Fresh Start dan Titik Balik Tak Terduga

Setelah tulisan kemarin tentang ulang tahun dan fresh start, ada yang mengusik pikiran. Kapan sebenarnya kita bisa fresh start? Apakah harus menunggu tahun baru lalu membuat resolusi? Atau harus menunggu ulang tahun?

Pertanyaan itu langsung membawaku ke masa-masa saat bersekolah tingkat menengah atas. Saat itu, aku masih belajar di Madrasah Aliyah Bahrul Ulum, Besuk Kidul, Probolinggo. Sekolah terpecil, yang terletak di sisi selatan Kecamatan Besuk

Anak-anak dari desaku terkenal atas kenakalannya. Ada saja ulah mereka, yang membuat para guru geleng-geleng kapala. Namun, tak pernah bisa marah. Sebab, kami selalu punya alasan meyakinkan. Bila jam masuk sekolah ditetapkan pukul 12.30 siang, kami baru sampai di sekolah pukul 13.30.

Kami melewati kantor dan ruang kepala sekolah. Saat ditanya Bapak Kepala Sekolah kenapa kami telat, kami enteng saja menjawab.

“Kami malu Pak”

“Apa kaitannya malu dengan terlambat ke sekolah?”

“Kami malu di sawah Pak”

“Kalian nggak perlu malu. Sekolah itu harus tepat waktu. Bila masuknya pukul 12.30, ya kalian datang tepat waktu” lanjutnya. “Kalian malu kalau kalian mencuri. Kalau bekerja di sawah saja tidak perlu malu”

“Kami malu tanaman tembakau Pak.” ujar Armin.

“Apa itu?”

“Itu lho Pak. Kami menggunakan pacul untuk meletakkan tanah tepat di bagian bawah tanaman tembakau. Fungsinya itu agar tanaman tembakaunya cepat besar dan bagus. Rumputnya mati karena ketutupan tanah.” Zainul menimpali dengan serius.

“Itu malo tembakau, bukan malu.”

“Ya maksud kami gitu Pak” jawabku dengan logat Madura kental.

 “Lha terus?”

“Kalau nggak gitu, kami nggak bisa sekolah Pak. Untuk bayar SPP dan bantu orang tua, kan harus ke sawah Pak.”

“Oh ya sudah, kalau begitu. Kalau sudah tidak musim tembakau, kalian lebih tepat waktu ya?”

“Kalau tidak musim tembakau, ya musim padi Pak. Kami ke sawah lagi” jawab Kholis.

“Ya sudah, intinya diperbaiki ketepatan waktu kalian.”

Photo by Ajmal Ali on Unsplash

Lama-lama, para guru seakan membuat konsensus tak tertulis bahwa anak-anak dari desaku harus diperlakukan khusus. Bila tertidur di dalam kelas, kami dibiarkan saja. Para guru sepertinya lebih senang begitu. Bila jam olahraga, kami duduk-duduk saja di kantin. Tak ada satu pun anak di desa kami yang becus berolahraga. Dan tak ada guru yang juga ingin mendorong kami berolahraga.

Perlakuan khusus lain yang teringat jelas di kepala adalah saat akan ada pemilihan kepala desa. Kami dikumpulkan di ruang kelas 2 B. Sebagian kecil kami sudah kelas tiga, dan aku sendiri kelas 2. Kami berbisik dan saling menatap kebingungan. Mengapa kami dikumpulkan, padahal anak-anak dari desa lain yang juga sedang ada pemilihan kepala desa tidak diberi pengarahan.

“Kalian dikumpulkan di sini karena kami para guru prihatin dan ingin berpesan” kami terdiam saja mendengarkan Pak Ul guru Bahasa Inggris. “Kalian jangan ikut pasang taruhan untuk pemilihan kepala desa ya.” Ekspresi Pak Ul sangat serius. Begitu juga Pak Miskribin, kepala sekolah kami. "Kami serius, dan tolong ini dicamkan."

