Rumah

Rumah

RumahKetika beranjak besar seusia tujuh sampai sekira sebelas tahun, aku lebih sering berada di luar rumah. Berkelana, bersepeda, bermain, mengembara bersama teman–teman. Favoritku: Mandi di sungai. Kadang, kami menyusuri aliran sungai yang diteduhi pohon bambu yang bengkok. Di bagian tengah hingga ujung bambu itu lalu terdapat beberapa ular aneka warna dan rupa yang bergelantungan. Dari gerak gemulai tubuhnya yang memanjang itu, mereka seakan bercanda bersama rekan ular lainnya.
Berkorban

Berkorban

SpiderManWell, korban lagi. Ya, saya sedang suka membahas korban. Unik, dan banyak sudut yang bisa diambil. Bukan karena saya sering merasa menjadi korban tentu, tapi karena korban sering kali diabaikan dalam beberapa pembahasan sejarah. Kita lebih sering membahas tentang pahlawan, bukan korban. Dan kita sering lupa bahwa pahlawan ada karena ada yang berkorban atau ada pengorbanan. Dalam prosesnya, sang pahlawan lupa bercerita bahwa keberadaannya dimungkinkan oleh orang yang rela berkorban.

Apa kecenderungan itu karena ada sesosok pahlawan dalam jiwa setiap orang? There's a hero inside of us? Retoris pertanyaan ini sebenarnya. Sebab, saya sendiri lebih suka menjadi pahlawan, bukan korban. Mungkin semua orang begitu. Pahlawan di dalam diri mungkin sejenis nafsul muthmainnah, hasrat untuk berbuat baik. Kita sering menyebutnya kata atau suara hati. Dan orang barat menyebutnya conscience.
R.is.MA

R.is.MA

“Kubuka album biru, penuh debu, dan usang” lantunku penuh sendu. “Kupandangi semua gambar diri. Kecil bersih, belum ternoda” lanjutku kemudian. Tidak ada nada yang mengiringi. Hanya suaraku. Seadanya. Cempreng, kata istriku tanpa basa-basi pada suatu waktu. Semua terdiam. Bukan karena terhanyut tentu. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Menatap layar setiap waktu. Mengganti satu kata dengan satu kata lain, lalu merangkainya menjadi kalimat. Dan kalimat itu berbaris menjadi angka transferan setiap bulan.

Aku bahkan ragu apakah mereka sebenarnya mendengarku menyanyi atau tidak.
Expecto...

Expecto...

Kala perasaan sebagai korban terus menerus berkuasa atas segala, kebahagiaan seakan habis tak bersisa. Di dalam diri, hanya terdapat nestapa dan nelangsa yang seakan berduet sempurna. Aku lalu menjadi lebih pendiam, lebih tak banyak bicara. Hasrat untuk meraih sesuatu tiba-tiba lenyap saja. Tanpa sisa.

Ketika rasa itu timbul, dan simpati dapat diraih, ketagihan pun muncul. Aku lantas menjadi sering mencari iba. Mencari simpati. Menciptakan drama-drama dalam cerita. Semakin candu itu menguasai diri, semakin tenggelamlah dalam nuansa-nuansa melankolis tanpa tepi. Mirip benang kusut yang terangkai dalam lingkaran setan. Rumitnya amit-amit.

retrieved from: http://bit.ly/1JmQtbM
retrieved from: http://bit.ly/1JmQtbM
Konflik batin akibat salah persepsi terhadap diri sendiri plus derita kalbu yang menyertainya menyedot habis semua kebahagiaan. Tidak hanya kebahagiaan diri sendiri, tapi juga kebahagiaan orang di sekitar. Mengiba sebetulnya hanya menghasilkan derita. Dan kadang penderitaan membuat orang ketagihan. Itu rumus mutlak yang kebenarannya hampir pasti. Mungkin paduan dari semua perasaan itu mirip dementor, sesosok iblis yang menyedot habis semua kebahagiaan dan kenangan indah kita. Sosok Dementor yang diciptakan JK Rowling itu benar-benar pas menggambarkan kesedihan membatu akibat kebodohan diri memilih persepsi, dan kesedihan itu melahap habis semua kebahagiaan.
KORBAN-is-ME

KORBAN-is-ME

Meratapi kekurangan, menangisi nasib sial, lalu menceritakannya kemana-mana demi mengais simpati merupakan kewajiban tiap kali bertemu orang baru. Orang lama pun tak luput menjadi sasaran kegelisahan diri. Semakin banyak bercerita, semakin besar keinginan untuk dipahami. Dimaklumi. Disenangi. Di antara cerita-cerita yang ditebarkan sedemikian rupa itu, bumbu-bumbu drama tak lupa diselipkan. Kebohongan kadang ikut serta. Hendak menciptakan efek yang lebih greget. Lebih ingin menimbulkan rasa kasihan. Mungkin saat itu, ketagihan memelas sedang mencapai puncak.

ayahSemakin banyak orang yang simpati, semakin besar keinginan untuk bercerita kepada lebih banyak orang. Meratapi nasib sendiri. Mengasihani diri seakan-akan tidak ada orang yang lebih menderita. Pada akhirnya, tidak semua orang memberi tanggapan serupa. Bila bertemu orang yang tidak memberikan simpati dan empati yang sama seperti yang diharapkan, hendak menyadarkan bahwa tak pantas rasanya aku dikasihani, semakin diri merasa terpojok. Semakin melas.
Beda

Beda

Lahir dan besar di sebuah lingkungan petani di desa yang mensyaratkan kekuatan dan kecerdasan fisik prima membuatku sering bertanya-tanya: mengapa aku berbeda. Di tengah anak-anak dengan kelincahan fisik hampir sempurna, aku hampir selalu menjadi nomor kesekian. Lecak begitu mereka memanggilku. Lecak adalah kata dalam bahasa Madura yang selalu diucapkan banyak orang di lingkunganku itu. Seperti agar-agar, ucap salah satu temanku menggambarkan kata lecak itu. Dengan kekuatan fisik seadanya, boleh dikata mendekati lemah, aku hampir tanpa harapan saat itu.

bedaDalam permainan kasti misalnya, aku hampir menjadi langganan objek penderita. Dalam kebanyakan kejadian, akulah anggota tim yang terakhir dipilih, dan diharapkan tersisih karena tidak ada lawan pembandingnya. Dan setelah masuk tim pun, aku biasanya ditunjuk menjadi pemukul bola kasti nomor dua dari akhir. Mengapa nomor dua dari akhir? Ya, karena di situ konsentrasi lawan sedang agak lemah sehingga aku bisa selamat dari lemparan bola kasti. Mengapa bukan yang terakhir? Karena pemukul paling akhir adalah pemukul paling kuat, dan sebab itu dalam karier permainan kastiku aku tidak pernah menjadi pemukul terakhir itu.