Cinta Segitiga

Cinta Segitiga

Ton, penjelasan kamu di tulisan motivasi, kesempatan, dan kemampuan itu kepotong. Kayak ada yang mengganjal.
 
Bagian mana?
 
Yang masalah cinta-cinta itu..
 
Ooo.
 
Yang jelas dong kalau nulis. Jangan sepotong-sepotong gitu. Jek menyilangkan tangan. Matanya melotot. Suaranya tajam.
 
Jadi gini Jek. Cinta itu gak seperti bayangan kita sebelumnya. Ada yang memberikan penjelasan bagus.
 
Namanya Robert Sternberg, seorang psikolog. Ia usul tentang Teori Cinta Segitiga. Menurut doi, cinta itu ada tiga komponen: kedekatan, gairah, dan komitmen. Dalam bahasa Inggrisnya, intimacy, passion, dan commitment.
 
Menarik itu. Lanjutin dong jelasinnya?
 
Teori ini dikembangkan pada tahun 1980-an. Teori ini cukup komprehensif agar kita bisa memahami berbagai jenis hubungan romantis berdasarkan derajat tiga elemen ini.

Kedekatan

Maksudnya: Menurut teori Sternberg ini, kedekatan itu maksudnya kedekatan emosional, keterhubungan, dan ikatan antara satu orang dengan orang lain. Di dalamnya ya termasuk perasaan hangat, rasa ingin berbagi, dan saling mendukung.
 
Manfaat: Kedekatan menumbuhkan rasa saling terhubung dan memahami yang sangat mendalam antara pasangan. Dengan kedekatan, kita membuka diri dan memberikan tanggapan atas tindakan dari pihak satunya. Ingat ya Jek. Memberikan respons. Jadi, kita tidak diam saja. Kita membuka diri.
 
Kedekatan menciptakan dasar atas hubungan yang erat dan saling percaya.
 
Kasih contohnya sekarang Ton?
 
Contohnya: Kita memiliki pemikiran dan perasaan yang serupa dengan pasangan. Kita tertawa atas hal-hal yang mungkin menurut orang tidak lucu. Kita terbuka untuk rentan karena dekat secara emosional. Kita ceritakan ketakutan-ketakutan kita. Kita ceritakan hal-hal terdalam yang tidak kita ceritakan kepada orang lain. Itu tuh indikasi kedekatan.
 
Ooo begitu. Jelas. Sekarang tentang “gairah” itu. Aku lebih tertarik ke penjelasan itu, Jek tiba-tiba memotong.
 
Oke-oke.

Gairah

Maksud: Gairah itu sederhananya ditandai keinginan emosional dan fisik yang intens antara pasangan. Di dalamnya ada unsur romantis, seksual, dan gairah dalam hubungan.
 
Manfaat: Gairah menimbulkan kegembiraan, semangat, dan kehidupan ke dalam hubungan. Di dalamnya termasuk daya tarik romantis dan fisik. Seringkali ini muncul di tahap awal hubungan romantis. Bagusnya, gairah ini terus dipertahankan.
 
Contohnya: gembira saat duduk atau jalan bergandengan tangan dengan pasangan. Itu sudah menunjukkan gairah dalam hubungan.
 
Berarti gak harus menjurus ke tempat tidur ya, sela Jek.
 
Waduh pikiranmu seronok begitu Jek.
 
Jelasin tentang komitmen dah. Ini kayaknya yang paling serius deh.

Komitmen

Maksud: Komitmen itu semisal kamu itu Jek ingin berhubungan lama dengan orang. Itu berarti kamu mengambil keputusan dan tekad untuk menjaga hubungan itu agar menjadi hubungan jangka panjang. Artinya, kita berniat untuk tetap bersama pasangan dalam suka dan duka, meski tantangan di depan sangat berat.
 
Manfaatnya apa tuh, kata Jek.
 
