Sekilas Kumencintaimu

Derit lirih yang muncul dari pergesekan lokomotif, gerbong, dan rel selalu menyiksaku. Mengiris-iris hati. Apalagi ditambah rasa bosan dan jenuh yang mengendap dalam setiap udara pengap dalam gerbong ini. Aku tak begitu suka perjalanan. Menempuh berkilo-kilo, tanpa aktivitas, terdiam sendiri. Benar-benar menjemukan. Perjalanan ini penuh ketidakstabilan, dan aku benci ketidakstabilan.
Source: www.flickr.com

Mungkin ini imbas dari hidupku yang sudah penuh dengan ketidakstabilan. Ya, sedari kecil. Aku seakan sudah menanggung dosa turunan. Bayangkan belum genap setahun ayahku sudah meninggal. TBC, kata orang-orang. Ayahmu orang dermawan. Dia selalu terjaga setiap malam, sholat tahajud demi memiliki seorang anak yang hidup. Dan hiduplah engkau sekarang, demikianlah bila kurangkum ucapan orang-orang yang selalu berulang.

Sementara ibuku, seperti hidup di dunianya sendiri sekarang. Semenjak kepergiaan ayah, dia sering menangis sendiri. Bayangan ayah mengisi penuh relung hatinya. Tak ada sedikit pun tersisa untukku. Semua tugasnya sebagai ibu dijalaninya sebagai kewajiban. Membesarkanku baginya seperti beban.

Ibu tidak pernah menatap langsung mataku. Tak pernah kulihat pendar matanya yang basah karena menangisiku. Tidak pernah memarahiku bila nakal. Tidak pernah memuji bila aku melakukan hal-hal hebat. Tidak pernah mencium pipiku. Dia hanya menjawab sekedarnya. Jiwanya mungkin terbang bersama kepergiaan ayah.

Semua larik takdir itu mengajariku untuk tidak bergantung kepada siapa-siapa. Untuk berhenti berharap. Untuk tidak pernah mengharapkan siapa pun akan menyentuh sisi terdalam hatiku. Setidaknya sampai sejam yang lalu.

Dia duduk di sisi paling luar tempat duduk di gerbong ekonomi. Matanya memandang kemana-mana. Kerudung berwarna toska dililitkan ke wajahnya yang berbentuk oval. Hidungnya tidak mancung, juga tak pesek. Sedang-sedang saja. Bibirnya seperti belahan bulan sabit, kukira.

Kupilih tempat duduk di sisi agak dalam, sehingga tersisa satu ruang kosong di tengah. Rasa kikuk menjalari kakiku. Ingin kulirik, tetapi aku takut pandanganku bertemu pandangannya. Pandangan yang mungkin akan membuat kacau seluruh pertahananku.

Sejenak kemudian, dia meletakkan tasnya yang terbuat dari kain cokelat agak tebal. Aku lega dia meletakkannya di situ. Aku suka caranya mengambil jarak.

"Nggak apa-apa ya mas tak taruh tengah sini" ucapnya kemudian sambil menatap mataku. Meskipun hatiku bergemuruh tak karu-karuan, kupaksa untuk menatapnya dengan tenang. Perlahan kukuasai diriku. "Daripada diduduki orang lain" lanjutnya sambil menyunggingkan senyum.

"Ya mbak." balasku singkat. Dari caranya meletakkan tas, mungkin dia memang tidak tertarik untuk ngobrol atau sekedar berbasa-basi.

"Masnya mau kemana?"

"Ke Jakarta"

"Wah ke Jakarta ya. Kalo aku ke Solo Mas" lanjutnya.

Dia lalu bercerita bahwa ini pertama kalinya dia pulang ke Solo naik kereta. Biasanya dia naik travel atau bus. Sekarang dia mencoba pengalaman baru. Naik kereta. Di bus dan travel semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang main game. Ada yang mendengarkan lagu, sambil menganggukkan-anggukkan kepala. Dan dia tidak suka. Dia suka ngobrol, bercerita.

"Aku tambah suka nih kalo ada yang dengarkan seperti masnya gini." Dia lalu tertawa. Barisan gigi putihnya terlihat sekilas.

"Mbaknya bisa saja" balasku sambil tersenyum.

"Siap-siap bosen dengerin ceritaku ya sampai Stasiun Balapan" lanjutnya.

