Fresh Start dan Titik Balik Tak Terduga

Setelah tulisan kemarin tentang ulang tahun dan fresh start, ada yang mengusik pikiran. Kapan sebenarnya kita bisa fresh start? Apakah harus menunggu tahun baru lalu membuat resolusi? Atau harus menunggu ulang tahun?

Pertanyaan itu langsung membawaku ke masa-masa saat bersekolah tingkat menengah atas. Saat itu, aku masih belajar di Madrasah Aliyah Bahrul Ulum, Besuk Kidul, Probolinggo. Sekolah terpecil, yang terletak di sisi selatan Kecamatan Besuk

Anak-anak dari desaku terkenal atas kenakalannya. Ada saja ulah mereka, yang membuat para guru geleng-geleng kapala. Namun, tak pernah bisa marah. Sebab, kami selalu punya alasan meyakinkan. Bila jam masuk sekolah ditetapkan pukul 12.30 siang, kami baru sampai di sekolah pukul 13.30.

Kami melewati kantor dan ruang kepala sekolah. Saat ditanya Bapak Kepala Sekolah kenapa kami telat, kami enteng saja menjawab.

“Kami malu Pak”

“Apa kaitannya malu dengan terlambat ke sekolah?”

“Kami malu di sawah Pak”

“Kalian nggak perlu malu. Sekolah itu harus tepat waktu. Bila masuknya pukul 12.30, ya kalian datang tepat waktu” lanjutnya. “Kalian malu kalau kalian mencuri. Kalau bekerja di sawah saja tidak perlu malu”

“Kami malu tanaman tembakau Pak.” ujar Armin.

“Apa itu?”

“Itu lho Pak. Kami menggunakan pacul untuk meletakkan tanah tepat di bagian bawah tanaman tembakau. Fungsinya itu agar tanaman tembakaunya cepat besar dan bagus. Rumputnya mati karena ketutupan tanah.” Zainul menimpali dengan serius.

“Itu malo tembakau, bukan malu.”

“Ya maksud kami gitu Pak” jawabku dengan logat Madura kental.

 “Lha terus?”

“Kalau nggak gitu, kami nggak bisa sekolah Pak. Untuk bayar SPP dan bantu orang tua, kan harus ke sawah Pak.”

“Oh ya sudah, kalau begitu. Kalau sudah tidak musim tembakau, kalian lebih tepat waktu ya?”

“Kalau tidak musim tembakau, ya musim padi Pak. Kami ke sawah lagi” jawab Kholis.

“Ya sudah, intinya diperbaiki ketepatan waktu kalian.”

Photo by Ajmal Ali on Unsplash

Lama-lama, para guru seakan membuat konsensus tak tertulis bahwa anak-anak dari desaku harus diperlakukan khusus. Bila tertidur di dalam kelas, kami dibiarkan saja. Para guru sepertinya lebih senang begitu. Bila jam olahraga, kami duduk-duduk saja di kantin. Tak ada satu pun anak di desa kami yang becus berolahraga. Dan tak ada guru yang juga ingin mendorong kami berolahraga.

Perlakuan khusus lain yang teringat jelas di kepala adalah saat akan ada pemilihan kepala desa. Kami dikumpulkan di ruang kelas 2 B. Sebagian kecil kami sudah kelas tiga, dan aku sendiri kelas 2. Kami berbisik dan saling menatap kebingungan. Mengapa kami dikumpulkan, padahal anak-anak dari desa lain yang juga sedang ada pemilihan kepala desa tidak diberi pengarahan.

“Kalian dikumpulkan di sini karena kami para guru prihatin dan ingin berpesan” kami terdiam saja mendengarkan Pak Ul guru Bahasa Inggris. “Kalian jangan ikut pasang taruhan untuk pemilihan kepala desa ya.” Ekspresi Pak Ul sangat serius. Begitu juga Pak Miskribin, kepala sekolah kami. "Kami serius, dan tolong ini dicamkan."

“Maka, Selasa besok, tak boleh ada yang absen. Semua harus masuk sekolah. Bila tidak, nanti orang tua kalian kami panggil” lanjut Pak Miskribin.

“Baik Pak. Kami tidak akan ikutan taruhan Pak. Kami nggak punya uang Pak. Sekolah saja kami harus ke sawah dulu kalau pagi” ujar Armin sambil tertawa kecil.

Sebagian besar tertawa terbahak-bahak setelah keluar dari pertemuan tersebut. Kalau kami punya uang, tentunya kami sekolah di tempat lain. Tidak di sekolah ini. Kami sekolah di MA Bahrul Ulum lebih karena uang kami terbatas. Miskin. Kami pun tertawa geli.

Namun, entah mengapa pertemuan terakhir tentang pesan agar kami tidak ikut berjudi dalam ajang pemilihan kepala desa ini menggangu pikiran. Apakah desa kami sebegitu buruk sehingga kami terus menerus “di-bully”?

Muncul rasa tersinggung di dalam hati. Kian hari, rasa tersinggung itu kian besar. Lalu, muncullah keinginan untuk membalas dendam. Dari semua pilihan membalas dendam, entah mengapa aku memilih belajar bahasa Inggris agar bisa mempermalukan Pak Ul di depan kelas. Sudah sering kami dipermalukan di depan kelas, terutama bila telat.

Dan itulah awal yang mengubah nasibku. A fresh start. Sebuah titik balik. Meskipun harus bersepeda 11 km bolak-balik dari rumah ke tempat kursus bahasa Inggris, kujalani hari demi hari agar akhirnya bisa menjaga marwah desa dan membalaskan dendam teman-teman sedesa.

Ikut kursus karena tersinggung berat dan ingin membalas dendam? Begitulah titik balikku, my fresh start...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »