Flow: Di Antara Suka dan Menantang

Konon, saat menulis novel dalam serial Harry Potter, JK Rowling pernah begitu terhanyut ke dalam aktivitas kreatif tersebut dengan begitu intens. Saking dalamnya, ia bahkan lupa waktu dan semua hal yang terjadi di sekelilingnya.
 
Dalam wawancaranya dengan Oprah Winfrey misalnya, dia menggambarkan bagaimana cerita sering terungkap di pikirannya seolah-olah dia sedang menonton film. Dia pun sepenuhnya tenggelam dalam proses kreatif itu.
 
Sering kali kita menyebutnya sebagai “masuk zona” atau “flow” menurut Mihaly.
 
Menurut Mihaly, flow adalah “a state in which people are so involved in an activity that nothing else seems to matter; the experience is so enjoyable that people will continue to do it even at great cost, for the sheer sake of doing it”.


Terjemahannya adalah kondisi saat  seseorang begitu terhanyut dalam suatu aktivitas sehingga hal lain seolah tak penting lagi. Pengalaman tersebut begitu menyenangkan sehingga orang tersebut akan terus melakukannya meski konsekuensinya mahal, sebabnya ya karena senang melakukannya saja.
 
Kondisi inilah yang dijelaskan Riska pada pertemuan tim beberapa hari lalu.
 
Saat sedang flow, seseorang akan merasakan kenikmatan (enjoyment), bukan lagi kesenangan (pleasure).



Apa bedanya?
 
Kesenangan adalah perasaan puas yang bersifat pasif dan muncul dari terpenuhinya kebutuhan dasar atau harapan sosial. Misalnya, menonton TV, makan makanan manis, atau bersantai di sofa. Aktivitas-aktivitas ini memang menyenangkan saat ini, tetapi tidak selalu mengarah pada pertumbuhan atau rasa pencapaian. Kita mendapat jeda, tetapi tidak berkontribusi banyak terhadap kesejahteraan kita secara keseluruhan dalam jangka panjang.
 
Kenikmatan sendiri adalah pengalaman yang lebih aktif dan menarik. Perasaan ini muncul dari aktivitas yang menantang keterampilan dan kemampuan kita dengan cara yang masih dapat kita tangani. Titik manis antara tantangan dan keterampilan inilah yang menciptakan keadaan flow. Misalnya, saat kita menangani proyek kreatif yang di atas keterampilan kita dan cukup menantang, kita akan merasakan flow itu.

Saat seseorang sedang flow, orang lain juga akan merasakannya dari hasil kerja yang terlihat. Bagus. Sepenuh hati. Penuh kejutan menyenangkan. Dan orang yang flow tersebut juga akan merasakan kenikmatan yang luar biasa, terlepas apakah karyanya akan dipandang bagus atau biasa saja oleh orang lain.

Flow itu berada di titik tengah yang manis antara kemampuan dan tantangan. Antara kemampuan dan kesukaan.

 

Berubah Cepat atau Mati Lekas?

 Salah satu fasilitas terbaik yang disediakan kehidupan modern masa kini adalah perubahan yang begitu cepat. Berkedip sebentar kita seakan-akan sudah ketinggalan hal baru. Berita baru. Ada saja fitur hape yang berubah lebih baik. Fitur penulisan email yang lebih canggih. Dan istri baru dari artis baru. Eh#

Derap perubahan itu tak bisa kita hadang atau kita bendung. Ia terus melaju dengan kecepatan yang eksponensial. Kian lama, kian cepat. Apalagi, pemikiran manusia kian canggih saja dengan adanya dukungan generative AI.

Apa yang terjadi bila kita tidak ikut berubah?

Ambil contoh Kodak. Dulu, perusahaan ini jagoan banget di dunia fotografi selama lebih dari seabad. Mereka melibas pasar roll film. Dengan sekilas melihat kotak kuningnya, semua orang sudah tahu itu merek apa.

Namun, Kodak gagal melihat kehadiran era digital. Akhirnya, mereka tidak bisa mengikuti perubahan. Perusahaan ini akhirnya bangkrut pada 2012.

Berikut adalah alasan kenapa respons mereka yang lambat terhadap perubahan menyebabkan kebangkrutan:

  • Susah menerima perubahan: Kodak keukeuh banget sama fotografi film. Padahal mereka punya teknologi buat mengembangkan kamera digital dari dulu. Namun, pimpinan mereka takut terkena imbasnya dan khawatir bisnis film mereka jadi sepi. Jadinya, pengembangan kamera malah dihentiin.
  • Kesempatan yang hilang: Kodak punya sumber daya dan pengalaman buat jadi pemimpin di dunia fotografi digital, tapi mereka malah melewatkan kesempatan penting buat masuk ke pasar duluan atau membeli perusahaan digital yang sedang naik daun.
  • Kehilangan pangsa pasar: Saat kamera digital jadi makin murah dan gampang digunakan, penjualan film Kodak langsung jatuh drastis. Mereka jadi susah bersaing dengan perusahaan kayak Sony dan Canon yang menerima teknologi digital.

Pas Kodak akhirnya masuk ke pasar kamera digital, sudah terlalu terlambat. Bangkrutlah mereka pada tahun 2012. Itulah salah satu cerita sedih tentang perusahaan yang gagal mengikuti perubahan teknologi dan perubahan selera pasar.


Kita pun begitu bila tak mengikuti perubahan dan abai melihat masa depan.

Kejelasan: Sederhana Tapi Jarang Diberikan

Dalam perjalanan pulang dari Jombang ke Malang hari Sabtu lalu, ada dua perempuan berboncengan dengan sepeda Beat berplat AG. Yang duduk di belakang berbaju abu-abu, dan berjilbab. Yang depan berbaju biru dan berkerudung krem.
 
Keduanya tampak baru pertama kali lewat jalan alternatif Kasembon – Ngantang - Batu. Ada yang kontras: si pengemudi sibuk mengendalikan laju sepeda motor. Si boncenger sibuk mengeluarkan smartphone Android-nya untuk merekam pemandangan sekitar.
 
Dan di belakang mereka, saya sibuk menjaga jarak dan memperhatikan tindakan muskil mereka. Sesekali, sepeda motornya ada di tengah. Lalu, beberapa detik kemudian menyamping hendak keluar dari bahu jalan. Dalam Sebagian besar jalan, posisi sepeda motor mereka di tengah.
 
Mengapa tidak saya salip saja?
 
Ya, karena cara berkendara mereka tak stabil. Ada kalanya di pinggir. Ada kalanya di tengah. Kadang mengerem mendadak, lalu mengerem terlalu awal. Saat saya pencet klakson, mereka kian ke tengah.
 
Cara berkendara yang serampangan itu membuat saya tidak bisa memutuskan apakah harus menyalip, di mana, dan kapan menyalipnya.
 
Untunglah beberapa saat kemudian ada jalan lurus yang lebih lebar. Di titik itu saya bisa menyalip.
 
**


Pada suatu kesempatan, saya pernah dicurhati salah satu teman. Ia dekat dengan seorang perempuan, sudah agak lama.
 
Ia merasa perempuan itu juga menaruh rasa karena si perempuan memberinya rasa nyaman. Hanya, kadang-kadang tiba-tiba si perempuan ini dekat dengan lelaki lain. Kadang cuek. Kadang tidak memberi kabar.
 
Ia pun dibuat galau dan bingung. Sebab, ia tak bisa mengambil keputusan untuk langkah berikutnya.
 
Betul, namanya di-ghosting.
 
Kedua peristiwa ini mirip. Ya, tak ada kejelasan. Ketika tidak ada kejelasan, kita pun sulit mengambil langkah. Kita tidak tahu harus bagaimana.
 
Bila dalam kehidupan biasa saja begitu, apalagi di dalam organisasi atau tempat kerja. Penting sekali untuk memberikan kejelasan agar orang tahu apa yang harus dilakukan. Tak bingung dan tak galau.
 
Kecuali?
 
Kecuali memang kita memang mau menyiksa dan menyulitkan orang lain. Memang ada?

 
 

Apresiasi dan Kebanggaan

 Kalau bukan uang, terus apa lagi?
 