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Aku tak tahu harus bilang apa. Ingin kukutuk diriku sendiri. Kebodohanku sendiri. Kegugupan menguasaiku. Tidak membiarkan diriku memenangkan pertempuran. Bahkan hanya untuk membalas setiap celetukannya.

"Wah, Mas-e nggak mau dengar ini kayaknya" ucapnya sambil merengut.

"Ah, nggak mbak. Siap dengerin, sumpah."

Dan dia pun mulai bercerita. Dia memilih kuliah di Malang sebab Malang dingin. Enak buat belajar. Hawa dingin menyebabkan orang-orangnya agak kalem. Tidak mudah terprovokasi, urainya bersemangat, seakan-akan lupa bahwa yang ada di hadapannya adalah arek malang.

Kadang dia melontarkan kisah-kisah lucu. Dan aku pun hanya bisa tertawa, terkendali, dan menimpali seperlunya. Mungkin aku memang tidak mampu membuat lelucon seperti dirinya atau bahkan aku takut mengeluarkan ucapan-ucapan yang kata teman-teman penuh dengan sarkasme.

Melihatku tak tertawa lepas bahkan membuatnya lebih bersemangat lagi bercerita. "Teman kamarku agak aneh Mas" ucapnya. Matanya membelalak, sehingga pupilnya terlihat besar, dan skelaranya berwarna seputih susu. "Dia pendengar setiaku, tapi ya begitu dia ngederin sambil merem. Nah, pas aku sudah nangis-nangis, tak ada suara apa-apa. Hanya suara napasnya yang teratur. Eh ternyata dia tidur." Matanya kembali menyipit, bibirnya melengkung, dan dia tertawa.

Aku pun ikut tertawa. Meskipun jujur aku tak tahu apa yang lucu dari cerita itu. Tapi terus terang melihat gelombang kisah yang meluncur deras itu, aku ikut-ikutan terhibur. Seakan aku terbawa ke dalam ceritanya. Ceritanya berloncat-loncat dari satu topik-topik lain. Dari satu nama ke nama lain yang tidak aku kenal sama sekali. Dan aku tetap mendengarkan penuh takzim.

Melihat tawanya yang renyah, kisahnya yang disampaikan secara lancar, dan celetukan spontan hatiku ikut bahagia. Entahlah. Setiap dia tertawa, aku ikut bahagia.

Barisan sawah hijau tak lagi menggodaku. Suara ngorok dari penumpang tak lagi mengganggu. Fokusku kini pada setiap cerita, dan tawa. Serta kerutan yang tercipta di wajahnya saat dia tertawa.

Dan kini aku tiba-tiba merasa ada banyak oksigen dalam gerbong itu. Ada banyak kupu-kupu yang beterbangan di atas kerudung toska yang dikenakannya. Mungkin ini akibat hormon yang dimunculkan keceriaan dan tawa bahagia. Hormon yang membuat orang lupa waktu dan derita.

Nah aku berdoa lamat-lamat dalam hati dalam setiap tawa dan tatapku agar waktu tidak berkhianat. Tidak memendekkannya dari panjang yang semestinya. Dan belum selesai rasanya kuberdoa, laju kereta melambat. Bunyi decit yang awalnya hanya mengiris hati sekarang menyiksa dan membuat pening kepala.

Dan dia mulai berkemas. Mengambil tas yang diletakkan di kursi tengah.

"Oh ya, mas namanya siapa?"

"Andi. Mbak-e namanya siapa?" balasku.

"Ria." ucapnya sambil menatap mataku dengan tenang. "Lengkapnya Riang Gembira" lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Prinsip dan Pelajaran Pelayanan dari Tukang Balon

Anak bungsuku meminta untuk dibelikan balon. Merengek. Kubalas dengan tatapan saja. Diulanginya lagi. Terus dan hanya kubalas dengan tatapan. Dia terus merengek. Setelah tahu aku kalis dari rengekan dan suara manjanya, dia lalu menggunakan jurus pamungkas: meminta digendong. Dipegangnya kepalaku, dan giliran dia yang menatapku lamat-lamat.

“Aku……mau……balon” ucapnya lantang dengan intonasi yang dipelan-pelankan dan tegas. Ekspresi wajahnya menegang sebentar. Kalah diplomasi, kucium keningnya. Dia pun tertawa. Mungkin di dalam hatinya dia girang. Ayahnya takluk dan akan menuruti permintaannya. Aku lalu pamit kepada beberapa saudara dari tempat resepsi, dan langsung menuju satu-satunya penjual balon. Sudah tidak asing lagi, di lokasi pernikahan di desaku, akan ada penjual mainan dan balon, selain penjual bakso dan kacang rebus.

 “Beli balon Pak” ujarku pada sosok bapak berusia sekitar lima puluh tahunan. Kulitnya gelap. Mungkin karena sering tersengat sinar matahari. Keriput di wajahnya juga sangat kentara.

“Yang mana mas?” jawabnya sambil menatapku sekilas. Dia tersenyum sedikit. Tatapannya pun beralih ke balon aneka warna yang dijualnya. Ada balon yang berbentuk karakter burung, kartun, dan film. Keena, anak ragilku itu, tanpa diperintah langsung memilih jenis balon yang diinginkannya. Dia memilih balon berbentuk burung.

“Saya tambahi angin dulu Mas” lanjutnya sambil mengambil balon berbentuk burung itu. Dibukanya lubang angin di balon.

“Saya sebenarnya males bawa tangki sebanyak ini Mas.” Diliriknya sebentar empat tangki yang sudah berwarna cokelat karena karatan. Pandanganku pun otomatis mengarah ke sana. Empat tangki yang mungkin berdiameter 50 cm diangkut dengan Honda Star tahun 90-an. Di sekelilingnya ada banyak selang dan tali-temali yang ruwetnya bukan main. Di sisi kanan tabung-tabung itu, ada mainan lain yang berjuntai tak teratur. Sepertinya, memang susah untuk mengangkutnya.

Ya, berat kayaknya memang Pak”

“Ya. Tapi kasihan yang beli. Balonnya tidak bisa terbang lama kalo nggak ditambahi angin. Uang sekarang susah nyarinya.” Ucapnya sambil menambahi angin. Beberapa detik kemudian, dia sudah selesai menambahi angin dan mengikat balon yang sudah lebih berisi itu dengan benang yang lebih panjang.

Dia lalu menyerahkan balon itu padaku. Sebagai gantinya, kuserahkan uang sepuluh ribuan sesuai harga balon itu. Terima kasih tak lupa diucapkannya. Tidak hanya dengan kata, tetapi dengan tatapan sendu dari kedua mata yang memerah.

Keena lalu mengambilnya dari tanganku. Dia senang bukan kepalang. Sebab, dia akirnya mendapatkan balon yang diinginkannya. Bapak itu senang, balonnya laku untuk kesekian kali. Dan aku tak kalah bahagia dan tersentuh dengan ajarannya tentang pelayanan kelas tingginya. Pelajaran yang jarang aku dapatkan dari buku-buku.

Pelajaran itu ialah “memberikan lebih banyak secara lebih baik dan lebih tulus demi menghargai orang yang berkenan membeli produk kita. Karena mungkin, uang yang dikeluarkan orang untuk membayar kita itu tidak gampang diperoleh”.

Itulah prinsip dan pelajaran pelayanan yang aku pelajari dari tukang balon itu. Sederhana, tetapi mengubah sudut pandangku.


Waktu - Puisi Ulang Tahun Singgih dan Lilik*

Waktu mengajarimu, lalu mengajariku
Kita sejatinya hanya berdiri di tepian waktu
Menunggu antrian kita kan tiba
Saat ajal terlepas dari jasad, tanpa paksa

Tetaplah bahagia
Ucapmu sejenak

Tak ada kemarin yang menghantui
Tak ada esok yang kan melukai
Hanya ada hari ini
Hanya ada hari ini, ulangmu lantang

Dan kita tertawa-tawa saja
Pada kata-kata bersayap yang tak bermakna
Pada obrolan kesana-kemari tanpa arti
Pada sindiran yang menukik ke hati sendiri

Selamat mengulang harimu sahabatku
Semoga matahari pagi menerbitkan harapmu
Semoga terik siang membakar semangatmu
Semoga mega sore mengikis habis kegundahanmu

Dan kau hari ini mengajariku satu
Persahabatan bukan tentang untung rugi
Bukan tentang memikirkan dunia kita sendiri
Tetapi tentang berbagi bahagia, dan berbagi air mata
*Puisi ulang tahun ini dibacakan pada ulang tahun Singgih dan Lilik, anggota tim kami di TB. Sebuah kehormatan dan kebahagiaan memilikinya selama beberapa tahun ini.

Puisi how happy is the little stone, Emily Dickinson, dan tiga terjemahannya

Di bawah ini adalah terjemahan dari puisi how happy is the little stone karya Emily Dickinson. Dua terjemahan dalam bahasa Jawa, dan satu dalam bahasa Indonesia.

How happy is the little stone

How happy is the little stone
That rambles in the Road alone
And does not care about Careers
And Exigencies never fears-
Whose coat of elemental Brown
A passing universe put on,
And independent as the Sun
Associates or glows alone.
Fulfilling absolute Decree
In casual Simplicity
(Emily Dickinson)
Alangkah Bahagia Kerikil Itu

Alangkah bahagia jadi kerikil itu
Tetap riang di jalan tanpa teman
Tak peduli jenjang pekerjaan
Dan tak cemas pada kekurangan -
Berselimut warna cokelat dasar
Dipasangkan semesta yang berkitar,
Dan mandiri bak mentari
Hangat bersahabat, atau gemilang tatkala sendiri.
Memenuhi ketetapan hakiki
Dalam sederhana tanpa basa-basi
(Anton Haryadi)

Watu Klungsu*

Saiba senenge watu klungsu
Dolan dhewekan neng tengah dalan
Ora maelu sakehing gegayuhan
Ora kesamaran nandhang cingkrang
Nganggo jas warna soklat
Paringane jagat kang mbeneri lewat
Uripe merdika kaya surya
Bisa bebrayan bisa suminar tanpa kanca
Nyanggemi patembayan sawiji
Kanthi prasaja, kanthi permati
(A. Effendi Kadarisman)
Saiba senenge dadi kerikil*

Kaya apa bungahe si watu cilik
Kluyuran dhewe ing ratan gedhe
Ora perduli tandang gawe
Tanpa waswas bebaya teka
Klambine deles soklat tuwa
Sing nglambeni wong sakdonya
Bisa merdika kaya srengenge
Sing tanpa bala bisa murub dhewe
Nglakoni dhawuhe Gusti ing jagad gedhe
Kanthi sarana sing mung sepele
(anonim)

*Dua puisi ini dikutip dari blog bahtera yang ditulis oleh Bapak Setyadi, yang dapat diakses di: http://blog.bahtera.org/2009/08/pilih-sing-ayu-apa-sing-setya-pilih-yang-cantik-atau-yang-setia/.

Sumber: Pinterest.com


Dan sebagaimana halnya terjemahan puisi lain, pasti ada sedikit banyak yang tidak sesuai dengan maksud si pujangga. Dan sebagaimana halnya kopi, itu semua tidak masalah. Puisi ada, untuk dibaca, diresapi, atau dinikmati. Jadi, selamat menikmati.

Belajar Hidup Bahagia dari Kerikil

Aku cemas.

Kondisi ekonomi tak juga bergeliat. Indikator sederhananya pembelian sepeda motor dan mobil menurun, yang konon angkanya mencapai dua digit April dan Mei 2016 ini. Pelaku ekonomi mulai pesimis. Harga komoditas tak juga beranjak. Ekonomi mengalami perlambatan. Sementara itu, harga bahan pokok naik. Bawang merah naik. Telur naik. Beras diperkirakan akan naik. Dan yang turun, ya ekonomi Indonesia. Aku, si penerjemah junior minim pengalaman dan tanpa spesialisasi, ikut terpengaruh. Sebab, aku adalah salah satu roda gigi dalam mesin besar ekonomi kapitalisme global. Pekerjaan jadi berkurang.

Sahabat dalam Sulit Sahabat Segala-galanya

Sore tua nan dingin pada bulan Agustus itu berjalan lambat. Seakan malas diajak bergerak. Ratusan mahasiswa berjalan ke sana kemari, seperti tanpa tujuan. Ada yang wajahnya sumringah dengan baju putih dan celana hitam kusut dan menenteng jas almamater hijau. Ada yang kuyu, kelelahan. Ada yang berbicara lantang. Ada yang diam sendirian. Terseret lamunan.

Sementara, taman tengah kampus terlihat kering kerontang. Rerumputannya hendak menjemput ajal. Terlihat semakin melas saja ditindas musim kemarau yang masih lama beranjak, dan derap kaki ratusan orang.