Manfaatnya: Komitmen itulah yang menjaga hubungan dari waktu ke waktu. Kita mengambil pilihan sadar untuk berinvestasi” segalanya dalam hubungan, menyingkirkan aral yang melintang, dan membangun masa depan bersama-sama.
 
Contohnya?
 
Menikah.
 
Hah.. Menikah?
 
Saat menikah, kamu merencanakan masa depan, aktif mengatasi konflik, dan menunjukkan komitmen jangka panjang.
 
Oo gitu.
 
Hubungan dalam teori segitiga cinta ini bersifat dinamis. Perimbangan ketiga unsur ini pun dapat berubah seiring waktu.
 
Semuanya kan memang berubah Ton. Gak ada yang abadi.
 
Setidaknya kita tahu. Bukannya bahwa cinta tidak akan memberi kita makan. Kita yang salah memaknai cinta. Karena kita tidak paham dasarnya, jelasku.
 
Berarti cinta itu ya: Kedekatan, gairah, dan komitmen gitu ya.
 
Nah, pinter kamu Jek. 

MOA - Motivation, Opportunity, and Ability

MOA - Motivation, Opportunity, and Ability

Konsep semangat, sempat, dan alat di tulisanmu ini mirip dengan MOA ya, kata Jek.
 
Apa itu MOA?
 
MOA itu motivation, opportunity, dan ability. Jadi, intinya…
 
Gimana intinya? Ia pun kudesak untuk menjelaskan lebih lengkap.
 
Seseorang mau terlibat suatu perilaku atau suatu pekerjaan jika mereka (1) termotivasi, (2) punya kesempatan, dan yakin atas (3) kemampuan mereka untuk melakukannya.
 
Oh begitu.
 
Setelah berpisah, saya langsung pelajari apa itu MOA karena penasaran.
 
MOA itu…
 
MOA sendiri itu kerangka teoritis yang menjelaskan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh tiga faktor kunci: motivasi, kesempatan, dan kemampuan.
 
Singkatnya, motivasi adalah keinginan atau kemauan individu untuk terlibat dalam perilaku tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti nilai-nilai pribadi, tujuan, cita-cita, dan harapan.
 
Kesempatan mengacu ke ketersediaan sumber daya dan kondisi yang diperlukan untuk terlibat dalam perilaku tersebut. Kesempatan ini mencakup faktor-faktor seperti waktu, uang, alat, sarana, prasarana, serta akses terhadap informasi.
 
Kemampuan sendiri lebih ke pengetahuan dan keterampilan individu yang diperlukan untuk melakukan perilaku tersebut. Faktor-faktornya termasuk pendidikan formal atau nonformal, pelatihan yang diikuti, dan pengalaman.
 
Contohnya: seorang penerjemah bekerja keras menerjemahkan teks marketing karena ingin mendapatkan penghasilan untuk menyambung hidup. Motivasinya: uang. Kesempatannya: waktu dan alat. Kemampuannya: Membaca teks bahasa asal, memahami, lalu mengubahnya menjadi teks bahasa sasaran.
 
Manfaat Model MOA
 
Model MOA bisa diterapkan untuk menganalisis lalu mengintervensi berbagai perilaku, antara lain perilaku konsumen, perilaku karyawan, atau perilaku masyarakat.
 
Misalnya, kita ingin mengintervensi perilaku buang sampah di sekolah. Fokus kita bisa untuk meningkatkan motivasi (contohnya, mengedukasi pentingnya dan manfaat membuang sampah bagi lingkungan), meningkatkan kesempatan (misalnya menyediakan lebih banyak tempat sampah di lingkungan sekolah), atau meningkatkan kemampuan (mendidik siswa tentang cara memilah sampah serta mendaur ulang sampah).
 
Tentu mengubah atau mengintervensi perilaku tidak sederhana tulisan ringkas ini. Namun, bisa kita jadikan pegangan agar kita setidaknya paham apa yang minimal bisa kita lakukan.
 
Berarti motivasi doang tidak cukup dong?
 
Mungkin mirip cinta.
 
Maksudnya?
 
Cinta tidak bisa memberimu makan, tapi…

2#30#2811

Semangat, Sempat, dan Alat

Semangat, Sempat, dan Alat

Saat masih kuliah S1 dulu di Unisma, saya kesulitan setiap kali hendak menulis. Tak ada komputer. Tak ada buku atau koran untuk referensi.
 
Setiap kali muncul ide yang akan ditulis, saya membuat kerangka tulisannya di buku. Lalu, saya ke perpustakaan untuk mempertajam kerangka tersebut.

Tak selesai di situ, saya bertandang ke kos teman kuliah, Udin. Di sana, ada komputer. Saya lalu menunggunya selesai menggunakan komputer itu. Melihat saya menunggu, ia biasanya akan iba. Ia lalu akan mengizinkan saya menggunakan komputer itu untuk menulis.

Begitulah setiap kali saya hendak menulis.
 
Saya pasti lebih produktif seandainya punya komputer sendiri, pikir saya saat itu.
 
Kekurangan itu membuat saya sering membayangkan kondisi ideal yang pasti akan melejitkan produktivitas saya dalam menulis.
 
Komputer yang canggih, koneksi internet yang cepat, dan referensi yang memadai akan menjadi kondisi dan prasyarat ideal. Produktivitas saya akan pesat. Ide-ide tulisan akan mengalir sangat cepat. Seperti banjir bah. Tumpah-tumpah. Saya pun bisa menulis kapan pun mau. Di mana pun.
 
Bila prasyarat itu terpenuhi, saya membayangkan akan punya ratusan buku yang diterbitkan dengan berkala. Saya punya beberapa tulisan opini yang terbit di koran-koran ibukota. Minimal koran provinsi lah.
 
Seiring waktu, saya akhirnya bisa mewujudkan prasyarat ideal itu. Satu per satu. Komputer canggih, internet cepat, dan referensi cukup sudah ada di hadapan.
 
Sayangnya, alih-alih produktif, saya malah jarang menulis. Hampir tidak pernah menulis.
 
Selalu ada alasan. Selalu ada penundaan. Daftarnya akan panjang sekali. Akan banyak pembenaran atas ketidakproduktifan itu.
 
Ketika mulai mengetik tulisan ini hari ini, saya tersadar tentang penyebabnya:
 
Produktivitas menulis itu bukan semata karena alat atau waktu yang tersedia. Komponen terbesarnya lebih kepada niat atau motivasi. Semangat.
 
Dulu, ketiadaan alat bisa saya siasati selama masih ada semangat dan sempat.
 
Namun sekarang, ketiadaan semangat sulit saya atasi meski punya segudang alat dan selaksa sempat.

1#30#2711

Kentut itu Harum bila Orangnya Engkau Suka

Ustadz saya di kampung pernah menyampaikan cerita unik setelah sholat isya.
 
Pada suatu hari, seorang suami diizinkan oleh istri pertamanya untuk menikah lagi. Si suami pun girang bukan kepalang.
 
Bukan tanpa syarat tentunya. Si istri meminta agar setiap malam mereka tidur bersama Syarat yang tanpa panjang-pendek pikir langsung disetujui si suami.
 
Pada malam pertama, sesuai kesepakatan, mereka pun tidur bersama. Si suami di tengah, istri pertama di sebelah kiri. Istri kedua di sebelah kanan.
 
Naas, beberapa saat ketiganya hendak tertidur, tercium bau kentut tanpa bunyi yang memicu prahara besar pertama dalam keluarga itu.
 
Secara spontan, si suami menendang istri pertama. Si suami lantas berkata “dasar gak punya adab. Kalau makan jengkol, gak usah rakus dong. Kentutmu sudah bangkai ayam dan setan”
 
Istri pertama yang terjatuh dari ranjang itu pun menangis, lalu keluar kamar sambil terisak. Hatinya dongkol.
 
“Itu aku tadi yang kentut Mas” ucap si istri kedua beberapa saat kemudian.
 
“Pantesan kok bau nangka. Harum.” ujar sang suami lantas tersenyum dan mencium dahi istri keduanya.
 
Mendengar cerita beliau, kami pun tertawa terbahak-bahak.
 

-1-
 
Pada suatu momen terpisah, seorang motivator berkata. Di tempat kerja, kita akan dipilih atau dipromosikan atau diistimewakan berdasarkan dua hal: rasa suka atau rasa percaya.
 
Menurutnya, seorang atasan akan memiliki kecenderungan untuk menyukai seseorang dan tidak menyukai sebagian. Alasannya dia suka atau tidak cenderung bersifat pribadi, subjektif, dan tak bisa dinalar. Pilihan dia suka sesuatu atau tidak suka sesuatu cenderung manasuka. Tidak dapat dijelaskan dengan alasan yang bermacam-macam.
 
Bila rasa suka tak berdasar, rasa percaya itu punya landasan. Objektif, tidak bias, dan bisa dinalar dengan mudah. Rasa percaya itu berdasarkan riwayat kerja yang lama. Ketika seorang bisa membuktikan bagaimana dia bisa deliver atau perform, dia akan dipercaya.
 
Bila engkau harus memilih, kata sang motivator, pilihlah menjadi orang yang DIPERCAYA.
 
Karena kamu tidak bisa mengontrol apakah kamu akan disukai atau tidak. Namun, kamu bisa mengontrol apakah kamu akan dipercaya atau tidak. Disukai itu berdasarkan keputusan orang lain. Dipercaya itu berdasarkan keputusanmu sendiri. Kamu memperolehnya sesuai kemampuan dan usahamu.
 
Saya pun manggut-manggut setuju. Betul sekali, kata saya.
 
-2-
 
Seorang teman pernah bercerita tentang kondisi di tempat kerjanya. Dia merasa mendapat pencerahan setelah bekerja beberapa waktu.
 
“Jika atasanmu tidak suka denganmu apa pun alasannya, engkau harus bekerja lebih keras”, simpulnya.
 
“Mengapa?”
 
“Engkau harus mengasah kemampuanmu, berkinerja terbaik berdasarkan kemampuan yang sudah diasah itu, lalu mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya”
 
“Lalu?”
 
“Keluar dari situ. Cara tempat kerja baru yang mengapresiasimu atas dasar kinerja.
 Sambil tersenyum, dia berkata Apa pun yang kamu lakukan, tidak akan pernah diapresiasi di situ. Kinerjamu akan dianggap sebagai prestasi orang lain. Kamu hanya akan dianggap aset. Selama kamu berguna, kamu akan dianggap bagian dari keluarga. Jika tidak, ya kami mungkin akan disingkirkan perlahan. Dilepas tanpa penjelasan.”

 
“Hmm”
 
If Someone Doesn't Appreciate Your Presence, Make Them Appreciate Your Absence
 



-3-
 
Sayangi dirimu sendiri dan jangan tunggu apresiasi dari orang yang takkan pernah menghargai dirimu, ucapnya sambil berlalu.

AI dan Krisis "Lenyapnya Pekerjaan"

Ketika ChatGPT diluncurkan pada November lalu, Olivia Lipkin, seorang copywriter berusia 25 tahun di San Francisco, tidak terlalu memikirkannya. Kemudian artikel tentang cara menggunakan chatbot dalam pekerjaan mulai bermunculan di grup internal Slack di perusahaan rintisan teknologi tersebut. Di perusahaan inilah, dia bekerja sebagai satu-satunya penulis.

Selama beberapa bulan berikutnya, tugas Lipkin berkurang. Para manajer mulai menyebutnya sebagai "Olivia/ChatGPT" di Slack. Pada bulan April, ia diberhentikan tanpa penjelasan. 

Namun, ketika ia menemukan para manajer menulis tentang bagaimana menggunakan ChatGPT lebih murah daripada membayar seorang penulis, alasan pemberhentiannya tampak jelas.

"Setiap kali orang membicarakan ChatGPT, saya merasa tidak aman dan cemas bahwa ChatGPT akan menggantikan saya," ujarnya. "Sekarang saya benar-benar memiliki bukti bahwa hal itu benar, bahwa kecemasan itu beralasan dan sekarang saya benar-benar kehilangan pekerjaan karena AI."

Memang, para ahli mengatakan bahwa AI yang canggih sekalipun tidak dapat menyamai kemampuan menulis manusia: AI tidak memiliki suara dan gaya pribadi, dan sering kali memberikan jawaban yang salah, tidak masuk akal, atau bias. 

Gambar dari Midjourney
(gambar dari midjourney)


Namun bagi banyak perusahaan, penurunan kualitas itu sebanding dengan pengurangan biaya yang mereka dapatkan.

"Kita benar-benar berada di titik krisis," kata Sarah T. Roberts, seorang profesor di University of California di Los Angeles yang berspesialisasi dalam bidang tenaga kerja digital. "[AI] melibas pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya tak bisa diotomatisasi."

Kecerdasan buatan telah meningkat pesat dalam hal kualitas selama setahun terakhir. Muncullah chatbot yang dapat melakukan percakapan yang lancar, menulis lagu, dan menulis kode komputer. 

Perusahaan-perusahaan di Silicon Valley terburu-buru untuk menjadikan teknologi ini sebagai arus utama. Mereka mendorong produk ini untuk digunakan jutaan pengguna. Saat ini, produk-produk semacam ini ditawarkan secara gratis.

Dan manusia?

Kehilangan pekerjaannya. Cepat atau lambat bila adaptasi tidak segera dilakukan.

Dan tulisan ini? Sebagian besar diterjemahkan oleh DeepL berdasarkan artikel dari Washington Post (https://www.washingtonpost.com/technology/2023/06/02/ai-taking-jobs/). Editannya minor sekali.

Peran Besar Keluarga dalam Hidup Kita

Di sebuah kota kecil di ujung Pulau Jawa, Pandu hidup bahagia bersama keluarga yang penuh kasih. Ia anak bungsu. Punya dua kakak. Setiap malam, mereka menyempatkan diri bersantap di meja makan sambil berbagi cerita dan canda tawa.

Setiap hari, orang tua Pandu berupaya memberikan dukungan besar. Mereka mendorongnya mewujudkan cita-cita dan impiannya. Kakak-kakaknya pun jadi panutan. Sesekali, mereka mengajarinya pelajaran hidup yang berharga.

Dengan cinta, bimbingan, dan berbagi pengalaman, Pandu jadi percaya diri, tahan banting, dan merasa bagian dari keluarga. Merasa diterima. Seiring pertumbuhannya, dia menerima tantangan apa pun tanpa rasa takut. Ia tahu keluarganya berdiri di sisinya. Ikatan mereka menciptakan fondasi yang kuat, membentuk karakter Pandu hingga seperti sekarang.
 
Bagi Pandu dan sebagian besar kita, keluarga tempat kita pertama kali membuka mata. Saat pertama kali melihat dunia, mendengar suara, merasakan sentuhan, dan mengalami tawa bahagia, kita rasakan itu bersama keluarga. Keluarga sering diasosiasikan dengan bahagia. Tawa.
 
Tak salah saat David R Mace, seorang pelopor di bidang pernikahan berkata “The family is the basic structural and functional unit of a flourishing society.” Bila diterjemahkan secara bebas, keluarga adalah unit struktural dan fungsional dari masyarakat yang berkembang baik.
 
Keluarga menjadi pondasi utama terbangunnya suatu masyarakat.
 
Mengapa begitu?

Setidaknya, ada tiga alasan dasar:

Pertama, keluarga memiliki riwayat dan pengalaman bersama.

Anggota keluarga hidup dalam struktur unit bersama-sama dalam rentang waktu lama. Pengalaman bersama ini bisa menciptakan rasa keterkaitan dan pengertian yang mendalam. Meski timbul perselisihan atau atau perbedaan pendapat, keluarga akan mencoba untuk memahami. Empati dan simpati akan muncul.

Kedua, keluarga saling mendukung.

Anggota keluarga hadir satu sama lain saat melewati momen-momen baik dan buruk. Saat bahagia atau berduka. Saat tertawa atau menangis. Keluarga akan mengulurkan tangan saat kita terpuruk. Keluarga akan menepuk bahu saat kita butuh dukungan. Keluarga memberikan cinta, dukungan, dan semangat. Keluarga menawarkan tempat berlindung yang aman saat kita butuh.

Ketiga, cinta tanpa syarat.

Anggota keluarga mencintai kita tanpa syarat. Apa pun yang terjadi, keluarga mencintai dengan caranya yang unik. Perasaan ini memberi kita rasa aman dan memiliki yang sulit ditemukan di tempat lain. Kita tidak perlu menjadi orang lain saat bersama keluarga. Kita tahu bahwa kita tidak dituntut menjadi seseorang yang bukan kita. Dan kasih sayang dan cinta yang disediakan keluarga akan ada, tanpa syarat dan ketentuan apa-apa.
 
Begitu besar peran keluarga dalam kehidupan. Keluarga adalah tempat kita pulang saat dunia sedang tidak baik-baik saja. Dan itulah mengapa, beberapa struktur mengasosiasikan dirinya dengan keluarga.

Di suatu institusi misalnya. Mereka menyebut diri mereka "keluarga besar"
https://www.instagram.com/p/Cqj9m2gJUsq/

 

Keluarga dan Ohana


Pagi ini saat berjalan-jalan di sekitar sawah, ada seorang bapak paruh baya. Usianya sekira 46-49 tahun. Kumisnya memutih. Keriput mulai terlihat gamblang menghiasi matanya. Namun, semangat membara masih terpancar jelas dari raut wajah itu.

Beliau menyapaku, dan kusapa balik. 

"Saya nunggu anak ini Mas" cerita beliau setelah basa-basi.

"Oh di pondok ini Pak?" Kebetulan di sebelah sawah ada pondok putra yang menjadi tempat mengaji beberapa siswa yang belajar di sekolah yang dikelola Yayasan Almaarif.

"Ya Mas" balas beliau. "Hari pertama sekolah. Khawatir dia kesulitan menemukan kelasnya. Khawatir dia telat dan bingung" pungkasnya sambil tersenyum.

Selesai berbasa-basi, aku pun pamit pulang.

Obrolan itu mengingatkanku pada beberapa peristiwa. Banyak teman yang hari-hari ini harus merelakan berpisah dengan anak-anak mereka yang akan mondok.

Demikian pula dengan anakku, yang tahun ini harus tinggal di asrama. 

Ibunya tiba-tiba tidak terlalu berselera makan hidangan enak. Setiap kali melihat kue atau jajan atau minuman, ibunya selalu teringat anak lelakinya.

Demikian juga dengan anak perempuanku. Setiap kali ada kue, ia mengingat kakaknya.

Itulah Ohana

Ikatan semacam ini dikenal pula sebagai Ohana dalam budaya Hawaii. Bedanya, konsep Ohana melampaui hubungan biologis. Konsep ini mencakup gagasan tentang komunitas yang lebih luas dan saling terhubung. Setiap orang pun dianggap sebagai bagian dari keluarga. 

Berbekal konsep yang sudah mengakar kuat ini, setiap individu di Hawaii saling menjaga dan bertanggung jawab satu sama lain. Ikatan di dalam komunitas pun menguat.

Sederhananya, Ohana berarti keluarga. 

Dengan keluarga, berarti tak ada yang ditinggalkan. Tak ada yang dilupakan. Semuanya diingat, terutama saat duka datang. Karena ikatan keluarga diuji, bukan saat senang, tapi saat sedih menerjang dan meluap bak banjir bandang.