“Maka, Selasa besok, tak boleh ada yang absen. Semua harus masuk sekolah. Bila tidak, nanti orang tua kalian kami panggil” lanjut Pak Miskribin.

“Baik Pak. Kami tidak akan ikutan taruhan Pak. Kami nggak punya uang Pak. Sekolah saja kami harus ke sawah dulu kalau pagi” ujar Armin sambil tertawa kecil.

Sebagian besar tertawa terbahak-bahak setelah keluar dari pertemuan tersebut. Kalau kami punya uang, tentunya kami sekolah di tempat lain. Tidak di sekolah ini. Kami sekolah di MA Bahrul Ulum lebih karena uang kami terbatas. Miskin. Kami pun tertawa geli.

Namun, entah mengapa pertemuan terakhir tentang pesan agar kami tidak ikut berjudi dalam ajang pemilihan kepala desa ini menggangu pikiran. Apakah desa kami sebegitu buruk sehingga kami terus menerus “di-bully”?

Muncul rasa tersinggung di dalam hati. Kian hari, rasa tersinggung itu kian besar. Lalu, muncullah keinginan untuk membalas dendam. Dari semua pilihan membalas dendam, entah mengapa aku memilih belajar bahasa Inggris agar bisa mempermalukan Pak Ul di depan kelas. Sudah sering kami dipermalukan di depan kelas, terutama bila telat.

Dan itulah awal yang mengubah nasibku. A fresh start. Sebuah titik balik. Meskipun harus bersepeda 11 km bolak-balik dari rumah ke tempat kursus bahasa Inggris, kujalani hari demi hari agar akhirnya bisa menjaga marwah desa dan membalaskan dendam teman-teman sedesa.

Ikut kursus karena tersinggung berat dan ingin membalas dendam? Begitulah titik balikku, my fresh start...

Fresh Start dan Ulang Tahun

Beberapa hari lalu, tanggal lahirku berulang. Tak ada yang istimewa dari ulang tahun kali ini. Rambut putih yang pertama kali tumbuh itu semakin banyak mengajak kerabat dan handai taulannya. Rambut putih makin jadi mayoritas di kepala. Makin kentara.

Jatah usia terus berkurang. Jumlah amal jatuh tersungkur. Karya stagnan. Pemasukan menyusut perlahan. Rasa malas dan keinginan menunda semakin meraja. Rasanya, semua hal negatif datang sekaligus. Atas semua hal negatif itu, lantas apa yang perlu dirayakan, pikirku. Ini hanya hari biasanya. Hanya, tanggalnya saja yang berulang setiap tahunnya.

Lantas pada pagi-pagi buta, satu pesan WA muncul.


Muhajir di tengah perjuangannya sendiri meluangkan waktu untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Akhir tahun 2020 tak berjalan lancar baginya dan keluarga. Dan di tengah kesulitan-kesulitan itu, ia menyempatkan diri.

Aku pun berterima kasih atas perhatian dan doa tulusnya.

Sebelum berangkat ke kantor, istriku juga mengucapkan selamat ulang tahun dengan senyum khasnya yang selalu merekah. Ia minta maaf karena tak bisa terjaga semalaman. Ia kecewa tak sempat menyiapkan kejutan apa pun.

"Ya nggak apa-apa, lha wong aku juga tertidur. Lagian sudah tua. Ngapain juga merayakan ulang tahun" ujarku sambil tersenyum.

Sesampainya di kantor pada siang harinya, ucapan ulang tahun kuterima dari beberapa rekan kerja. Anehnya, mereka yang menyampaikan bukan yang setiap hari bersamaku. Hanya sehari dalam seminggu, aku membersamai mereka. Lalu siang menjelang dan datanglah kue tiramisu lembut berwarna putih, yang bertabur cokelat manis nan lezat di atasnya. Kata QQ si manajer kantor, mereka iuran untuk membelikanku kue. What a kind heart they have and beautiful gift they give.

