Jembatan dan Terowongan

 Pada suatu hari, salah seorang teman kuliah bercerita. Ia merasa kurang dihargai di tempat kerjanya. Saat diangkat untuk jabatan tertentu, ia tidak diberi tahu apa tugasnya. Setelah menganalisis kondisi, ia menetapkan prioritas utama, yaitu membereskan administrasi. Dari cara pencatatan dan pelaporan, ia rapikan perlahan. Jadi, di permukaan, ia seakan tidak menyelesaikan apa-apa. Nihil. Bila menggunakan bahasa sekarang, ia dianggap magabut. Makan gaji buta.

Setahun berlalu, ia diberhentikan karena dianggap tidak perform.

Curhatannya mengingatkan saya pada perdebatan tentang prestasi Gubernur Jakarta. Meskipun jauh di ibukota sana, media sosial membuatnya terlihat dekat. Gubernur Jakarta seakan lebih kita kenal daripada Ketua RT di desa.

Setiap muncul perbedatan tentang prestasi Gubernur Jakarta, setiap itu pula muncul gambar Simpang Susun Semanggi. Jembatan simpang susun itu memang elok dipandang mata, apalagi pada malam hari saat semua lampunya nyala. Pendar cahaya yang membingkai jembatan akan menggoda semua orang untuk terpukau, apalagi dilihat dari atas. Bentuk simetrisnya yang serupa bunga makin membuatnya terlihat sempurna.

Itulah sifat jembatan yang, menurut Seth Godin, akan menciptakan kemenangan atau monumen bagi orang-orang yang bisa menggalang sumber daya untuk membangunnya. Selain itu, durasi pembuatan jembatan sedikit lebih cepat dan biaya pembuatannya relatif sedikit lebih terjangkau daripada membangun terowongan.

Bridge

Dua alasan itulah yang barang kali melatarbelakangi mengapa lebih banyak pemimpin memilih membangun jembatan daripada terowongan. Konsep ini, menurut Godin, juga berlaku untuk budaya kerja dan masyarakat secara umum.

Padahal, bila dipikir lebih mendalam, terowongan sering menjadi solusi elegan atas suatu permasalahan. Terowongan tidak mengubah lansekap. Terowongan tidak menciptakan kehebohan. Tidak menarik perhatian. Saking kurang menariknya, orang sering lupa dan tidak mengapresiasi orang-orang yang mengumpulkan sumber daya atau yang membangunnya. Meskipun elegan dan efektif, terowongan sering dilupakan.

Itulah mengapa lebih banyak jembatan daripada terowongan, lanjut Seth Godin dalam tulisannya. Betul juga bila dipikir-pikir. Jembatan lebih mudah dipamerkan. Jadinya, lebih mudah diapresiasi. Lebih mudah dihargai.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »