Diari Syukurku #17: Tiga Resep Dewasa ala Pak Haji Bolot

Suatu ketika, Fajar SadBoy pernah bertanya kepada Pak Haji Bolot mengenai saran bagi anak muda yang sedang belajar menapaki dunia kerja dan belajar menjadi dewasa. Tanpa perlu berpikir panjang, Pak Haji Bolot menjawab dengan fasih melalui tiga poin utama:

  1. Jangan terlalu ambisi.

  2. Jangan mempunyai sifat sirik.

  3. Banyak sedekah.

Semua tamu di acara talkshow itu pun mengamini petuah tersebut. Terdengar sederhana, namun maknanya betul-betul mendalam dan menohok realitas kita hari ini.


Nasihat pertama tentang ambisi mengingatkan kita bahwa ambisi yang tak terkendali sering kali membuat kita buta. Kita menjadi lupa mensyukuri apa yang sudah ada di genggaman karena mata terus tertuju pada apa yang belum kita miliki. Kita terobsesi menumpuk pencapaian dan ingin mewujudkan segala hal yang ada di pikiran, seolah kepuasan adalah garis finis yang bisa dikejar, padahal ia hanyalah fatamorgana.

Sifat ambisius ini kemudian sering bercampur dengan penyakit hati yang kedua: sirik alias iri dengki. Kita mulai membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Saat melihat orang lain lebih kaya, kita ingin mengalahkannya. Saat orang lain lebih dicintai atau dipuji, kita pun ingin merebut posisi itu.

Padahal, hidup bukanlah sebuah kompetisi untuk saling mengalahkan. Keinginan untuk selalu terlihat "lebih" dari orang lain itulah yang perlahan menggerogoti ketenangan hati. Kita menjadi lupa untuk menikmati proses dan mensyukuri pencapaian kecil kita sendiri karena mata kita terlalu sibuk menatap rumput tetangga. Rasa iri hanya membuat kita lelah mengejar bayang-bayang kepuasan yang semu, mengubah kawan menjadi lawan, dan mengubah rezeki menjadi sekadar angka tanpa keberkahan.

Di sinilah poin ketiga hadir sebagai penawar yang paling ampuh: perbanyak sedekah.

Sedekah bukan sekadar soal memberi uang kepada yang membutuhkan, melainkan sebuah latihan spiritual untuk melepas kemelekatan duniawi. Sedekah adalah mekanisme untuk "mengerem" ambisi yang liar dan "mengobati" hati yang dengki. Ketika tangan kita terbiasa memberi, hati kita diajarkan bahwa tidak semua hal di dunia ini harus digenggam erat. Kita disadarkan bahwa rezeki yang kita kejar mati-matian, sejatinya adalah titipan yang harus mengalir agar tetap jernih, bukan dibiarkan menggenang hingga keruh.

Dengan bersedekah, kita mematahkan ego yang merasa memiliki segalanya. Kita belajar bahwa keberhasilan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang bisa kita kumpulkan, melainkan seberapa banyak manfaat yang bisa kita tebarkan.

Nasihat Pak Haji Bolot mungkin terdengar klasik, namun itulah fondasi ketenangan jiwa yang sesungguhnya. Menjadi dewasa bukan hanya soal seberapa tinggi karier yang kita panjat, tetapi seberapa pandai kita menata hati. Dengan mengendalikan ambisi, membuang rasa iri, dan memperbanyak berbagi, kita tidak hanya sedang belajar bekerja, tetapi benar-benar belajar menjadi manusia yang tenang dan bahagia.

Diari Syukurku #16: Belajar Cukup

Beberapa hari lalu, saya melihat cuplikan video Yusdeny Lanasakti. Yusdeny sendiri seorang kreator konten yang menyajikan konten berbagi dengan para janda atau duda sepuh yang sering ditinggal anak dan cucunya.

Di situ, dia bertemu Mbah Kulsum. Sebagaimana layaknya konten berbagi lain, kreator yang sekaligus dokter ini memberikan bingkisan sembako.

Saat menerima, Mbah Kulsum langsung kaget dan terlihat menahan diri. “Kok banyak sekali gini” ujarnya dalam bahasa Madura “gak tahu ini bagaimana saya mengembalikannya”

“Gak usah dikembalikan” balas sang dokter “cukup kami didoakan.”

“Semoga sampeyan dan semua tim ini beres slamet” pungkas beliau kemudian.

Cuplikan video itu mengingatkan saya tentang rumah. Beberapa orang sepuh di Probolinggo tidak langsung seketika sumringah ketika mendapat pemberian. Beliau-beliau selalu berpikir bagaimana cara mengembalikan kebaikan itu. Bahkan saat kedatangan tamu, beliau langsung berpikir cara membalas silaturahim itu.


Dari video itu, kupikir mungkin begitulah cara untuk merasa cukup, yaitu memikirkan bagaimana cara kita mengembalikan kebaikan orang yang memberi. Dengan begitu, kita tidak terlalu tamak meminta dan menerima. Karena yang kita minta atau terima, harus kita kembalikan.

Diari Syukurku #15: Menghadiahkan Waktu

Sabtu yang berat, dan Ahad yang berjalan lambat. Begitulah kiranya gambaran minggu lalu.

Agar suasana sedikit lebih cerah, aku pun mengajak istri pada Ahad pagi itu untuk sarapan pecel di Pasar Tawangmangu. Pecel itu memang favorit kami. Bumbunya khas. Nasinya pas; tak terlalu banyak, tak juga terlalu sedikit. Sayurnya pun segar.

Apakah Pasar Tawangmangu ini tempat terinspirasinya lagu Mangu dari Fourtwnty?

Ow gila tak masuk logika
Termangu hatiku
Kau menggenggam kumenadahnya
Ow gila ini tak biasa
Tertegun hatiku
Kau menggenggam kumenadahnya

Entahlah.

“Tambah satu teh hangat ya,” usul istri sambil beranjak dari kursi lalu memesan.

Sejenak kemudian, dua porsi nasi pecel datang. Kami pun mengambil dua gelas air mineral sambil menunggu teh hangat. Seiring tandasnya pecel, kami mengobrol ngalor ngidul. Dan ketika butir terakhir nasi putih di wadah daun pisang itu habis, si teh hangat belum juga menampakkan batang hidungnya.

Mungkin si penjualnya lupa. Tak tahu juga.

“Gak usah teh hangat, gak apa-apa, wes,” kataku.

Istri pun bangkit untuk membayar.

“Mungkin biar kita langsing karena gak kebanyakan gula,” kata istri sambil mengajakku berangkat ke Gramedia.

Kami pun menyusuri jalan Tawangmangu, lalu ke Plasa Ramayana Malang untuk memarkirkan sepeda. Dan mengantarnya ke Gramedia untuk membeli buku keperluan mengajar.

Sejenak kemudian, kami pun pulang melewati jalan lain lagi. Berputar-putar.

Apa pun jalan yang dia minta untuk kutempuh, aku akan mengabulkannya. Karena kutahu, hadiah terbesarku untuknya mungkin waktu dan kesediaan untuk menemaninya berkeliling. Kelak saat kami tak kuat lagi, perjalanan itu bisa kami kenang.

Kata orang bijak, "saat kita meluangkan waktu bersama orang lain, kita memberikan sepotong hidup kita untuk orang itu. Itulah yang perlu kita syukuri"

“Hari ini menyenangkan sekali,” ucapnya setelah terbangun dari tidur siang.

Diari Syukurku #14: Es Teler Steve Jobs

Siang Ahad kemarin, cuaca Singosari benar-benar panas.

Matahari sedang tersenyum paling cerah. Langit sumringah sekali. Awan pun tak sanggup menahan senyumnya. Jadilah, suasana terasa sumuk sekali.

Lanjutannya? Tentu saja, beli es.

Saya pun berinisiatif. Tujuannya: mencari es teler. Konon, ini es teler paling legendaris di Singosari.

Saya cepat bersiap. Jaket hitam saya kenakan. Motor langsung saya nyalakan. Mulut saya rasanya sudah mengunyah es teler dingin itu. Sudah sangat ngiler.

Sesampainya di sana, antrean sudah panjang. Ibu-ibu berjejer rapi.

Saya lantas memesan. Saya sebut pesanan saya kepada si Ibu penjual. Ia tampak sibuk luar biasa.

"Sebentar, Pak ya," balasnya singkat.

Saya duduk menunggu. Sabar. Lima menit kemudian, si Ibu memanggil.

"Es krimnya habis, Pak."

Mendengar itu, saya langsung menjawab. "Tanpa es krim saja tidak apa-apa."

Si Ibu menatap saya. "Kami jualannya Es Teler Es Krim, Pak."

"Jadi, tidak bisa dijual?" tanya saya lagi.

"Iya, Pak. Maaf, ya. Aturannya begitu. Kami hanya jual es teler yang ada es krimnya. Kalau tidak ada, ya berarti tidak bisa kami jual."

Ia menatap saya lamat-lamat. "Maaf, Pak," ucapnya sekali lagi.

"Iya, tidak apa-apa," sahut saya. Padahal, rasa dongkol dan kecewa harus saya tahan.