Saat menerimanya, ada rasa hangat yang menjalar di hati. Perhatian dan ketulusan mereka seakan menjadi pemantik semangat. Tak tahu apakah semangat itu akan berlanjut dan terus membara. Tahun 2020 tidak mudah. Tantangan dan masalah terus menerpa.

Sepulang dari kantor, Keena anak keduaku lari menyambut. Ia memelukku erat sekali.

"Maaf ya yah, kuenya gak jadi. Kayaknya salah tepung. Jadi, belum bisa di-baking" ucapnya lirih sambil terbata. Wajahnya terlihat sedih.

"Ya, nggak apa-apa" jawabku sambil berjalan ke arah kulkas. Kulihat wadah yang berisi adonan kue yang agak bantet. Kutatap wajahnya yang mungil dan kupeluk lagi. Untuk kedua kalinya hari itu, kurasakan kehangatan di hati. Tak tahu harus harus berkata apa. Yang jelas, aku bahagia tak terkira.

Sejenak kemudian, Kafka turun dan mengambil pesanan GrabFood untuk secara sederhana merayakan ulang tahunku. Perayaan sederhana dengan pizza mungil pun berlangsung. Tak ada kado. Tak ada lilin. Namun, ada berjuta ketulusan dan kebahagiaan yang menyelimuti hati. Rasanya, inilah salah satu ulang tahun terindahku.

Apakah ulang tahun bisa mengubah seseorang? Tak tahu juga.

Namun, diingat dan diperhatikan saat engkau tak begitu peduli dengan dirimu sendiri bisa menjadi titik balik. Itulah fresh start, sebagaimana diteliti Hengchen Dai, Katherine L. Milkman, Jason Riis (2014). Efek fresh start bisa menjadi titik pandu sementara, yang memotivasi orang untuk mengejar cita-cita dan mengubah perilakunya menjadi lebih positif. Dan lebih aspiratif.

Dan resolusi ulang tahunku
lebih bermanfaat dan lebih kuat. Bagi mereka dan bagi diriku sendiri.





Carilah Cara atau Buatlah Alasan

“Tadi malam mau tak selesaikan, ternyata malah tertidur. Kemarin kelelahan. Akhirnya pagi ini belum selesai. Mohon maaf ya” ujar salah seorang kenalan saat saya tanya tentang progres suatu pekerjaan yang saya percayakan.

Salah seorang teman guru juga bercerita. Rekan kerjanya selalu punya alasan saat ditanya tentang penyelesaian perangkat pembelajaran. Hari ini dia beralasan “flash disk saya kena virus.” Besoknya, laptopnya heng alias error. Besoknya lagi, sudah dia taruh di flash disk tapi ternyata tidak ada di flash disk.

Situasi semacam ini jamak kita temui dalam keseharian. Bahkan, kita diam-diam kagum karena kadang alasan yang dipakai makin canggih. Makin variatif setiap harinya. Dan makin kita tidak bisa membantahnya.

John Rohn, seorang pengusaha dan motivator asal Amerika, pernah menulis kutipan yang pas. If you really want to do something, you'll find a way. If you don't, you'll find an excuse. Bila diartikan secara literal “Bila sungguh-sungguh ingin melakukan sesuatu, kamu akan menemukan cara. Bila tidak, kamu akan menemukan alasan”. 



Mirip man jadda wajada?

Betul, mirip. Kesamaannya adalah kesungguhan. Kesungguhan menentukan langkah berikutnya. Dan kesungguhan ditentukan juga oleh seberapa mendesak “sesuatu” itu. Makin mendesak, makin kita bersungguh-sungguh.

Oleh karenanya, ada yang merevisi kutipan John Ro dengan menambahi kata NOW. If you really want to do something NOW, you'll find a way soon. If not, you'll find an excuse after all. Artinya “Bila sungguh-sungguh ingin melakukan sesuatu SEKARANG, kamu akan SEGERA menemukan cara. Bila tidak, kamu akan menemukan alasan pada akhirnya.”

