Aku pertama kali berbicara dengannya di bawah rindang pohon palem di depan kampus pada akhir semester 2. Tepatnya, di tepi pejalan kaki di sebuah taman hijau nan elok, yang dulu tersohor dengan nama taman seribu janji. Mengapa seribu janji? Di situ tempat sebagian besar mahasiswa berjanji untuk serius menimba ilmu? Atau karena banyak orang pacaran dan mengobral janji manisnya? Tak ada yang tahu sejarahnya dan asal usul pastinya. Yang jelas, aku pertama kali berbincang relatif lama dengannya di sana.
“Dulu aku sebenarnya ingin kuliah di jurusan Bimbingan dan Konseling. Sudah keterima di UM juga tahun lalu” ia menatap ke rerumputan yang meranggas di tepi taman. “Tapi gak jadi karena gak punya biaya. Setelah nggak kuliah setahun, ya akhirnya di Unisma ini. Ngambil bahasa Inggris karena nggak ada BK atau psikologi.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya bercerita. Sesekali, kuselipi dengan anggukan dan tertawa saat ia juga tertawa.
“Kukira kuliah di Unisma ini jurusannya Sastra Inggris, ternyata Pendidikan Bahasa Inggris. Jadi guru. Padahal, aku nggak mau jadi guru.”
“Oh sama” ujarku memotong pembicaraannya yang kadang akan panjang bila bertemu dengan pendengar yang baik. “Tak kira dulu di sini belajar Sastra Inggris. Ternyata keguruan.”
“Salah jurusan juga ternyata.”
“Ya begitulah. Dulu ikut SPMB di UM, tapi gagal”
“Bukan jodoh”
“Bukan masalah jodoh, tapi bodoh”
“Jodoh?”
“Bukan, aku yang bodoh. Makanya nggak berhasil tembus UM”
“Oh sama, aku juga.”
“Sama-sama bodoh harus saling mendukung” ucapnya sambil tersenyum.
Tak ada respons lain yang terpikir, aku pun ikut tersenyum. Untuk orang yang sering sarkastis dan penuh kata tajam dan sinis, jumlahku tersenyum dan tertawa hari itu mungkin setara senyum dan tawaku dalam setahun. Bahkan mungkin lebih.
“Dasar bodoh” lanjutnya sambil tertawa dan menggerakan jari telunjuk tangan kanan ke kepala. Kepalanya bergoyang. Dan tawanya semakin berderai dan renyah.
Dan bodohnya, aku ikut tertawa juga. Terbahak-bahak. Tak tahu apakah tawaku saat itu tawa bodoh. Yang kutahu hanya: saat melihatnya tertawa, aku tersihir daya tarik luar biasa untuk juga ikut tertawa. Ternyata benar kata Sophie Scott, ilmuwan saraf di the University College London bahwa tawa itu menular. “Tertawalah dan seisi dunia akan tertawa bersamamu.”
Dan begitulah aku mengenalnya lebih dalam. Dari tawa dan cerita yang dia lontarkan. Satu kesamaan kami: sama-sama tidak mau menjadi guru. Namun, kadung tersesat.
Karena dia pencerita yang baik dan aku mungkin dianggapnya pendengar yang tekun, obrolan kami pun berlanjut sampai semester empat.
“Aku diusir Abah” ucapnya pada suatu sore yang muram di akhir semester empat.
“Kenapa?”
“Buku diariku tertinggal di rumah. Terus dibaca. Setelah itu, aku diberi tahu bahwa aku tidak boleh lagi pulang ke Pandaan. Dan tidak lagi diberi biaya kuliah dan bulanan.”
Wajahnya
tertunduk. Lemas. Tak ada lagi tawa berderai seperti biasa. Wajahnya pucat,
disedot oleh awan hitam yang menggelayut di langit.
“Aku harus berhenti kuliah berarti” suaranya berat. Air mata dan kesedihan yang ia tahan runtuh. Tembok pertahanannya ambrol. Tangis yang ia tahan membuat hatiku teriris.
Aku hanya terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Tak mau juga bertanya tentang apa yang ia tulis sehingga membuatnya diusir. Aku hanya mendengarkan setiap kalimatnya dengan saksama. Dengan perlahan dan penuh iba, seakan-akan setiap cerita pahit yang dia kisahkan akan perlahan musnah bila terus kusimak. Bila terus kudengarkan seksama.
Nyatanya tidak. Mendung itu terlalu tebal untuk disibak.
Aku pun tertunduk lesu. Mengapa kesulitan harus datang
bersamaan?
Bagaimana cara membantunya sementara aku juga sama-sama kesulitan. Dana hasil menjual sepeda motor warisan Bapak juga sudah habis untuk keperluan biaya membayar uang gedung, SPP, uang kos, uang makan, dan lain-lain.
“Kerja. Kita bisa cari kerja” usulku. Mataku berpendar dan energiku kembali. Ya, aku menemukan momen “eureka” saat itu.
“Kerja apa?” jawabnya tak lama.
“Apa pun”
“Jadi pelacur?”
Tangan kananku bergerak spontan dan mencapai pipi kirinya. Ia tersentak dan kaget. Aku pun tak kalah kaget. Namun, ia hanya diam sebentar untuk kemudian menangis lagi.
Hatiku perih atas ketidakmampuanku membantunya. Dan tak terasa aliran hangat menjalari pipi. Air mataku juga tumpah.
“Aku belum tahu sekarang. Tapi nanti kita bisa cari tahu. Kita pasti bisa kalau berusaha.”
Beberapa hari kemudian, ia sumringah. Wajahnya berbinar. Sahabatnya, Luluk, memberitahukan lowongan pekerjaan sebagai guru bahasa Inggris di salah satu pondok pesantren besar di Singosari. Luluk awalnya menjadi guru di situ. Entah apakah Luluk melepaskan posisi itu agar bisa ia ganti. Atau Luluk memang tidak bisa karena kesibukan lain, aku juga tak tahu.
“Apa yang sampeyan ajarkan di pondok? Kan sampeyan nggak bisa ngajar” tanyaku pada suatu siang di warung soto depan kampus.
“Aku nggak ngajari mereka. Hanya berbagi cerita dan belajar bersama.”
“Mereka suka?”
“Kata mereka, mereka selalu menunggu hari Sabtu biar bisa ketemu dan belajar bahasa Inggris” ucapnya sambil tersenyum.
Hatiku pun lega sekali mendengarnya.
Sosok yang
kuceritakan itu, tentu kau bisa tebak, namanya Yulia Dian Nafisah. Dua atau
tiga tahun lalu, ia dipilih sebagai Guru
Terfavorit. Beberapa hari lalu, ia dipilih lagi oleh para siswa di SMA
Islam Almaarif sebagai Guru Paling Humble
dan diundang ke acara podcast.
Bila penasaran tentang apa katanya, klik tautan youtube di bawah ini.
https://www.youtube.com/watch?v=ngn6AgVNOtI
Beberapa orang menjadi guru karena keadaan. Sebagian karena keterpaksaan. Beberapa orang karena pendidikan dan pelatihan. Namun, beberapa guru jadi yang terbaik karena sudah tergurat di garis tangan.