Saat itu, saya memilih tidak marah. Biarlah hasrat mencicipi es teler ini tertunda. Keinginan yang ditahan seringkali terasa lebih manis saat akhirnya terwujud.

Tapi, ada hal yang lebih menarik.

Ibu ini hanya menjalankan suatu aturan kerat. SOP yang ia tetapkan sendiri. Dan saya salut sekali.

Ini UMKM kecil, tapi punya idealisme produk tinggi. Pikirannya tidak melulu soal uang, duit, dan fulus. Ia rela menolak pembeli—menolak rezeki—hanya karena produknya tidak sesuai spesifikasi.

Saya memang gagal mendapat es teler idaman. Namun, saya justru mendapat pelajaran berharga.

Di tengah persaingan sengit, setiap usaha harus punya pembeda. Pembeda si Ibu penjual adalah kualitas dan spesifikasi produknya. Ia tidak kompromi.

Hal ini mengingatkan saya pada ucapan Steve Jobs: "If you do the right things on the top line, the bottom line will follow."

Lakukan hal yang benar pada kualitas produk (top line), maka keuntungan (bottom line) akan mengikuti. Si Ibu penjual es teler itu adalah bukti nyatanya.

Diari Syukurku #13: Merayakan Ngopi dan Umbi

Semalam, saya mendapat undangan paling santai dan paling berharga: ngopi bareng tetangga di kampung.

Kami berempat duduk melingkar di pendopo pondok sambil ditemani aroma pekat kopi Arjuno yang baru diseduh yang berpadu manis legit ubi Cilembu yang hangat mengepul. Ini adalah perjamuan yang sangat sederhana, tapi kaya rasa.

Di tengah kesederhanaan suguhan itu, obrolan kami mengalir tanpa batas. Kami bahas keamanan kampung, lalu meloncat cepat ke kabar terbaru dunia sepak bola. Tidak ada agenda, tidak ada yang terburu-buru. Hanya percakapan gayeng dari hati ke hati. Tak terasa waktu merayap, dan selepas kopi tandas, kami lanjut berkeliling kampung untuk ronda. Malam itu, semua berjalan aman, tenang, dan damai.

Mungkin, jika diceritakan, momen ini terdengar biasa saja, bahkan nyaris tidak ada yang istimewa.

Namun, justru di situlah letak keistimewaannya.

Bagi saya, kehangatan semacam ini adalah harta karun yang makin langka. Ini adalah bukti bahwa keguyuban—keakraban sejati—masih terjaga. Kami bisa bercakap-cakap tanpa sekat, tanpa perlu janjian formal, dan yang terpenting, tanpa intervensi layar ponsel.

Interaksi sehangat ini perlahan tergerus, tergantikan oleh hubungan yang serba praktis, bergeser menjadi sekadar urusan transaksi dan kepraktisan. Itulah mengapa hal-hal kecil, seperti ngopi santai di teras, ronda keliling, atau sekadar melempar canda ringan, patut dirayakan.

Yang sederhana ini sejatinya adalah kemewahan yang tersembunyi. Ia baru terasa sangat berharga ketika hilang; saat tetangga sibuk dengan urusannya masing-masing, saat setiap orang hanya fokus pada kendala, dan saat kita lupa bagaimana caranya merayakan kebersamaan. Jangan sampai kita baru menyadari nilainya ketika suasana hangat itu tinggal kenangan.

Apakah ini termasuk ibadah? Tentu saja. Ibadah ngopi.

Saya jadi teringat puisi Usman Arrumy yang berjudul Rukun Ngopi.

Rukun ngopi terdiri dari 6 perkara :
Pertama, bersuci dari sepi
Kedua, menggelar puisi
Ketiga, menghadap rindu
Keempat, mengheningkan cinta
Kelima, mengucapkan salam kepada kenangan
Keenam, mendo'akan keselamatanmu



Diari Syukurku #12: Dipaksa Bahagia oleh Gus Baha dan Ayam Ketawa

Awalnya, terus terang, aku amat terganggu. Jauh sebelum matahari menampakkan sinarnya, sekitar pukul empat pagi, kokok ayam di belakang rumah sudah memecah keheningan. Bunyinya bukan hanya sekali dua kali, melainkan bertalu-talu, nyaring dan terus-menerus. 

Setiap kali ia bersuara, keinginan untuk kembali menarik selimut dan menikmati sisa tidur pun langsung sirna tanpa sisa. Begitulah rutinitas yang harus saya hadapi setiap pagi.