Saat menulis ini, saya sedih sekali. Salah seorang teman kesulitan untuk memulai lagi menulis dan menyelesaikan karya akhirnya padahal hampir tenggat. Belanda sudah di depan mata. Saya ingin mendorong dan membantunya, tetapi tidak tahu bagaimana.

Namun, KESUNGGUHAN menuntun saya menuliskan kalimat-kalimat sederhana ini. Tak tahu apakah akan berguna.

Kerjakanlah SEKARANG. Kapan lagi? 

Photo by Allie Smith on Unsplash

Bila tidak juga memulai lagi, segeralah buat alasan, kawanku. Karena gagal menyelesaikan ternyata butuh alasan. Dan buatlah alasan yang banyak. Karena kalau sedikit, kurang meyakinkan

Jembatan dan Terowongan

 Pada suatu hari, salah seorang teman kuliah bercerita. Ia merasa kurang dihargai di tempat kerjanya. Saat diangkat untuk jabatan tertentu, ia tidak diberi tahu apa tugasnya. Setelah menganalisis kondisi, ia menetapkan prioritas utama, yaitu membereskan administrasi. Dari cara pencatatan dan pelaporan, ia rapikan perlahan. Jadi, di permukaan, ia seakan tidak menyelesaikan apa-apa. Nihil. Bila menggunakan bahasa sekarang, ia dianggap magabut. Makan gaji buta.

Setahun berlalu, ia diberhentikan karena dianggap tidak perform.

Curhatannya mengingatkan saya pada perdebatan tentang prestasi Gubernur Jakarta. Meskipun jauh di ibukota sana, media sosial membuatnya terlihat dekat. Gubernur Jakarta seakan lebih kita kenal daripada Ketua RT di desa.

Setiap muncul perbedatan tentang prestasi Gubernur Jakarta, setiap itu pula muncul gambar Simpang Susun Semanggi. Jembatan simpang susun itu memang elok dipandang mata, apalagi pada malam hari saat semua lampunya nyala. Pendar cahaya yang membingkai jembatan akan menggoda semua orang untuk terpukau, apalagi dilihat dari atas. Bentuk simetrisnya yang serupa bunga makin membuatnya terlihat sempurna.

Itulah sifat jembatan yang, menurut Seth Godin, akan menciptakan kemenangan atau monumen bagi orang-orang yang bisa menggalang sumber daya untuk membangunnya. Selain itu, durasi pembuatan jembatan sedikit lebih cepat dan biaya pembuatannya relatif sedikit lebih terjangkau daripada membangun terowongan.

Bridge

Dua alasan itulah yang barang kali melatarbelakangi mengapa lebih banyak pemimpin memilih membangun jembatan daripada terowongan. Konsep ini, menurut Godin, juga berlaku untuk budaya kerja dan masyarakat secara umum.

Padahal, bila dipikir lebih mendalam, terowongan sering menjadi solusi elegan atas suatu permasalahan. Terowongan tidak mengubah lansekap. Terowongan tidak menciptakan kehebohan. Tidak menarik perhatian. Saking kurang menariknya, orang sering lupa dan tidak mengapresiasi orang-orang yang mengumpulkan sumber daya atau yang membangunnya. Meskipun elegan dan efektif, terowongan sering dilupakan.

Itulah mengapa lebih banyak jembatan daripada terowongan, lanjut Seth Godin dalam tulisannya. Betul juga bila dipikir-pikir. Jembatan lebih mudah dipamerkan. Jadinya, lebih mudah diapresiasi. Lebih mudah dihargai.

Dari Terpaksa hingga Jadi Teladan

Aku pertama kali berbicara dengannya di bawah rindang pohon palem di depan kampus pada akhir semester 2. Tepatnya, di tepi pejalan kaki di sebuah taman hijau nan elok, yang dulu tersohor dengan  nama taman seribu janji. Mengapa seribu janji? Di situ tempat sebagian besar mahasiswa berjanji untuk serius menimba ilmu? Atau karena banyak orang pacaran dan mengobral janji manisnya? Tak ada yang tahu sejarahnya dan asal usul pastinya. Yang jelas, aku pertama kali berbincang relatif lama dengannya di sana.



“Dulu aku sebenarnya ingin kuliah di jurusan Bimbingan dan Konseling. Sudah keterima di UM juga tahun lalu” ia menatap ke rerumputan yang meranggas di tepi taman. “Tapi gak jadi karena gak punya biaya. Setelah nggak kuliah setahun, ya akhirnya di Unisma ini. Ngambil bahasa Inggris karena nggak ada BK atau psikologi.”

 Aku hanya tersenyum mendengarnya bercerita. Sesekali, kuselipi dengan anggukan dan tertawa saat ia juga tertawa.

“Kukira kuliah di Unisma ini jurusannya Sastra Inggris, ternyata Pendidikan Bahasa Inggris. Jadi guru. Padahal, aku nggak mau jadi guru.”

“Oh sama” ujarku memotong pembicaraannya yang kadang akan panjang bila bertemu dengan pendengar yang baik. “Tak kira dulu di sini belajar Sastra Inggris. Ternyata keguruan.”

“Salah jurusan juga ternyata.”

“Ya begitulah. Dulu ikut SPMB di UM, tapi gagal”

“Bukan jodoh”

“Bukan masalah jodoh, tapi bodoh”

“Jodoh?”

“Bukan, aku yang bodoh. Makanya nggak berhasil tembus UM”

“Oh sama, aku juga.”

“Sama-sama bodoh harus saling mendukung” ucapnya sambil tersenyum.

Tak ada respons lain yang terpikir, aku pun ikut tersenyum. Untuk orang yang sering sarkastis dan penuh kata tajam dan sinis, jumlahku tersenyum dan tertawa hari itu mungkin setara senyum dan tawaku dalam setahun. Bahkan mungkin lebih.

“Dasar bodoh” lanjutnya sambil tertawa dan menggerakan jari telunjuk tangan kanan ke kepala. Kepalanya bergoyang. Dan tawanya semakin berderai dan renyah.

Dan bodohnya, aku ikut tertawa juga. Terbahak-bahak. Tak tahu apakah tawaku saat itu tawa bodoh. Yang kutahu hanya: saat melihatnya tertawa, aku tersihir daya tarik luar biasa untuk juga ikut tertawa. Ternyata benar kata Sophie Scott, ilmuwan saraf di the University College London bahwa tawa itu menular. “Tertawalah dan seisi dunia akan tertawa bersamamu.”

Dan begitulah aku mengenalnya lebih dalam. Dari tawa dan cerita yang dia lontarkan. Satu kesamaan kami: sama-sama tidak mau menjadi guru. Namun, kadung tersesat.

Karena dia pencerita yang baik dan aku mungkin dianggapnya pendengar yang tekun, obrolan kami pun berlanjut sampai semester empat.

“Aku diusir Abah” ucapnya pada suatu sore yang muram di akhir semester empat.

“Kenapa?”

“Buku diariku tertinggal di rumah. Terus dibaca. Setelah itu, aku diberi tahu bahwa aku tidak boleh lagi pulang ke Pandaan. Dan tidak lagi diberi biaya kuliah dan bulanan.”

Wajahnya tertunduk. Lemas. Tak ada lagi tawa berderai seperti biasa. Wajahnya pucat, disedot oleh awan hitam yang menggelayut di langit.

“Aku harus berhenti kuliah berarti” suaranya berat. Air mata dan kesedihan yang ia tahan runtuh. Tembok pertahanannya ambrol. Tangis yang ia tahan membuat hatiku teriris.

Aku hanya terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Tak mau juga bertanya tentang apa yang ia tulis sehingga membuatnya diusir. Aku hanya mendengarkan setiap kalimatnya dengan saksama. Dengan perlahan dan penuh iba, seakan-akan setiap cerita pahit yang dia kisahkan akan perlahan musnah bila terus kusimak. Bila terus kudengarkan seksama.

Nyatanya tidak. Mendung itu terlalu tebal untuk disibak.

Aku pun tertunduk lesu. Mengapa kesulitan harus datang bersamaan?

Bagaimana cara membantunya sementara aku juga sama-sama kesulitan. Dana hasil menjual sepeda motor warisan Bapak juga sudah habis untuk keperluan biaya membayar uang gedung, SPP, uang kos, uang makan, dan lain-lain.

“Kerja. Kita bisa cari kerja” usulku. Mataku berpendar dan energiku kembali. Ya, aku menemukan momen “eureka” saat itu.

“Kerja apa?” jawabnya tak lama.

“Apa pun”

“Jadi pelacur?”

Tangan kananku bergerak spontan dan mencapai pipi kirinya. Ia tersentak dan kaget. Aku pun tak kalah kaget. Namun, ia hanya diam sebentar untuk kemudian menangis lagi.

Hatiku perih atas ketidakmampuanku membantunya. Dan tak terasa aliran hangat menjalari pipi. Air mataku juga tumpah.

“Aku belum tahu sekarang. Tapi nanti kita bisa cari tahu. Kita pasti bisa kalau berusaha.”

Beberapa hari kemudian, ia sumringah. Wajahnya berbinar. Sahabatnya, Luluk, memberitahukan lowongan pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris di salah satu pondok pesantren besar di Singosari. Luluk awalnya menjadi guru di situ. Entah apakah Luluk melepaskan posisi itu agar bisa ia ganti. Atau Luluk memang tidak bisa karena kesibukan lain, aku juga tak tahu.

“Apa yang sampeyan ajarkan di pondok? Kan sampeyan nggak bisa ngajar” tanyaku pada suatu siang di warung soto depan kampus.

“Aku nggak ngajari mereka. Hanya berbagi cerita dan belajar bersama.”

“Mereka suka?”

“Kata mereka, mereka selalu menunggu hari Sabtu biar bisa ketemu dan belajar bahasa Inggris” ucapnya sambil tersenyum.

Hatiku pun lega sekali mendengarnya.

Sosok yang kuceritakan itu, tentu kau bisa tebak, namanya Yulia Dian Nafisah. Dua atau tiga tahun lalu, ia dipilih sebagai Guru Terfavorit. Beberapa hari lalu, ia dipilih lagi oleh para siswa di SMA Islam Almaarif sebagai Guru Paling Humble dan diundang ke acara podcast. Bila penasaran tentang apa katanya, klik tautan youtube di bawah ini.

https://www.youtube.com/watch?v=ngn6AgVNOtI

Beberapa orang menjadi guru karena keadaan. Sebagian karena keterpaksaan. Beberapa orang karena pendidikan dan pelatihan. Namun, beberapa guru jadi yang terbaik karena sudah tergurat di garis tangan.

Film Cast Away and Pelajaran 2021 – Refleksi 2020

 Sudah lama film ini beredar. Sudah lama pula saya mendengar sekilas tentang film ini. Sekilas saja. Namun, saya acuhkan. Sebab, kurang menarik. Menurut penuturan teman-teman yang sudah menonton, film ini berkisah soal seorang lelaki yang terdampar di suatu pulau. Setelah empat tahun, ia berhasil pulang tapi sang pacar telah menikah dengan orang lain.

Itu saja. Itulah yang mereka ceritakan dan saya dengar dan saya percayai tanpa satu pertanyaan pun. Saya tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut. Toh, dari cerita itu, saya bisa menyimpulkan bahwa film ini lebih bernuansa film patah hati. Film anti-klimaks. Suram. Dan karenanya tak layak untuk ditonton.

Baru pada momen tahun baru 2021 ini, terbersit pikiran untuk menontonnya. Tahun 2020, meskipun juga menghadirkan berbagai anugerah, juga tak kalah suramnya. Jadi, mengawali awal tahun 2021 dengan “kesuraman” lain malah bisa menyiapkan dan menguatkan mental, andai tahun 2021 tidak berjalan sebagaimana harapan semua orang. Jadi, tanpa dilandasi harapan apa pun, saya pun menonton.

Ternyata saya selama ini salah. SALAH BESAR. Film ini mengangkat tema “petualangan romansa”. Fokus ceritanya adalah kisah Chuck Noland (Tom Hanks), yang menjelajahi berbagai belahan dunia untuk memecahkan masalah produktivitas di Gudang-Gudang FedEx, tempatnya mengabdi.


Tugas yang memaksanya melakukan perjalanan lintas benua membuat rencana Chuck Noland melamar dan menikahi Kelly Frears yang diperankan Helen Hunt tertunda. Tak hanya itu, Chuck terpaksa terbang ke Malaysia pada malam perayaan Natal. Sebelum berangkat, Kelly memberinya kado Natal berupa jam antik dan foto Kelly di dalamnya. Sebagai balasannya, Chuck memberinya beberapa kado, yang salah satunya adalah cincin lamaran, yang akan dibuka Kelly pada malam tahun baru.

Nahas, pesawat yang ditumpangi Chuck menyimpang dari koordinat dan mengitari badai. Malam itu, pesawat mengalami turbulensi hebat dan jatuh di Samudra Pasifik. Empat awak kapal tak diketahui rimbanya, sementara Chuck sendiri selamat, dan terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Segala upaya dilakukan, seperti membuat tulisan HELP di pasir yang lalu dihempas ombak, mengirimkan sinyal penyelamatan melalui sisa-sisa rakit yang turut terdampar, serta membuat api untuk memberikan sinyal. Namun, semua usaha itu sia-sia. Tak ada satu pun tim penyelamat yang datang.

Tak kunjung diselamatkan, ia pun mencoba bertahan hidup dengan mencari makanan dan minuman di pulau. Kadang minum air kelapa dan degan atau sisa air hujan. Kadang makan kepiting atau rajungan. Atau ikan. Atau apa pun yang ada di pulau itu.

Untuk mengobati rasa rindunya, ia membuka foto Kelly dan menatapnya lama. Pada suatu hari, tangan Chuck terluka parah. Dengan darah di tangan, ia mulai menggambar wajah di permukaan bola voli yang terseret ombak beberapa hari sebelumnya. Bola itu dinamainya Wilson, sesuai mereknya dan menjadi 'teman' Chuck.

Hari demi hari berlalu hingga Chuck sudah tinggal di pulau tersebut selama empat tahun. Ia pun membangun rakit berbekal benda plastik yang terbawa gelombang pasang. Ia jadikan plastik tersebut sebagai layar. Selama tinggal di pulau, Chuck ternyata mempelajari waktu berlayar yang baik.

Dan selanjutnya, terjadilah yang seharusnya terjadi.

Berhari-hari setelah menontonnya, film ini membekas. Lengket dan mengusik pikiran. Terutama, pada akhir-akhir film saat Chuck berpesan “I gotta keep breathing. Because tomorrow the sun will rise. Who knows what the tide could bring?” Terjemahannya “Aku harus tetap bernapas. Karena esok, matahari akan terbit. Siapa yang tahu apa yang bisa dibawa gelombang pasang?”

Pandemi membuat banyak orang jatuh. Tersungkur. Ada yang di-PHK. Ada yang rumah tangganya terusik. Ada yang sakit dan positif Covid. Ada yang kehilangan orang terdekat. Namun, kita harus tetap bernapas. Terus bertahan. Harus terus hidup karena besok matahari akan terbit dan membawa harapan-harapan baru. Dan kita tidak pernah tahu hadiah apa yang akan dibawa gelombang pasang esok hari. Itulah yang saya pelajari.

Pesan utama film ini sangat relevan dengan kondisi 2020 dan tahun 2021, yaitu “Keep Breathing.” Bila diterjemahkan, kira-kira artinya adalah “Tetaplah hidup meskipun tak berguna.”