Sudah lama film ini beredar. Sudah lama pula saya mendengar sekilas tentang film ini. Sekilas saja. Namun, saya acuhkan. Sebab, kurang menarik. Menurut penuturan teman-teman yang sudah menonton, film ini berkisah soal seorang lelaki yang terdampar di suatu pulau. Setelah empat tahun, ia berhasil pulang tapi sang pacar telah menikah dengan orang lain.
Itu saja. Itulah yang mereka ceritakan dan saya dengar dan saya percayai tanpa satu pertanyaan pun. Saya tidak berusaha mencari tahu lebih lanjut. Toh, dari cerita itu, saya bisa menyimpulkan bahwa film ini lebih bernuansa film patah hati. Film anti-klimaks. Suram. Dan karenanya tak layak untuk ditonton.
Baru pada momen tahun baru 2021 ini, terbersit pikiran untuk menontonnya. Tahun 2020, meskipun juga menghadirkan berbagai anugerah, juga tak kalah suramnya. Jadi, mengawali awal tahun 2021 dengan “kesuraman” lain malah bisa menyiapkan dan menguatkan mental, andai tahun 2021 tidak berjalan sebagaimana harapan semua orang. Jadi, tanpa dilandasi harapan apa pun, saya pun menonton.
Ternyata saya selama ini salah. SALAH BESAR. Film ini mengangkat tema “petualangan romansa”. Fokus ceritanya adalah kisah Chuck Noland (Tom Hanks), yang menjelajahi berbagai belahan dunia untuk memecahkan masalah produktivitas di Gudang-Gudang FedEx, tempatnya mengabdi.
Tugas yang memaksanya melakukan perjalanan lintas benua membuat rencana Chuck Noland melamar dan menikahi Kelly Frears yang diperankan Helen Hunt tertunda. Tak hanya itu, Chuck terpaksa terbang ke Malaysia pada malam perayaan Natal. Sebelum berangkat, Kelly memberinya kado Natal berupa jam antik dan foto Kelly di dalamnya. Sebagai balasannya, Chuck memberinya beberapa kado, yang salah satunya adalah cincin lamaran, yang akan dibuka Kelly pada malam tahun baru.
Nahas, pesawat
yang ditumpangi Chuck menyimpang dari koordinat dan mengitari badai. Malam itu,
pesawat mengalami turbulensi hebat dan jatuh di Samudra Pasifik. Empat awak
kapal tak diketahui rimbanya, sementara Chuck sendiri selamat, dan terdampar di
sebuah pulau tak berpenghuni. Segala upaya dilakukan, seperti membuat tulisan
HELP di pasir yang lalu dihempas ombak, mengirimkan sinyal penyelamatan melalui
sisa-sisa rakit yang turut terdampar, serta membuat api untuk memberikan sinyal. Namun, semua usaha itu sia-sia. Tak ada satu
pun tim penyelamat yang datang.
Tak kunjung
diselamatkan, ia pun mencoba bertahan hidup dengan mencari makanan dan minuman
di pulau. Kadang minum air kelapa
dan degan atau sisa air hujan. Kadang makan kepiting atau rajungan. Atau ikan. Atau
apa pun yang ada di pulau itu.
Untuk mengobati rasa rindunya, ia membuka foto Kelly dan menatapnya lama. Pada suatu hari, tangan Chuck terluka parah. Dengan darah di tangan, ia mulai menggambar wajah di permukaan bola voli yang terseret ombak beberapa hari sebelumnya. Bola itu dinamainya Wilson, sesuai mereknya dan menjadi 'teman' Chuck.
Hari demi hari berlalu hingga Chuck sudah tinggal di pulau tersebut selama empat tahun. Ia pun membangun rakit berbekal benda plastik yang terbawa gelombang pasang. Ia jadikan plastik tersebut sebagai layar. Selama tinggal di pulau, Chuck ternyata mempelajari waktu berlayar yang baik.
Dan selanjutnya, terjadilah yang seharusnya terjadi.
Berhari-hari setelah menontonnya, film ini membekas. Lengket dan mengusik
pikiran. Terutama, pada akhir-akhir film saat Chuck berpesan “I gotta keep
breathing. Because tomorrow the sun will rise. Who knows what the tide could
bring?” Terjemahannya “Aku harus tetap bernapas. Karena esok, matahari akan
terbit. Siapa yang tahu apa yang bisa dibawa gelombang pasang?”
Pandemi membuat banyak orang jatuh. Tersungkur. Ada yang di-PHK. Ada yang rumah tangganya terusik. Ada yang sakit dan positif Covid. Ada yang kehilangan orang terdekat. Namun, kita harus tetap bernapas. Terus bertahan. Harus terus hidup karena besok matahari akan terbit dan membawa harapan-harapan baru. Dan kita tidak pernah tahu hadiah apa yang akan dibawa gelombang pasang esok hari. Itulah yang saya pelajari.