Derit lirih yang muncul dari pergesekan lokomotif, gerbong, dan rel selalu menyiksaku. Mengiris-iris hati. Apalagi ditambah rasa bosan dan jenuh yang mengendap dalam setiap udara pengap dalam gerbong ini. Aku tak begitu suka perjalanan. Menempuh berkilo-kilo, tanpa aktivitas, terdiam sendiri. Benar-benar menjemukan. Perjalanan ini penuh ketidakstabilan, dan aku benci ketidakstabilan.
Mungkin ini imbas dari hidupku yang sudah penuh dengan ketidakstabilan. Ya, sedari kecil. Aku seakan sudah menanggung dosa turunan. Bayangkan belum genap setahun ayahku sudah meninggal. TBC, kata orang-orang. Ayahmu orang dermawan. Dia selalu terjaga setiap malam, sholat tahajud demi memiliki seorang anak yang hidup. Dan hiduplah engkau sekarang, demikianlah bila kurangkum ucapan orang-orang yang selalu berulang.
Sementara ibuku, seperti hidup di dunianya sendiri sekarang. Semenjak kepergiaan ayah, dia sering menangis sendiri. Bayangan ayah mengisi penuh relung hatinya. Tak ada sedikit pun tersisa untukku. Semua tugasnya sebagai ibu dijalaninya sebagai kewajiban. Membesarkanku baginya seperti beban.
Ibu tidak pernah menatap langsung mataku. Tak pernah kulihat pendar matanya yang basah karena menangisiku. Tidak pernah memarahiku bila nakal. Tidak pernah memuji bila aku melakukan hal-hal hebat. Tidak pernah mencium pipiku. Dia hanya menjawab sekedarnya. Jiwanya mungkin terbang bersama kepergiaan ayah.
Semua larik takdir itu mengajariku untuk tidak bergantung kepada siapa-siapa. Untuk berhenti berharap. Untuk tidak pernah mengharapkan siapa pun akan menyentuh sisi terdalam hatiku. Setidaknya sampai sejam yang lalu.
Dia duduk di sisi paling luar tempat duduk di gerbong ekonomi. Matanya memandang kemana-mana. Kerudung berwarna toska dililitkan ke wajahnya yang berbentuk oval. Hidungnya tidak mancung, juga tak pesek. Sedang-sedang saja. Bibirnya seperti belahan bulan sabit, kukira.
Kupilih tempat duduk di sisi agak dalam, sehingga tersisa satu ruang kosong di tengah. Rasa kikuk menjalari kakiku. Ingin kulirik, tetapi aku takut pandanganku bertemu pandangannya. Pandangan yang mungkin akan membuat kacau seluruh pertahananku.
Sejenak kemudian, dia meletakkan tasnya yang terbuat dari kain cokelat agak tebal. Aku lega dia meletakkannya di situ. Aku suka caranya mengambil jarak.
"Nggak apa-apa ya mas tak taruh tengah sini" ucapnya kemudian sambil menatap mataku. Meskipun hatiku bergemuruh tak karu-karuan, kupaksa untuk menatapnya dengan tenang. Perlahan kukuasai diriku. "Daripada diduduki orang lain" lanjutnya sambil menyunggingkan senyum.
"Ya mbak." balasku singkat. Dari caranya meletakkan tas, mungkin dia memang tidak tertarik untuk ngobrol atau sekedar berbasa-basi.
"Masnya mau kemana?"
"Ke Jakarta"
"Wah ke Jakarta ya. Kalo aku ke Solo Mas" lanjutnya.
Dia lalu bercerita bahwa ini pertama kalinya dia pulang ke Solo naik kereta. Biasanya dia naik travel atau bus. Sekarang dia mencoba pengalaman baru. Naik kereta. Di bus dan travel semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang main game. Ada yang mendengarkan lagu, sambil menganggukkan-anggukkan kepala. Dan dia tidak suka. Dia suka ngobrol, bercerita.
"Aku tambah suka nih kalo ada yang dengarkan seperti masnya gini." Dia lalu tertawa. Barisan gigi putihnya terlihat sekilas.
"Mbaknya bisa saja" balasku sambil tersenyum.
"Siap-siap bosen dengerin ceritaku ya sampai Stasiun Balapan" lanjutnya.
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Aku tak tahu harus bilang apa. Ingin kukutuk diriku sendiri. Kebodohanku sendiri. Kegugupan menguasaiku. Tidak membiarkan diriku memenangkan pertempuran. Bahkan hanya untuk membalas setiap celetukannya.
"Wah, Mas-e nggak mau dengar ini kayaknya" ucapnya sambil merengut.
"Ah, nggak mbak. Siap dengerin, sumpah."
Dan dia pun mulai bercerita. Dia memilih kuliah di Malang sebab Malang dingin. Enak buat belajar. Hawa dingin menyebabkan orang-orangnya agak kalem. Tidak mudah terprovokasi, urainya bersemangat, seakan-akan lupa bahwa yang ada di hadapannya adalah arek malang.
Kadang dia melontarkan kisah-kisah lucu. Dan aku pun hanya bisa tertawa, terkendali, dan menimpali seperlunya. Mungkin aku memang tidak mampu membuat lelucon seperti dirinya atau bahkan aku takut mengeluarkan ucapan-ucapan yang kata teman-teman penuh dengan sarkasme.
Melihatku tak tertawa lepas bahkan membuatnya lebih bersemangat lagi bercerita. "Teman kamarku agak aneh Mas" ucapnya. Matanya membelalak, sehingga pupilnya terlihat besar, dan skelaranya berwarna seputih susu. "Dia pendengar setiaku, tapi ya begitu dia ngederin sambil merem. Nah, pas aku sudah nangis-nangis, tak ada suara apa-apa. Hanya suara napasnya yang teratur. Eh ternyata dia tidur." Matanya kembali menyipit, bibirnya melengkung, dan dia tertawa.
Aku pun ikut tertawa. Meskipun jujur aku tak tahu apa yang lucu dari cerita itu. Tapi terus terang melihat gelombang kisah yang meluncur deras itu, aku ikut-ikutan terhibur. Seakan aku terbawa ke dalam ceritanya. Ceritanya berloncat-loncat dari satu topik-topik lain. Dari satu nama ke nama lain yang tidak aku kenal sama sekali. Dan aku tetap mendengarkan penuh takzim.
Melihat tawanya yang renyah, kisahnya yang disampaikan secara lancar, dan celetukan spontan hatiku ikut bahagia. Entahlah. Setiap dia tertawa, aku ikut bahagia.
Barisan sawah hijau tak lagi menggodaku. Suara ngorok dari penumpang tak lagi mengganggu. Fokusku kini pada setiap cerita, dan tawa. Serta kerutan yang tercipta di wajahnya saat dia tertawa.
Dan kini aku tiba-tiba merasa ada banyak oksigen dalam gerbong itu. Ada banyak kupu-kupu yang beterbangan di atas kerudung toska yang dikenakannya. Mungkin ini akibat hormon yang dimunculkan keceriaan dan tawa bahagia. Hormon yang membuat orang lupa waktu dan derita.
Nah aku berdoa lamat-lamat dalam hati dalam setiap tawa dan tatapku agar waktu tidak berkhianat. Tidak memendekkannya dari panjang yang semestinya. Dan belum selesai rasanya kuberdoa, laju kereta melambat. Bunyi decit yang awalnya hanya mengiris hati sekarang menyiksa dan membuat pening kepala.
Dan dia mulai berkemas. Mengambil tas yang diletakkan di kursi tengah.
"Oh ya, mas namanya siapa?"
"Andi. Mbak-e namanya siapa?" balasku.
"Ria." ucapnya sambil menatap mataku dengan tenang. "Lengkapnya Riang Gembira" lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Source: www.flickr.com |
Mungkin ini imbas dari hidupku yang sudah penuh dengan ketidakstabilan. Ya, sedari kecil. Aku seakan sudah menanggung dosa turunan. Bayangkan belum genap setahun ayahku sudah meninggal. TBC, kata orang-orang. Ayahmu orang dermawan. Dia selalu terjaga setiap malam, sholat tahajud demi memiliki seorang anak yang hidup. Dan hiduplah engkau sekarang, demikianlah bila kurangkum ucapan orang-orang yang selalu berulang.
Sementara ibuku, seperti hidup di dunianya sendiri sekarang. Semenjak kepergiaan ayah, dia sering menangis sendiri. Bayangan ayah mengisi penuh relung hatinya. Tak ada sedikit pun tersisa untukku. Semua tugasnya sebagai ibu dijalaninya sebagai kewajiban. Membesarkanku baginya seperti beban.
Ibu tidak pernah menatap langsung mataku. Tak pernah kulihat pendar matanya yang basah karena menangisiku. Tidak pernah memarahiku bila nakal. Tidak pernah memuji bila aku melakukan hal-hal hebat. Tidak pernah mencium pipiku. Dia hanya menjawab sekedarnya. Jiwanya mungkin terbang bersama kepergiaan ayah.
Semua larik takdir itu mengajariku untuk tidak bergantung kepada siapa-siapa. Untuk berhenti berharap. Untuk tidak pernah mengharapkan siapa pun akan menyentuh sisi terdalam hatiku. Setidaknya sampai sejam yang lalu.
Dia duduk di sisi paling luar tempat duduk di gerbong ekonomi. Matanya memandang kemana-mana. Kerudung berwarna toska dililitkan ke wajahnya yang berbentuk oval. Hidungnya tidak mancung, juga tak pesek. Sedang-sedang saja. Bibirnya seperti belahan bulan sabit, kukira.
Kupilih tempat duduk di sisi agak dalam, sehingga tersisa satu ruang kosong di tengah. Rasa kikuk menjalari kakiku. Ingin kulirik, tetapi aku takut pandanganku bertemu pandangannya. Pandangan yang mungkin akan membuat kacau seluruh pertahananku.
Sejenak kemudian, dia meletakkan tasnya yang terbuat dari kain cokelat agak tebal. Aku lega dia meletakkannya di situ. Aku suka caranya mengambil jarak.