Dua hari lalu, saya bertamu ke rumah salah satu tetangga. Ia memajang plakat yang dibuat perusahaan tempatnya bekerja. Di situ tertulis momen ketika ia mencapai 10 tahun kerja, lalu 20 tahun kerja. Plakat tersebut ditandatangani oleh Manajer Pabrik.
 
Ia memajangnya di ruang tamu. Di bagian terbaik dari lemarinya.
 
Dari caranya memajang dan caranya bercerita, tampak betul ia begitu bangga dengan tempat kerjanya.
 
Dan itulah salah satu cara sederhana dan murah tentang bagaimana kita sebagai pemimpin bisa menghargai karyawan. Memanusiakannya. Mencatat waktu kerjanya dan memberikan penghargaan atas setiap milestone itu.
 
Ingatan lalu membawa saya pada seorang handai taulan yang berprofesi sebagai PNS Guru. Saat mencapai 10, 20, atau 30 tahun bekerja, ia mendapat bintang Satyalencana Karya Satya dari Gubernur. Perunggu bila mencapai 10 tahun pengabdian, perak untuk 20, dan emas untuk 30 tahun.
 
Saya ingat kata-kata Bob Nelson:
 



Luangkanlah waktu untuk mengapresiasi karyawan dan mereka akan membalasnya dengan seribu cara.

Tak Harus Uang sih Memang

Tak Harus Uang sih Memang

Kita sudah tahu bahwa reward memang penting. Sekarang pertanyaannya:

Reward-nya seperti apa? Bagaimana cara memberikan reward tersebut? 

Salah satu teks yang sedang saya telikuri untuk saya terjemahkan kebetulan membahas itu.

Ternyata, reward bisa bermacam-macam bentuk. Boleh berupa barang, uang, atau bahkan afirmasi. Kata-kata baik. Dan validasi atas tindakan positif dan penuh inisiatif yang dilakukan anggota tim.

Dan semua reward ini perlu diberikan oleh sang leader. Sebab, dalam organisasi, leader menentukan atmosfer dan arah organisasi.

Taruh misalnya kita memiliki salah satu personel cleaning service melintas di restoran yang sedang sibuk melayani para pelanggan. 

Lalu, ia melihat tempat sampah yang hampir penuh. Tanpa banyak pikir, ia lalu mengeluarkan wadah plastik sampah tersebut dan mengikatnya. Ia lalu menggantinya dengan wadah plastik baru dan membuang wadah sampah tersebut ke luar.

Minimal, kita bisa memberinya reward, berupa kata-kata afirmasi positif. Atau kita menyebut namanya dalam pertemuan harian atau pertemuan mingguan yang kita adakan.

Dengan cara itu, kita mendorong agar insiatif yang positif ini diulangi dan ditiru oleh karyawan lain.

Atau yang paling minimal, kita tidak menoleransi karyawan yang malah berperilaku negatif.

Sebab,

“Nothing will kill a great employee faster than watching you tolerate a bad one. Perry Belcher, co-founder DigitalMarketing.com.”

Terjemahannya: karyawan yang luar biasa akan lama-lama hilang lebih cepat saat ia menyaksikan seorang pemimpin menoleransi karyawan yang berkinerja dan bersikap buruk.

Yang Enak-Enak Akan Diulangi

Yang Enak-Enak Akan Diulangi

Siang ini dalam sesi rutin ngobrol bersama tim, Farid mempresentasikan procrastination puzzle karya Timothy A. Pychyl. Farid lalu mengupas definisi procrastination. Penyebab. Lalu, terakhir bagaimana cara mengatasinya.
 
Menurutnya, semua orang menghindari perasaan negatif. Kesedihan. Rasa duka. Manusia selalu mencari perasaan senang dan bahagia.
 
Kadang, perasaan senang itu justru diperoleh dari aktivitas yang secara sadar atau tidak sadar malah membuat kita menunda aktivitas yang mestinya kita lakukan. Misalnya, mestinya mengerjakan tugas yang deadline-nya ketat, eh malah nyasar ke Netflix. Netflix memberi kita rasa senang.
 
Karena menyenangkan, kita ulangi lagi. Jadilah kita mengulangi procrastination ini, yang kemudian menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan menjadi karakter. Dan begitu seterusnya seperti kata Lao Tzu:

Watch your thoughts, they become your words; watch your words, they become your actions; watch your actions, they become your habits; watch your habits, they become your character; watch your character, it becomes your destiny.