Ajari Aku

Ajari Aku

Bukan aku meratapi kepergian
menangisi ketiadaan
menyesali setiap kesalahan
segala kekhilafan

Tapi

Hanya hampa yang kurasa
ada yang hilang, tak tahu apa
ada yang pergi, tak mampu kuganti
ada yang lenyap, tak bisa kucari 

Setiap kali kutengok dapur
kau lihat kau racik bumbu
kau mengaduk sayur
di atas tungku tanah itu

Kau ceritakan sesuatu
tetangga yang pergi terlebih dahulu
hasil panen yang tak sebaik musim lalu
dan kau bertanya tentang cucu-cucumu

Terima kasih atas berjuta kenangan itu
kau gurat dengan darah dan keringatmu
kini, ajari aku ikhlas melepas dan merelakan
meski rasa rinduku kian tebal dan kian berulang

Dan kujumpaimu dalam tangis dan doaku

Malang, 10 Juni 23

Mengapa Harus Mulai dari "Mengapa"?

Dalam sesi pertama program Praktisi Mengajar '23 ini, semua sesi saya awali dengan kata tanya "mengapa." Upaya ini terinspirasi Simon Sinek dalam TedX Talk dan buku lanjutan tulisannya yang berjudul Start with Why.

Mengapa Harus Mulai dari "Mengapa"?

Menurut Simon Sinek, pemimpin dan organisasi yang paling sukses memulai dari "mengapa" yang jelas. Gamblang. Mereka memiliki suatu tujuan atau keyakinan yang menginspirasi diri mereka dan para pengikutnya. 

Sederhananya, mereka memulainya dari "mengapa" dan kemudian mencari tahu "bagaimana" dan "apa". Jadi, tujuan ditetapkan terlebih dahulu, lalu kemampuan teknis dan produk mengikuti.

https://tyche.consulting/wp-content/uploads/2015/04/Start_with_Why.jpg

Sinek mencontohkan Apple untuk menggambarkan apa yang ia maksud. Apple tak hanya menjual komputer, tetapi juga menjual produk yang dirancang untuk membuat hidup orang menjadi lebih baik. 

"Mengapa" inilah yang menginspirasi karyawan Apple untuk bekerja keras dan menciptakan produk yang inovatif. Keyakinan ini menarik para pelanggan untuk membeli produk Apple.

Sinek juga mengambil contoh Martin Luther King Jr. King tidak hanya memperjuangkan hak-hak sipil. Ia juga memperjuangkan dunia yang setiap orangnya diperlakukan secara bermartabat dan terhormat. "Mengapa" inilah yang menginspirasi King untuk memimpin gerakan hak-hak sipil. "Mengapa" ini pulalah yang menginspirasi orang-orang untuk bergabung dan ikut berjuang bersamanya.

Sinek berpendapat bahwa dengan memulai dari "mengapa", kita dapat menciptakan diri, organisasi, dan gerakan yang lebih menginspirasi, lebih sukses, dan lebih tahan lama.

Faktanya

Sinek lalu menjelaskan bahwa kebanyakan orang dan organisasi berpikir, bertindak, dan berkomunikasi dari luar ke dalam. Outside in. 

Contohnya, mereka memulai dari apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka melakukannya, dan kemudian mengapa mereka melakukannya.

Padahal, bila ingin terus mendapatkan motivasi dan komitmen berlipat saat kesulitan menghadang, kita perlu "mengapa" yang kuat. Dengan begitu, kita tak mudah dihempas kesulitan yang mungkin mendera.

Demikian juga saat belajar penerjemahan. Penerjemahan adalah skill yang kompleks. Keterampilan pasif mahasiswa harus istimewa dalam bahasa sumber (source language) dan harus luar biasa dalam bahasa sasaran (target language). Demikian pula kemampuan untuk menghubungkan keduanya. Butuh berjam-jam latihan tanpa lelah. Untuk itu, diperlukan motivasi dan komitmen yang kuat.

Itulah mengapa kelas praktisi mengajar mulai dari "mengapa"?

Menolong Ikan Tenggelam

 
“Sudah aku bantu carikan pekerjaan” kata Asyraf kepadaku dua minggu lalu. “Eh, dia hanya bisa kerasan di pekerjaan itu seminggu saja. Lelah sekali lah sepulang kerja. Jadi, ya hanya seminggu itu dia bekerja.”

“Terus?”

“Ya kalau cerita ke orang lain, sudah merasa si paling korban dia. Percuma punya kakak sukses kalau tidak bisa mengangkat derajat adiknya, begitu cerita yang ia obral kepada para tetangga.”

“Adik bungsumu itu?”

“Iya, panas mendengar omongan tetangga, Bapak-Ibu memaksaku nyarikan pekerjaan untuk adikku itu. Pas dicarikan, eh malah kayak gini. Bukannya bersyukur. Banyak alasannya. Gak cocok dengan lingkungannya lah. Kurang sesuai passion lah.”

“Memang repot kalo mentalitasnya kayak gitu”

“Iya, serbasalah” pungkas Asyraf. "Dibantu salah. Tidak dibantu salah. Bingung mau seperti apa kalau ia sendiri tidak mau berubah."

 Ikan Tenggelam

Cerita semacam ini hampir setiap hari kita dengar. Teman yang terus menerus curhat tentang masalahnya yang tak kunjung usai. Tetangga yang selalu datang membawa permasalahan utang dan uang. Keluarga yang hadir dengan berkeluh kesah tentang masalah dan urusan yang hampir tanpa usai.

Giliran kita mencoba memberikan solusi, eh tidak ditanggapi. Seringnya, solusi yang kita sampaikan hanya lewat dari telinga kiri ke telinga kanan. Cepat sekali. Seperti tanpa saringan. Solusi yang coba kita rangkai dengan berbagai pertimbangan itu akhirnya hilang. Menguap. Kadang, kita yang mencoba memberikan solusi malah dimarahi. Mereka tersinggung. Kita dianggap tidak punya empati.

Keesokan harinya, dia datang lagi: cerita berbeda dengan inti masalah yang sama. Bila kemarin dia datang dengan masalah hutang sembako, besok datang dengan masalah SPP anak yang belum terbayar. Ketika diajak bekerja, malasnya bukan main.

Dikasih solusi. Menguap lagi. Keesokan harinya, datang lagi. Begitu terus sampai latto-latto masuk olahraga Olimpiade.

Fenomena ini mengingatkanku pada video seekor kucing yang mencoba membantu ikan yang tenggelam. Seekor kucing yang iba menolong seekor ikan yang tampak kepayahan. Ia gunakan cakarnya untuk menolong ikan yang terkulai lelah di kolam yang terbuat dari semen dan dicat cokelat. Dikiranya, ikan itu tenggelam.

Setelah dikeluarkan dari kolam, si ikan malah marah. Mungkin terlihat kepayahan, tapi ikan itu menikmati berada di kolam.

Menolong Ikan Tenggelam

Cara Menolong Ikan Tenggelam

Lantas, bagaimana cara menolong ikan yang “tenggelam”?

Rasanya, kita “tidak bisa” menolong ikan yang tenggelam. Sebab, sejatinya ikan tidak pernah tenggelam saat di dalam air. Itu memang tempat tinggalnya. Dia nyaman di situ.

Bila masih “tenggelam” di dalam kolam keluhan dan nestapa, kita tidak akan bisa membantunya. Yang bisa kita lakukan, ya membantunya sadar bahwa ia salah “tempat.” Selama masih nyaman di “kolam”, selama itu pula kita akan selalu salah bila membantunya keluar.

Lantas, bagaimana solusinya?

Ya kita bantu agar ia sadar. Kalau tidak sadar-sadar, ya hanya bisa...