngaji saya.

Sampai kemarin, saya masih bingung mengapa kita harus punya cita-cita saat kecil, yang bahkan jauh di atas kenyataan. Di rumah saya di desa, banyak anak dukun beranak ingin menjadi dokter kandungan. Banyak anak tukang becak ingin menjadi sopir pesawat, pilot maksud saya. Mengapa kita harus punya cita-cita yang mustahil tercapai?

Saya baru paham hari ini, bahwa cita-cita dan keinginan masa kecil kita akan selalu terpendam di hati dan di alam bawah sadar dan akan selalu menuntut untuk diwujudkan. Keinginan itu akan berubah menjadi motivasi dan tekad bulat. Dan jika kita sudah berkeinginan kuat dan bertekad bulat, seluruh semesta akan mendukung. Saya jadi ingat konsep Mestakung dalam fisika menurut Prof Yohanes Surya. Atau Paulo Coelho dalam The Alchemist.

Lebih lanjut, konon apa pun yang kita inginkan terkait dengan apa yang diinginkan orang tua saat kita sedang dikandung badan dulu. Contoh sederhananya, anak (bayi) saya sekarang sangat tergila-gila pada sepeda motor, yang kalau dirunut berasal dari keinginan ibunya untuk selalu jalan-jalan naik sepeda motor saat mengandungnya. Tidak ilmiah memang penjelasan seperti ini, sebab saya tidak punya bukti ilmiah yang menyokong pendapat ini. Tapi bisa jadi kan?

Saat di kandungan dulu, saya dan istri sangat benci dokter spesialis kandungan yang tidak pernah melihat kemampuan orang untuk membayar jasanya. Saya dan istri bermimpi saat itu agar jika dewasa nanti anak saya mau dan berusaha menjadi dokter spesialis yang humanis yang tidak memungut bayaran kepada orang miskin, atau jika memungut bayaran seikhlasnya saja. Apa anak saya akan menjadi...?

Alah sudahlah, anak saya lebih suka naik sepeda motor sekarang, jadi apa pun dia yang jelas dia akan mengikuti panggilan keinginan masa kecilnya. Saya ingin sepeda gunung, dan saya dapatkan itu sekarang. Dia sekarang suka sekali dengan sepeda motor, dan mungkin dia...

Jelaslah sekarang, hidup dan cara kita memandang hidup dipengaruhi bagaimana alam tak sadar masa kecil kita. Masa kecil itu dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungan. Orang tua dan lingkungan dipengaruhi oleh orang tuanya dulu. Jadi, hidup memang seperti komedi putar, bukan?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »