Puisi Motion - Octavio Paz - Terjemahan dan Analisis

Di bawah ini adalah puisi asli Octavio Paz yang berjudul Motion serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Versi bahasa Indonesianya sendiri saya salin dari blog toko-sepatu, yang digubah oleh Dedy Tri Riyadi.

Motion
Gerak
If you are the amber mare
   I am the road of blood
If you are the first snow
   I am he who lights the hearth of   dawn
If you are the tower of night
   I am the spike burning in your mind
If you are the morning tide
   I am the first bird's cry
If you are the basket of oranges
   I am the knife of the sun
If you are the stone altar
   I am the sacrilegious hand
If you are the sleeping land
   I am the green cane
If you are the wind's leap
   I am the buried fire
If you are the water's mouth
   I am the mouth of moss
If you are the forest of the clouds
   I am the axe that parts it
If you are the profaned city
   I am the rain of consecration
If you are the yellow mountain
   I am the red arms of lichen
If you are the rising sun
   I am the road of blood
Kalau kau gurat waktu batu ambar
    Aku urat darah menyebar
Kalau kau bulir salju mula-mula
    Aku pelita hati pagi tiba
Kalau kau menara malam
    Aku onak menyala dalam pikiran
Kalau kau pagi berombak
    Aku burung pertama berteriak
Kalau kau sekeranjang jeruk
    Aku pisau mentari menusuk
Kalau kau altar batu
    Aku tetangan tabu
Kalau kau daratan terlena
    Aku tebu hijau sempurna
Kalau kau laluan angin
    Aku api terkubur dingin
Kalau kau mulut air
    Aku lumut bau anyir
Kalau kau hutan dalam kabut
    Aku kapak membelah runut
Kalau kau kota berpolusi
    Aku air limbah dan lindi
Kalau kau kuning batu gamping
    Aku tangan merah lumut kering
Kalau kau matahari naik
    Aku darah menakik


Tak banyak yang bisa disampaikan terkait puisi ini. Bahasanya sangat puitis di satu sisi, kadang sangat kasar di sisi lainnya. “ I am the spike burning in your mind” misalnya. Atau “road of blood”. Kata-kata ini lalu dikombinasikan dengan kata-kata halus seperti “first bird’s cry”.

So, ada semacam riuh-rendah dalam puisi ini. Kadang dia terbang tinggi, kadang dia turun rendah sekali. Kadang dia berbicara tentang kesucian, kadang tentang hal-hal yang kotor. Dan bila menengok versi bahasa Inggrisnya, kalimat kondisional yang dipakai pun versi pertama. Versi yang mengotomatiskan klausa kedua alias klausa indenpendennya.

Ya, “semacam bila kau cantik, aku ganteng” begitu. Sesuatu yang otomatis terbentuk. Bukan lagi "akan" terbentuk.
Source: RocketNews24

Di dalam puisi ini, si aku alias I selalu menjadi kebalikan dari you. Bila si kau menjadi jeruk, si aku menjadi pisau. Apa pun yang dilakukan kau, si aku lantas menjadi sebaliknya. Bahkan menjadi penghancurnya.

Mungkin si aku dan kau ini bermusuhan. Jadi, dia selalu ingin menjadi kebalikan dari apa pun yang dilakukan si kamu. Jadi, ada saja yang dilakukannya untuk menyakiti si kamu. Ada saja yang dia lakukan untuk menjadi sebaliknya. Jadi, si aku bukannya melengkapi atau menyempurnakan, tetapi dia menghancurkan.

Mungkin ini terkait kebencian yang menjalar dan dipendam di dalam hati si aku. Kebencian yang berkelindan dengan dendam yang lantas memicunya untuk terus bergerak (motion) untuk menjadi sisi yang berkebalikan dari si kau.

Atau mungkin saja puisi ini hendak mengatakan bahwa akan selalu ada sisi sebaliknya dari apa pun yang kita lakukan. Bila kita berbuat baik, akan selalu ada orang yang mencemooh. Bila kita naik, akan selalu ada orang yang berupaya menjatuhkan. Bila kita jatuh, akan selalu ada orang yang membangunkan.


Selalu ada sisi sebaliknya dari apa pun yang kita lakukan.
Surat Terbuka dari Muslim Cicak

Surat Terbuka dari Muslim Cicak

Saudara muslimku yang kucintai,

Beberapa hari ini hatiku sedih tak terperi. Salah seorang teman membagikan tautan. Berita yang mengecam sikapku dan sebagian besar orang-orang sepertiku ini. Isi awalnya hanya tentang semut vs cicak dalam kisah saat Nabi Ibrahim dibakar Raja Namrud.

Semut dikisahkan membawa air sambil tersuruk-suruk untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Saat terpontang-panting, hewan lainnya menertawakan upaya semut yang sia-sia itu.

“Setidaknya Allah tahu kepada siapa aku berpihak?” balas semut dengan sengit.

Di sisi lain, saat makhluk lain bergotong royong memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim, si cicak malah meniup api. Dia membela raja Namrud. Jadilah dia makhluk terkutuk. Sebab, dia membela kemungkaran. Di akhir postingan itu, si penulis berujar dengan lantang: Apakah kamu muslim cicak itu, yang diam ketika agamanya dinista?

Ya, akulah yang dibidik itu. Akulah muslim cicak yang dimaksud itu. Dan mungkin sebagian kita, yang menolak untuk ikut serta dalam perdebatan tentang Ahok dan Al Quran: Almaidah 51. Salah seorang teman lain tak kalah bersemangat berujar, kamu itu “bagusnya mati saja, kok tidak punya ghirrah dalam membela agama”.

Tajam sekali, bukan? Rasa-rasanya tudingan itu menusuk tepat ke inti ulu hati. Sesudah dijadikan cicak, disuruh mati pula.

Saudaraku, bila dipikir-pikir, ujung masalah ini sederhana. Ahok yang memicunya. Dia menyinggung perasaan sebagian muslim. Intinya, dia lalu dianggap menistakan agama. Menistakan Alquran. Oke, Ahok salah di sini. Menggugat keyakinan dan kepercayaan orang lain. Beberapa orang melaporkan Ahok kepada pihak kepolisian. Ahok lalu minta maaf. Polisi berjanji untuk tetap menyelidiki dan mengusut masalah ini.

Dan, kukira masalahnya akan tuntas di sini. Ternyata respons kita sedikit berbeda-beda saat menunggu penuntasan kasus ini.

Ada sebagian saudara kita yang menganggap Ahok kebal hukum. Dilindungi penguasa. Perlulah ditempuh upaya ekstra. Perlu semangat lebih (baca: ghirrah) untuk menegakkan hukum. Membela agama. Membela Alquran. Dirancanglah demo, yang puncaknya pada tanggal 4 November esok hari. Langkah ini bagus sekali. Konstitusional dan menjunjung tinggi hukum. Pada titik ini, kita harus salut pada saudara kita ini. Tidak anarkis dan tetap menggunakan jalur yang disediakan sistem demokrasi.

Ada sebagian saudara kita lagi yang membela Ahok. Islam, bagi sebagian saudara kita ini, harus teduh dan mendamaikan. Harus melindungi minoritas. Harus menjaga kebhinekaan. Lagian, Ahok juga sudah meminta maaf, dan polisi sudah bergerak untuk memproses. Bila perlu waktu, wajar. Polisi tidak boleh gegabah, bukan? Pada mereka, kita perlu memuji sikap tenang dan damainya.

Ada sebagian lagi, seperti aku ini dan sebagian besar kita, hanya aktif membaca dan mengikuti perkembangan berita. Mengikuti perang twit, perang opini, perang meme. Melihat kasus ini dari kejauhan. Dan bersabar melihat muara dari kasus hukum ini. Di sela-sela itu, kami-kami ini berdoa mudah-mudahan saudara muslim kami yang SEMANGAT dan yang DAMAI tidak saling mencaci. Tidak saling membenci. Tidak saling memutus tali silaturahmi.

Bila dipikir-pikir, kita ini mirip-mirip saja sebenarnya. Hanya berbeda cara ekspresinya. Cara pengungkapannya. Kita seakan berbeda dalam segala, tetapi sebenarnya kita satu dalam cinta. Cinta agama kita. Alquran kita. Negara kita.

Saudara muslimku yang kucintai,

Sejatinya, aku ini tidak bisa seperti kalian, yang semangat atau pun yang damai. Aku hanya bisa ber-Islam secara sederhana. Menyapa tetangga, lalu tersenyum ramah. Menyambanginya bila sedang sakit. Bersilaturahim. Berkumpul dan saling bergurau untuk merekatkan persaudaraan.

Dalam urusan dakwah, aku hanya bisa mengingatkan bapak, ibu, atau adik-adik yang menyalakan sein kiri entah ternyata lurus terus atau malah belok kanan. Ilmuku hanya cukup untuk itu. Tidak cukup untuk hal lainnya. Maafkan bila Islamku hanya sesederhana itu.

Bila kulihat masalah keumatan yang paling pelik, mungkin itu hanya urusan sandal yang tak pernah tertata rapi di masjid. Ada sebagian kecil yang tertata rapi menghadap ke masjid memang. Tak sedikit yang miring, ada yang terbalik, ada yang terpisah dengan pasangannya, dan ada yang terinjak-injak. Sedih rasanya jika kemudian ada yang mengolok-olok: katanya agama terbaik, urusan sandal saja kok masih belum rapi? Dan aku belum bisa apa-apa untuk mengatasi itu. Mengatasi masalah sandal yang tak karu-karuan itu. Tak sebanding dengan upaya kalian.

Besok saudaraku, engkau akan berangkat berdemo. Hati-hatilah di jalan. Waspadai penyusup. Marilah kita berdoa bersama-sama agar demo berjalan damai dan santun. Mari kita doakan para ulama yang mengawal diberi kekuatan dan kemampuan mengendalikan semuanya.

Apa kata orang di luar sana bila sekali lagi umat Islam dianggap sebagai biang perpecahan, biang kerusakan, biang kerusuhan? Malulah kita.

Bila boleh, doakan kami juga para muslim yang sering dianggap muslim cicak ini diberi kemampuan untuk menggerakkan aksi menata lima sandal sebelum sholat Jumat. Ya, semacam kita bagi-bagi tugas. Engkau membela Alquran di sana dengan aksi damai, kami membela Alquran di sini dengan menata lima sandal sebelum sholat Jumat.

Bila boleh nitip aksi, tolong tata lima sandal juga di Istiqlal sebelum sholat Jumat ya. Ku dengar, di sana ada Aa Gym juga. Beliaulah yang dulu sering menyarankan kami-kami ini menata sandal di masjid. Salam takzim kepada beliau.

Jadi, saudaraku, besok 4 November, Mari Kita Dukung dan Mendoakan #AksiDamai#JakartakuDamai, dan jangan lupa #Nata5Sandal
Dari saudaramu

Qatar: Balapan Kuda di Kamar Mandi

Seharusnya hari itu aku duduk manis di kursi penumpang sambil menikmati pemandangan Dhoha yang agak lengang. Cuaca cerah, dan jalanan sepi. Betul, Dhoha sedang libur. Jumat dan Sabtu adalah hari libur mereka.
Namun, takdir memilih dan menyeretku ke “profesi dadakan lain” lain. Dimintalah aku menjadi juru bahasa. Menerjemahkan apa pun yang disampaikan guide berwajah tirus dan berkulit cokelat matang asal Bangladesh.
Bagian Dalam Bandara Qatar
Ingin kutolak saja permintaan itu. Menerjemah dan menjadi juru bahasa itu berbeda. Beda ilmunya dan beda praktiknya. Serta beda pendekatannya. Bagi orang yang jarang sekali bertemu dengan orang baru dan gemetar bila diminta berbicara di depan, hatiku ciut. Kaki gemetar. Gigi bergemeretak. Dan hawa dingin tiba-tiba merasuk ke jantung. Betul, aku grogi tingkat dewa.
Ingin lari saja dari kenyataan. Apa mau dikata, perintah Kiai Zainuddin tak bisa kutepis begitu saja. Meskipun baru beberapa jam bertemu, kiai tetaplah kiai. Cangkolang kata orang Probolinggo bila menolak perintah kiai.
Dan begitulah awalnya, aku diminta memimpin rombongan kami, lalu bertemu dengan guide serta sopir bus di pelataran bandara Dhoha yang megah dan canggih itu.
Kami lalu naik bus mikro berkursi 24 orang. Aku di depan menghadap penumpang. Menerjemahkan apa pun yang dikatakan guide yang berbahasa Inggris. Ketika melintasi pasar, dia bercerita tentang apa saja yang menarik dan dijual di pasar itu. Begitu pun ketika kami melintasi gedung modern yang ternyata menjadi markas Al-Jazeera di Qatar. Sebagian kecil takjub dan manggut-manggut terpesona melihat gedung besar itu. Dan sebagian besar biasa saja. Maklum, tahunya hanya Indosiar hehehe, termasuk yang nulis ini.
Kami lalu dibawa melintasi jajaran gedung bertingkat, yang plakatnya bertuliskan universitas-universitas besar dunia yang membuka cabangnya di Dhoha. Waw, luar biasa. Negara kecil ini begitu serius mempersiapkan masa depannya. SDM-nya. Setelah itu, kami dibawa ke residensial mewah, yang menurut guide-nya ditempati penduduk asli Qatar. Ada dua rumah mewah yang berdempetan, dan arsitekturnya persis sama. Warnanya sama-sama cokelat, dan di depannya berdiri megah dua pohon kurma.
“Itu adalah rumah orang kaya Qatar. Istrinya dua. Dibuatkanlah dua rumah yang persis sama dan berdempetan” ucap si guide sambil tersenyum. Ibu-ibu bersorak. Tiga orang bapak-bapak memperlihatkan wajah agak masam. Di kemudian hari baru kutahu, ketiganya membawa serta istri mudanya City Tour ke Dhoha ini. Oalah, itulah kenapa di wajah mereka langsung terlihat pucat.
“Di sini semakin banyak anak, semakin banyak tunjangan. Makanya orang asli Qatar punya lebih dari satu istri, dan banyak anak. Anak dipelihara Negara. Ditanggung negara” tambahnya lagi. Ibu-ibu tambah semakin sumringah. “Jadi ibu-ibu tidak perlu repot mengurus bayinya. Mengurus anaknya. Semuanya ditanggung Negara” ibu-ibu tambah semangat. Sebagian malah berbicara sendiri-sendiri. Tertawa-tawa sendiri.
Bus terus berjalan, lalu melewati arena pacuan kuda. Si guide lalu meneruskan kisahnya tentang kegemaran orang Qatar dalam balap kuda. “Tadi malam baru ada balapan kuda. Ruame di sini” sambungnya. Bus lalu berjalan perlahan, dan kemudian berhenti.
“Ayo ibu-ibu dan bapak-bapak yang mau melihat ruang balapan kuda” ujarku menirukan ucapan si guide dalam bahasa Indonesia. Saat semuanya turun, mata mereka membelalak dan bingung. Aku si interpreter dadakan ini tak kalah bingung setelah melihat sekitar.
“Mana mas ruang balapan kudanya” tanya salah seorang penumpang berkerudung putih, dan berkacamata hitam sambil menatapku heran dan penuh tanda tanya.
Di depan, hanya ada kamar mandi. Oalah, ternyata aku salah dengar, dan si guide ternyata bilang “rest room”, bukan “race room” hahahahaha.
Begitulah bila penerjemah diminta jadi juru bahasa atawa interpreter alias penerjemah lisan. Berabe. Kamar mandi malah diterjemahkan jadi ruang balapan kuda hahahaha.

Puisi Aku Ingin - Sapardi Joko Damono - Terjemahan dan Analisisnya


Berikut adalah terjemahan puisi "Aku ingin" karya Sapardi Joko Damono, oleh John H McGlynn. Puisi ini diterbitkan oleh Yayasan Lontar dalam Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono

Aku ingin
I want
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak pernah diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.
I want to love you simply
In words not spoken:
Tinder to the flame which transforms it to ash
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
I want to love you simply
In signs not expressed:
Clouds to the rain which make them evanesce

Puisi ini begitu sederhana. Tak ada kata-kata puitis. Nuansa yang coba dihadirkannya pun tidak begitu romantis. Biasa saja. Wajar-wajar saja. Namun entah mengapa puisi ini begitu abadi. Dari saat pertama kali diperdengarkan puisi ini langsung menjadi hits.

Undangan pernikahan, surat cinta, rayuan, sinetron, film, dan semua jenis medium hampir pernah mengutip puisi ini. Kekuatan kesederhanaan mungkin jadi inti utama dari puisi ini. Kesederhanaan yang dibalut ketulusan memang akan selalu menjadi kekuatan yang menggetarkan.

Mengutip kalimat yang disampaikan Leonardo da Vinci, Simplicity is the Ultimate Sophistication. Bila diterjemahkan secara bebas, kesederhanaan adalah kecanggihan paripurna. Kesederhanaan adalah pencapaian teragung dan paling sempurna dari seorang seniman.

Apakah isi atau makna yang coba disampaikan oleh guru besar bahasa Inggris UI ini sesederhana bentuk fisik alias wadak puisinya. Rasa-rasanya tidak. Entah sudah berapa orang yang menafsirkannya, tapi tak ada yang betul-betul mencapai kesimpulan yang sama. Ya, karena beda perspektif. Beda pengalaman hidup. Tak serupa lika-liku yang pernah ditempuh. Mungkin itu juga yang menjadikan puisi ini tak lekang dimakan zaman. Setiap orang memiliki penafsirannya sendiri-sendiri.
Source: http://bit.ly/2gvPwGb

Ada yang menganggap puisi ini tentang cinta tulus. Cinta yang tak perlu diucapkan dengan kata-kata. Hanya perlu ditunjukkan dengan perbuatan dan tindakan mencinta. Itulah cinta yang sederhana. Cinta yang terpancar dari tatapan mata, degup jantung, sirat pikiran, dan serangkaian tindakan.

Ada juga yang berpendapat: puisi ini tentang cinta tak sampai. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tak sempat tersampaikan meskipun si pecinta sudah berusaha mati-matian mengungkapkan cintanya. Puisi ini tentang cinta yang tak sempat tersampaikan.

Ada yang bilang cinta sederhana seperti yang disampaikan di puisi ini hampir mustahil dilakukan. Karena cinta yang sesederhana "cinta kayu kepada api yang menjadikannya abu" hampir tidak bisa dilakukan oleh manusia. Manusia tidak pernah sederhana dalam mencintai. Dibumbui cintanya itu dengan sekian harapan. Sekian keinginan. Harapan memiliki. Keinginan untuk menjadi satu-satunya cinta.

Meskipun tidak sama persis, entah mengapa puisi ini mengingatkan pada buku Hujan yang ditulis Tere Liye. Resensinya bisa dibaca di sini. Cinta yang dimiliki kedua insan di buku tersebut diwujudkan dalam berusaha maksimal menggapai masa depan. Bukan hanya lewat rayu-rayuan tetapi lewat tindakan nyata.

Hmmm, ingin rasanya bisa mencinta seperti yang disampaikan puisi "Aku ingin" ini. Mencinta dengan sederhana saja. Tak perlu muluk-muluk. Tapi rasa-rasanya itu mustahil.

Atau mungkin saja kita bisa mencintai secara sederhana. Tinggal kita mau apa tidak untuk belajar menerapkannya.


Puisi Stopping by Woods on a Snowy Evening - Robert Frost - Terjemahan dan Analisis

Berikut terjemahan menawan yang digubah oleh Hendra Gunawan, yang lengkapnya bisa diklik di sini.

STOPPING BY WOODS ON A SNOWY EVENING 
BERHENTI DI TEPI HUTAN KALA SENJA BERSALJU
Whose woods these are I think I know.
His house is in the village though;
He will not see me stopping here
To watch his woods fill up with snow.
Siapa pemilik hutan ini sepertinya kutahu.
Ia berumah jauh di desa sebelah sana itu;
Tak akan terlihat olehnya aku singgah sebentar
Memandangi hutannya penuh ditutupi salju.
My little horse must think it queer
To stop without a farmhouse near
Between the woods and frozen lake
The darkest evening of the year.
Kuda kecilku pasti terheran-heran
Mengapa berhenti jauh dari perkampungan
Di antara hutan terpencil dan danau beku
Adalah senja terkelam di sepanjang tahun.
He gives his harness bells a shake
To ask if there is some mistake.
The only other sound's the sweep
Of easy wind and downy flake.
Kudaku kelonengkan bel mungilnya
Mungkin bertanya ia adakah yang tak biasa.
Suara lain terdengar hanyalah sayup sapuan
Dari angin lembut dan guguran salju di udara.
The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep. 
Hutan ini alangkah menawan, dalam, dan gelap.
Sayang aku ada janji yang tak boleh tersilap,
Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelap,
Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelap.




Puisi ini menggunakan rima AABA, kecuali untuk bait atau stanza terakhir. Stanza terakhirnya menggunakan AAAA. Tak paham saya mengapa bait terakhir itu tidak seperti tiga bait sebelumnya. Mungkin dia kesulitan mencari kata dengan huruf akhir yang serupa. Atau, mungkin bisa saja dia, Pak Robert Frost ini, keluar dari pakem puisinya sendiri, semacam mencari jalan lain. Ya, betul, seperti puisinya yang sangat terkenal itu, the road not taken. Baca di sini kalo belum sempat baca.

Seperti laiknya zaman itu, nuansa alam masih setia menghiasi puisi-puisinya. Mirip puisinya tentang A Minor Bird. Mungkin pada zaman itu, alam masih sangat hijau. Masih sangat rimbun. Masih penuh misteri. Saat memasuki hutan, yang terlihat masih sebentang misteri yang belum terpecah. Belum sempat diketahui.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan lagi. Mirip seperti the road not taken, yang sudah saya singgung di atas. Bedanya: kalau di puisi the road not taken, si aku sedang menempuh perjalanan sementara di puisi ini si aku “berhenti di tepi hutan kala senja bersalju”.
 
Source: http://travelingted.com/
Seperti biasanya, dia terpukau melihat alam sekitar. Mengamati kudanya yang keheranan. Lalu bertanya dengan membunyikan lonceng yang dikenakan. Hutan itu begitu memukau. Dalam, gelap, tetapi memukau. Sayang seribu sayang, dia tak boleh beristirahat terlalu lama. Sebab, ada janji yang harus ditunaikannya.

Puisi ini seakan mengajak saya, pembacanya, untuk tetap fokus pada tujuan perjalanan, yaitu janji yang harus ditunaikan. Kadang, entah diakui atau tidak, kita terpikat sesuatu atau seseorang selama perjalanan. Akhirnya, kita berpaling. Tidak lagi bergerak dengan penuh tekad menuju tujuan yang sudah ditetapkan. Pada janji yang sudah kadung disampaikan.

Ah, kadang setia pada tujuan memang tak pernah semudah saat diucapkan.

Rumah Lapang dan Tamu yang Kurang Ajar

Langit berwarna biru hampir sempurna. Namun, sedikit ternoda sepuhan awan putih yang berarak menuju barat. Sementara itu, dia berdendang di belakang. Suaranya sayup-sayup tersapu angin. Lagu romansa kukira yang dia gumamkan. Atau apa lagu Korea. Entahlah.

Aku konsentrasi saja memegang setir sepeda motor. Meskipun sudah tua sepeda motor ini, bangga dan bahagia rasanya bisa memboncengnya berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain. Setidaknya ini cara terbaik yang bisa kulakukan untuk membahagiakannya pada periode bulan madu ini. Murah dan sudah cukup membuatnya bahagia.

“Maaf, mas mau kemana?” tanya Satpam itu sopan, memecah konsentrasi dan senyum yang kusungging. Matanya menatap kami penuh selidik.

“Mau ke rumah teman Pak?” balasku, dengan ekspresi tenang. Dadaku berdegup kencang sebenarnya, takut ditanya alamat rumah “teman” itu.

“Oya, Mas. Silakan” serunya, yang mengisyaratkan agar aku segera melajukan sepeda motor hitam yang sadelnya dirobek kucing itu.

Setelah berterima kasih, kugas sepeda motorku perlahan. Lalu, kulihat spion. Ternyata ada mobil Kijang Innova berwarna putih yang hendak masuk. Fyuh, slamet-slamet. Untung, ada mobil itu. Dengan begitu, kami berdua jadi terhindar dari ditanya banyak-banyak.

Kami lalu berkeliling. Mencari rumah yang konon mirip di film drama Korea “Full House” itu. Semenjak dia menonton drama yang menggunakan rumah yang dihiasi banyak kaca di pinggir pantai itu, dia selalu mendesakku mengantarnya ke perumahan ini. Konon di dalam perumahan itu, ada rumah besar yang mirip dengan rumah di drama Korea yang populer pada saat itu.

Hatiku ciut sebenarnya. Membayangkan ditanya-tanya satpam, atau mungkin diinterogasi sebelum akhirnya diusir. Tapi sial, cinta, ya cinta, kadang membutakan. Menebalkan rasa berani dan membesarkan jiwa pejuang. Setelah menebalkan muka dan berhitung segala kemungkinan, aku menuruti keinginannya.

“Itu dia rumahnya” serunya dari belakang beberapa saat kemudian. Dari nada suaranya, dia jelas bahagia. Sumringah.

Akhirnya, setelah beberapa kali berputar, kami menemukan rumah Full House yang besar sekali itu. Bestari dan indah. Jajaran pohon palem beserta entah pohon apa ditanam berjajar di sekeliling rumah, yang kutaksir mungkin seluas 1000 meter itu.

Kami lalu berhenti, berkeliling, dan menikmati melihat rumah itu dari jarak dekat dan jauh. Bahagia sekali melihatnya tertawa ceria. Wajahnya berbinar. Matanya penuh pendar cahaya.

Aku hanya bisa tersenyum. Berbahagia melihatnya begitu ceria.

Tapi ada satu yang mengangguku. Berbohong kepada satpam tadi jelas tak bisa dibenarkan. Diam-diam terbersit dalam hati “Seandainya saja benar-benar ada teman yang punya rumah di sini. Mungkin aku tidak perlu bohong pada satpam.”

Dan setelah berbilang tahun, berlalu ratusan purnama, dan beringsut ribuan hari, Allah menjawab harapan kami. Hari ini, kami diundang dalam acara makan siang dalam rangka tasyakur rumah teman kami, Mas Tarto dan Mbak Dewi.

Betul, perumahan yang kumaksud dalam cerita di atas dan rumah yang ditempati Mas Tarto sekeluarga adalah Permata Jingga. Nama perumahan yang ya kau tahu sering menciutkan hati orang yang mendengarnya. Termasuk aku dan orang yang kubonceng saat itu. Dia sudah menjadi ibu dari anak-anakku, anyway.

Tak perlu ditanya. Rumahnya megah. Desainnya indah. Fasad dengan desain minimalis tapi terlihat apik, paduan warna cat eksterior dan cahaya lampu yang berpendar membuatnya terlihat wah. Apalagi lingkungannya tenang, tertata, dan aman. Tatanan rumah dan tatanan lingkungannya mungkin bisa dibilang “perfecto”.

Saking apik tatanan rumahnya kukira area dapur yang kami masuki pertama kali itu adalah ruang tamunya. Dugaan lugu yang lantas memantik tawa teman-teman lain yang berkunjung.

Setelah dimohon menyantap hidangan yang disajikan terlebih dahulu, kami lantas diajak berbincang-bincang. Bercerita. Dan seperti halnya cerita favorit kami semua, Mas Tarto dan Mbak Dewi bercerita tentang lika-liku pernikahan. Tentang pertemuan yang memicu asmara. Lalu, berlanjut ke pernikahan. Cerita lalu berpindah ke ngontrak rumah, berjalan melintasi jalan yang disampingnya terdapat kuburan, dan apalagi kalo bukan cerita hantu. Kami lantas tertawa-tawa dan saling bertukar cerita penuh semangat.

Singgih sekeluarga, Lilik sekeluarga, dan aku sekeluarga yang datang bersamaan malam itu begitu bersyukur bisa bersilaturahim. Bisa ikut mensyukuri  dan mendoakan agar keberkahan selalu menghujani rumah itu. Serta, tak kalah pentingnya belajar cerita kehidupan dari orang yang menjalaninya langsung. Belajar hikmah, bukan lagi teori.
 
Sumber: FB-nya Mas Tarto
Oya, kami datang saat azan isya berkumandang. Padahal kami diundang untuk acara makan siang. Dan sialnya kami tidak bawa apa-apa. Kurang ajar, bukan? Hahaha

Namun, tuan rumah menyambut kami dengan suka cita. Dengan bahagia. Seakan-akan kami tamu pertamanya. Padahal kutahu Mas Tarto menyembunyikan diri saat menguap. Mungkin dia tidak ingin tamunya terburu-buru pulang bila tahu dia lelah dan mengantuk. Kami sadar sebenarnya, Mas Tarto dan Mbak Dewi pasti kelelahan karena sedari siang menerima banyak tamu.

Kami hanya bisa kagum dan berseru di dalam hati melihat sikap keduanya: Salut. Luar biasa keluarga ini. Kami kira rumah yang akan ditempati keluarga mereka berdua ini sudah luas. Sudah lapang. Ternyata hati keduanya jauh lebih luas. Jauh lebih lapang. Dan untuk itu, kami harus banyak belajar.


Malang, 22 Oktober 2016

Puisi lengkap AADC?2 – Gubahan M. Aan Mansyur

Namanya terdengar sayup-sayup di antara jubelan penulis baru yang terus bermunculan. M Aan Mansyur nama lengkapnya. Entahlah siapa nama panggilannya.

Namanya kian berkibar saat diajak Riri Riza untuk menuliskan puisi dalam film AADC?2. Awalnya kukira apa bisa penulis muda ini menyaingi nama tenar Chairil Anwar, atau semodern puisi Sumanjaya yang digunakan di film pertama AADC.

Ternyata, puisi-puisinya memang bagus. Bagus banget. Cocok dengan karakter Rangga yang cool itu. Berikut adalah beberapa puisinya yang digunakan di film yang membuat baper jutaan orang Indonesia itu.

1. Tidak Ada New York Hari Ini

Tidak ada New York hari ini
Tidak ada New York kemarin
Aku sendiri dan tidak berada di sini
Semua orang adalah orang lain
Bahasa Ibu adalah kamar tidurku
Kupeluk tubuh sendiri
Dan Cinta, Kau tak ingin aku
mematikan mata lampu
Jendela terbuka
dan masa lampau memasukiku sebagai angin
Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening, kau yang dingin dikenang

---*Puisi dibacakan di awal film. Rangga saat itu masih di apartemennya di New York. Dengan pembawaan yang cool, suara berkharisma, dan puisi yang keren, puisi ini menjadi pembuka yang manis untuk film AADC?2 ini.

2. Ketika Ada Yang Bertanya Tentang Cinta



Ketika aku bertanya kepadamu tentang cinta
kau melihat langit membentang lapang
menyerahkan diri untuk dinikmati, tapi menolak untuk dimiliki

Ketika kau bertanya kepadaku tentang cinta, 
aku melihat nasib manusia
terkutuk hidup di bumi
bersama jangkauan lengan mereka yang pendek
dan kemauan mereka yang panjang

Ketika aku bertanya kepadamu tentang cinta,
kau bayangkan aku seekor burung kecil yang murung
bersusah payah terbang mencari tempat sembunyi
dari mata peluru para pemburu

Ketika kau bertanya kepadaku tentang cinta
aku bayangkan kau satu-satunya pohon yang tersisa
kau kesepian dan mematahkan cabang-cabang sendiri

Ketika ada yang bertanya tentang cinta, 
apakah sungguh yang dibutuhkan adalah kemewahan kata-kata
atau cukup ketidaksempurnaan kita?

3. Batas


Semua perihal diciptakan sebagai batas
Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain
Hari ini membelah membatasi besok dan kemarin
Besok batas hari ini dan lusa
Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota,
bilik penjara, dan kantor wali kota, 
juga rumahku, dan seluruh tempat di mana pernah ada kita
Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta
Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi dipisahkan kata
Begitu pula rindu
Antar pulau dan seorang petualang yang gila
Seperti penjahat dan kebaikan dihalang ruang dan undang-undang
Seorang ayah membelah anak dari ibunya dan sebaliknya
Atau senyummu dinding di antara aku dan ketidakwarasan
Persis segelas kopi tanpa gula pejamkan mimpi dari tidur
Apa kabar hari ini?
Lihat tanda tanya itu 
Jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi

---*Puisi ini diberikan Rangga bagi Cinta sebagai upaya permintaan maaf. Saat itu, pertanyaan Rangga yang terdengar sinis ketika mereka akan berpisah memicu kemaharan. Puisi ini lantas digunakan Rangga sebagai ucapan permintaan maaf, dan diberikan Rangga di Klinik Kopi, salah satu kedai kopi di Jogja. 

4. Akhirnya kau hilang


Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di mana-mana
Di udara dingin yang menyusup di bawah pintu
Atau di baris-baris puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa
Di sepasang mata gelandangan yang menyerupai jendela berbulan-bulan tidak dibersihkan
Atau di balon warna-warni yang melepaskan diri dari tangan seorang bocah
Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di jalan-jalan
Atau bangku-bangku taman yang kosong
Aku menemukanmu di salju yang menutupi kota
Seperti perpustakaan sastra
Aku menemukanmu di gerai-gerai kopi, udara, dan aroma makanan yang keluar atau terlalu matang
Aku menemukanmu berbaring di kamarku yang kosong
Saat aku pulang dengan kamera di kepala
berisi orang-orang pulung yang tidak ku kenal
Kau sedang menyimak lagu yang selalu kau putar
Buku cerita yang belum kelar kau baca
Bertumpuk bagai kayu lapuk di dadaku
Tidak sopan kataku mengerjakan hal-hal tapi tetap kesedihan
Akhirnya kau hilang, kau meninggalkan aku
Dan kenangan ini satu-satunya akar getah yang tersisa

5. Frase


"Kadang-kadang kau pikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang. Jika ada seorang terlanjur menyentuh inti jantungmu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan kemungkinan-kemungkinan."
sumber gambar: http://sinopsisfilm21.com/


---*Inilah puisi yang menjadi penutup film. Mengingatkanku pada lirik lagu Marcell, semua yang terlambat, serta puisi yang ditulis indah oleh A.E Housman, yang berjudul When I was one and twenty.

Untuk puisi di film Ada Apa dengan Cinta? pertama, baca Puisi Ada Apa dengan Cinta 1? Karya Rako Prijanto - Cerita dan Analisisnya

Puisi When I was one and twenty – A.E Housman – Terjemahan dan Analisis

Berikut adalah puisi When I was one and twenty, yang berisi banyak nasihat bagi pemuda itu. Puisi ini ditulis secara sangat ringkas, tapi mendalam oleh mendiang A.E Housman.

When I was one-and-twenty
I heard a wise man say,
“Give crowns and pounds and guineas
But not your heart away;
Give pearls away and rubies
But keep your fancy free.”
But I was one-and-twenty,
No use to talk to me.

Kala usiaku satu-dan-dua-puluh
Kudengar seorang bijak berkata,
“Berikan mahkota dan rupiah dan juta
Tapi jangan hatimu kau serah;
Berikan saja mutiara dan permata
Namun tetaplah merdeka.”
Tetapi saat itu usiaku satu-dan-dua-puluh,
Berbicara padaku tak ada guna.

When I was one-and-twenty
I heard him say again,
“The heart out the bosom
Was never given vain;
‘Tis paid with sighs a plenty
And sold for endless rue.”
And I am two-and-twenty,
And oh, ‘tis true, ‘tis true.
Kala usiaku satu-dan-dua-puluh
Kudengar dia berkata lagi,
“Hatimu berasal dari jiwa
Tak boleh disia-sia;
‘Itu dibayar dengan banyak keluh kesah
Dan ditukar sesal tanpa pangkal.”
Dan sekarang usiaku dua-dan-dua-puluh,
Dan ya, ‘memang begitu, ‘memang begitu.’