"Nggak apa-apa ya mas tak taruh tengah sini" ucapnya kemudian sambil menatap mataku. Meskipun hatiku bergemuruh tak karu-karuan, kupaksa untuk menatapnya dengan tenang. Perlahan kukuasai diriku. "Daripada diduduki orang lain" lanjutnya sambil menyunggingkan senyum.
"Ya mbak." balasku singkat. Dari caranya meletakkan tas, mungkin dia memang tidak tertarik untuk ngobrol atau sekedar berbasa-basi.
"Masnya mau kemana?"
"Ke Jakarta"
"Wah ke Jakarta ya. Kalo aku ke Solo Mas" lanjutnya.
Dia lalu bercerita bahwa ini pertama kalinya dia pulang ke Solo naik kereta. Biasanya dia naik travel atau bus. Sekarang dia mencoba pengalaman baru. Naik kereta. Di bus dan travel semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Ada yang main game. Ada yang mendengarkan lagu, sambil menganggukkan-anggukkan kepala. Dan dia tidak suka. Dia suka ngobrol, bercerita.
"Aku tambah suka nih kalo ada yang dengarkan seperti masnya gini." Dia lalu tertawa. Barisan gigi putihnya terlihat sekilas.
"Mbaknya bisa saja" balasku sambil tersenyum.
"Siap-siap bosen dengerin ceritaku ya sampai Stasiun Balapan" lanjutnya.
Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Aku tak tahu harus bilang apa. Ingin kukutuk diriku sendiri. Kebodohanku sendiri. Kegugupan menguasaiku. Tidak membiarkan diriku memenangkan pertempuran. Bahkan hanya untuk membalas setiap celetukannya.
"Wah, Mas-e nggak mau dengar ini kayaknya" ucapnya sambil merengut.
"Ah, nggak mbak. Siap dengerin, sumpah."
Dan dia pun mulai bercerita. Dia memilih kuliah di Malang sebab Malang dingin. Enak buat belajar. Hawa dingin menyebabkan orang-orangnya agak kalem. Tidak mudah terprovokasi, urainya bersemangat, seakan-akan lupa bahwa yang ada di hadapannya adalah arek malang.
Kadang dia melontarkan kisah-kisah lucu. Dan aku pun hanya bisa tertawa, terkendali, dan menimpali seperlunya. Mungkin aku memang tidak mampu membuat lelucon seperti dirinya atau bahkan aku takut mengeluarkan ucapan-ucapan yang kata teman-teman penuh dengan sarkasme.
Melihatku tak tertawa lepas bahkan membuatnya lebih bersemangat lagi bercerita. "Teman kamarku agak aneh Mas" ucapnya. Matanya membelalak, sehingga pupilnya terlihat besar, dan skelaranya berwarna seputih susu. "Dia pendengar setiaku, tapi ya begitu dia ngederin sambil merem. Nah, pas aku sudah nangis-nangis, tak ada suara apa-apa. Hanya suara napasnya yang teratur. Eh ternyata dia tidur." Matanya kembali menyipit, bibirnya melengkung, dan dia tertawa.
Aku pun ikut tertawa. Meskipun jujur aku tak tahu apa yang lucu dari cerita itu. Tapi terus terang melihat gelombang kisah yang meluncur deras itu, aku ikut-ikutan terhibur. Seakan aku terbawa ke dalam ceritanya. Ceritanya berloncat-loncat dari satu topik-topik lain. Dari satu nama ke nama lain yang tidak aku kenal sama sekali. Dan aku tetap mendengarkan penuh takzim.
Melihat tawanya yang renyah, kisahnya yang disampaikan secara lancar, dan celetukan spontan hatiku ikut bahagia. Entahlah. Setiap dia tertawa, aku ikut bahagia.
Barisan sawah hijau tak lagi menggodaku. Suara ngorok dari penumpang tak lagi mengganggu. Fokusku kini pada setiap cerita, dan tawa. Serta kerutan yang tercipta di wajahnya saat dia tertawa.
Dan kini aku tiba-tiba merasa ada banyak oksigen dalam gerbong itu. Ada banyak kupu-kupu yang beterbangan di atas kerudung toska yang dikenakannya. Mungkin ini akibat hormon yang dimunculkan keceriaan dan tawa bahagia. Hormon yang membuat orang lupa waktu dan derita.
Nah aku berdoa lamat-lamat dalam hati dalam setiap tawa dan tatapku agar waktu tidak berkhianat. Tidak memendekkannya dari panjang yang semestinya. Dan belum selesai rasanya kuberdoa, laju kereta melambat. Bunyi decit yang awalnya hanya mengiris hati sekarang menyiksa dan membuat pening kepala.
Dan dia mulai berkemas. Mengambil tas yang diletakkan di kursi tengah.
"Oh ya, mas namanya siapa?"
"Andi. Mbak-e namanya siapa?" balasku.
"Ria." ucapnya sambil menatap mataku dengan tenang. "Lengkapnya Riang Gembira" lanjutnya sambil tertawa terbahak-bahak.