Terjemahannya: Perhatikan pikiranmu karena pikiran akan jadi kata-kata. Perhatikan kata-kata karena akan jadi tindakan. Perhatikan tindakanmu karena akan menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaanmu karena akan jadi karakter. Perhatikan karaktermu karena akan jadi takdirmu.
 
Di salah satu bagian presentasinya, Farid menegaskan bahwa apa pun yang rewarding, pasti akan diulangi, tulis Timothy.

Kalimat itu mengingatkan saya pada aturan utama perubahan perilaku, yang disampaikan James Clear di X.
 
The Cardinal Rule of Behavior Change: What gets rewarded, gets repeated. What gets punished, gets avoided. Don’t reward behavior you don’t want to see repeated.

Terjemahan sederhananya: Aturan Utama Perubahan Perilaku: Tindakan yang mendapat reward, akan diulangi. Tindakan yang dihukum, akan dihindari. Jangan hargai perilaku yang Anda tidak ingin untuk terulang kembali.

Sederhananya: Bila ingin orang lain meneruskan dan melanjutkan sikap positifnya, ya kita hargai dan beri reward saat ia bersikap positif.

Tut Wuri Handayani

Tut Wuri Handayani

Saat bersekolah di SD, saya diajari tentang tiga semboyan dasar pendidikan di Indonesia, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
 
Sederhananya, slogan Ing Ngarsa Sung Tulada berarti seorang guru harus menjadi teladan. Ing Madya Mangun Karsa menegaskan peran guru untuk membangun semangat agar murid terus maju. Tut Wuri Handayani berarti memberikan motivasi bagi anak didiknya, alias memberi dukungan dari belakang.
 
Tut Wuri Handayani lantas menjadi semboyan yang dijadikan logo oleh Kemendikbud. Pencantuman semboyan ini demi menunjukkan penghormatan terhadap almarhum Ki Hajar Dewantara. Selain penghormatan itu, hari lahir beliau dijadikan dan dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
 
Titik.
 
Saya tak bertanya-tanya lagi dan menjadikan info itu sebagai kebenaran mutlak, yang sudah tak perlu diganggu gugat.
 
Rasanya, informasi di atas itu sengaja disederhanakan karena saya masih di taraf sekolah dasar. Pikiran saya sederhana. Jadi, informasi dan ilmu yang diberikan pun diringkas oleh guru dan penulis buku pelajaran.
 
Beberapa hari lalu, dalam rangka membuat tulisan sederhana ini, saya pun melakukan penelusuran kecil.
 
Hasilnya?
 
Di Taman Siswa, para murid dibebaskan untuk belajar dan mengembangkan potensi dengan cara yang sesuai dengan minat dan bakat. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pembimbing dan pendamping yang selalu siap membantu murid ketika mereka butuh. Jadi, guru harus menjadi teladan, menunjukkan kasih sayang dan kesabaran, serta menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua murid. Bila merasa aman, siswa akan berkembang dan mau mencoba hal-hal baru.
 
Oh, ini yang dimaksud Tut Wuri Handayani.
 
Bila dikembangkan lebih jauh, Tut Wuri Handayani bisa berarti guru menjadikan para muridnya sebagai teladan bagi dirinya dan sesama murid. Para murid kemudian saling memotivasi dan memberi semangat. Dan di situlah posisi guru: menciptakan lingkungan aman dan nyaman semacam itu.

Bila dirunut lebih jauh, konsep ini mirip dengan konsep servant leadership.

 

Buruh

Buruh

Buruh

Bapak terburu-buru pamitan
ia mau menambang bulir-bulir peluh.
Akan ia peras, saring, lalu selipkan
perlahan ke dalam kantong tebal si tuan cuan.

Saat para buruh makan bekal siang
sang tuan berkata bijaksana
"keringat kalian itu harum di surga
semangat kalian itu pahala."

Salah satu buruh angkat suara
Bila Tuhan yang membayar
dengan pahala atau surga,
lalu Tuan gunanya apa?

1 Mei 2024