Puisi ini menggunakan rima ABCBCDAD di bait pertama. Lalu, pada bait kedua rima yang digunakan adalah ABCBADAD. Pilihan kata-katanya sangat sederhana. Ya, seperti halnya tipikal puisi lama. Patuh terhadap aturan, menggunakan kata-kata sederhana, dan larik-lariknya pendek. Jumlah larik pada tiap baitnya pun standar puisi lama. Bila tidak empat, ya enam. Bila tidak enam, ya delapan (mirip beberapa puisi era Emily Dickinson dan RobertFrost, dan John Cornford). Namun, terlepas dari bentuk fisiknya, arti dan kandungan puisi ini tak kalah mendalam.

Seperti yang sudah bisa diduga, ini tentang saran atau nasihat kepada pemuda/pemudi, yang seperti biasanya tidak dipatuhi. Pada akhirnya, pemuda tersebut mengalami kejadian yang persis seperti yang dinasihatkan. Lambat laun seiring bertambahnya usia, kesadaran mulai hinggap. Meski, semuanya sudah mulai terlambat. Hati sudah diberikan, sementara penerimanya mungkin tidak sesuai harapan.

Entah mengapa puisi ini membawa saya teringat pada satu lagu, yang romantis, puitis. Dinyanyikan secara liris dan merdu oleh Marcell. Tapi sebagaimana lagu Marcell lainnya, ending-nya agak tragis. Judulnya adalah semua yang terlambat. Di bawah adalah kutipannya:

Aku..
Hanya sinar yang melintas
Sekedip
Bagai kunang-kunang kecil
Dan engkau sayap-sayap yang meranggas
Seusai
Sekepak kau mengudara
Membawa hatiku semua

Bayangkan bila kita mencintai seseorang sebegitu dalam, lalu kita memberikan seluruh perhatian, fokus, kewarasan, perjuangan, dan hampir semua aspek kehidupan. Dan sebagai balasannya, kita hanya seperti sinar yang melintas sekejap. Sekedip. Seperti kunang-kunang saat malam tiba. Dan orang yang kita cintai itu lantas pergi. Mengepakkan sayapnya menuju hidup dan cinta yang diidamkannya sendiri.
 
Source: sariwaran.com
Sekepak sayapnya membawa habis seluruh perbendaharaan cinta yang kita punya. Yang kita kumpulkan dan kita pungut sepanjang usia. Dan saat sayap itu perlahan memudar dari penglihatan, kita hanya bisa duduk termangu di sudut kamar sambil melihat bintang gemintang yang tersenyum kecut, yang menatap nanar lantas melambaikan tangan tanda perpisahan. Tiba-tiba menangis tak lagi menjadi pilihan menarik. Air mata terlanjur kering. Dan tak bisa menarik kembali seluruh kondisi awal. Tak bisa memulihkan istana hati yang runtuh perlahan.

Dan pada akhirnya waktu memaksa kita memungut sisa-sisa kesadaran. Di titik itu, lantas kita berkata “Semuanya sudah terlambat. Hatiku sudah terlanjur dibawa lari”. Dan di titik itu kita tahu bahwa pesan dalam puisi when I was one and twenty ini benar.

Namun, cukup sebegitu dulu melow-nya. Kita bahas kemungkinan lain. Kemungkinan makna lain dari puisi ini.

Bila dipikir-pikir, bukan itu saja yang harus kita jaga. Tidak hanya cinta yang harus kita jadikan titik fokus. Harapan juga. Kepercayaan pun tak kalah perlu kita taruh hanya pada orang yang betul-betul amanah. Kita berikan harapan dan kepercayaan pada orang yang tahu betul cara menjaganya. Orang yang "menjaga kepercayaan" sepenuh hatinya.

Namun, saya tetap merasa puisi ini tentang cinta. Tentang hati. Kadang ketika usia masih belum beranjak lama, kita mudah jatuh cinta. Pada seorang laki-laki atau perempuan rupawan, hati sudah deg-degan tak karu-karuan. Pembuluh darah membesar, jadinya gampang lapar. Pupil mata mengecil sehingga ketika kita menatap sekitar yang terlihat hanya orang yang kita kagumi itu. Sementara itu, otak terus bergerilya mencari cara bertemu. Menelusuri kemungkinan-kemungkinan untuk melihatnya lagi. Tersenyum sekali lagi. Tertawa sekali lagi. Menoleh sekali lagi. Jadinya, tidur tak telap. Jalan tak terjaga. Diri terasa mengambang. Tak berpijak, tak juga terbang.

Tiba-tiba lagi, saya teringat puisi frase yang dibacakan secara pas. Secara menawan oleh Rangga dalam AADC2 (baca di sini lengkapnya). Nukilan ini ditulis oleh Aan Mansyur.

" .. Kadang-kadang,  kau pikir, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang,
Jika ada seorang terlanjur menyentuh inti jantungmu,  mereka yang datang kemudian hanya menyentuh kemungkinan.. "


Makjleb banget, kan?