Rasa penasaran akhirnya mengalahkan kejengkelan. Kuintip, dan ternyata, si biang kerok itu adalah Ayam Ketawa. Ayam unik ini, yang dijuluki juga Ayam Jantan dari Timur, merupakan spesies asli Indonesia, tepatnya dari Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

Meskipun kokoknya yang khas itu sempat mengusik ketenangan, aku putuskan untuk mencoba menikmati alih-alih terusik. Caranya sederhana: saya menirukan kokoknya. Saat saya tirukan, tiba-tiba terdengar lucu, bahkan konyol.

Sejak saat itu, ada perubahan kecil di hati. Setiap pagi, saat kokok itu kembali terdengar, aku tidak lagi menggerutu. Sebaliknya, aku justru tersenyum kecil karena teringat pada tingkah konyol saat menirukannya. Ayam itu, dengan keunikannya, seolah memaksaku untuk memulai hari dengan perasaan riang dan bahagia.

Oleh Kangwira - my farms, CC BY-SA 3.0, 
https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=31166978

Pelajaran dari Gus Baha dan Marcus Aurelius

Fenomena ayam ini tanpa sengaja mengingatkanku pada pengajian Gus Baha. Beliau pernah berpesan bahwa kita harus mencari cara untuk terus riang, terus berbahagia. Logikanya sederhana: kita sudah diberi begitu banyak nikmat oleh Allah, dan bukankah Sang Pemberi pasti tidak menyukai jika melihat penerima hadiahnya justru bermuram durja?

"Anda lebih suka orang yang setelah dikasih (hadiah) tersenyum bahagia atau yang mrengut (cemberut)?" tanya Gus Baha, selalu diiringi tawa khasnya.

Seketika kuberpikir, benar juga.

Konsep untuk selalu mencari jalan menuju kebahagiaan ini ternyata berakar kuat di mana-mana. Bahkan, dalam buku klasik "Meditations" karya filsuf Stoa, Marcus Aurelius, kita diingatkan tentang pentingnya rasa syukur di pagi hari.

Ia menulis: "Ketika Anda bangun di pagi hari, pikirkanlah betapa istimewanya hak istimewa untuk hidup—untuk berpikir, untuk menikmati, untuk mencintai." (When you arise in the morning, think of what a precious privilege it is to be alive—to think, to enjoy, to love.)

Jika seekor ayam saja bisa "tertawa" dan berbahagia dengan caranya yang unik, lalu tanpa sadar menebarkan energi positif itu pada orang lain, lantas mengapa kita sebagai manusia harus memilih untuk mengawali hari dengan wajah cemberut?

Diari Syukurku #11: Kasih yang Pilih-Pilih

Beberapa waktu lalu, aku menonton video singkat yang menarik. Di video itu, diperlihatkan banyak orang di negara Barat yang berupaya keras menciptakan alat-alat canggih agar tupai tidak bisa mencapai tempat makan burung. Mereka menyebutnya bird feeder

Fenomena ini menunjukkan sebuah ironi: mereka senang memberi makan burung, tetapi di saat yang sama, mereka mati-matian menghalangi tupai. Sama-sama hewan, kan? Sama-sama liar.

Alasannya sederhana, burung hanya makan seperlunya, sementara tupai akan menimbun semua makanan yang ada.

Jika direnungkan, perbedaan sikap ini ternyata bukan hanya tentang hewan, melainkan refleksi dari cara pandang manusia. Burung dianggap sebagai tamu yang sopan: datang sebentar, membawa keindahan dan kicauan merdu, lalu pergi tanpa meninggalkan masalah. Sebaliknya, tupai dipersepsikan sebagai hewan rakus, cerdik, dan selalu ingin berkuasa. Singkatnya, burung melambangkan harmoni, sementara tupai melambangkan gangguan.

Fenomena sederhana di halaman rumah itu menyimpan pesan etis yang dalam tentang nilai-nilai sosial. Manusia cenderung lebih nyaman dan bersedia berbagi ruang dengan mereka yang tidak menuntut berlebihan, yang memahami batas kebutuhan, dan yang kehadirannya membawa manfaat. Mengusahakan pun pilih-pilih.

Sebaliknya, mereka yang serakah, selalu ingin menguasai, atau menimbulkan masalah akan cenderung dihindari. Sederhana saja, berbagi akan terasa lebih menyenangkan jika ada keseimbangan antara memberi dan menerima.

Kita bisa bertanya pada diri sendiri: dalam kehidupan ini, apakah kita lebih sering bersikap seperti burung atau tupai? Apakah kehadiran kita membawa ketenangan dan rasa cukup, membuat orang lain nyaman, atau justru kita selalu ingin menumpuk dan pada akhirnya dijauhi?

Pada akhirnya, tindakan memberi makan burung sambil menghalangi tupai dapat dibaca sebagai sebuah simbol. Manusia secara alami akan memilih untuk mendukung sikap yang membawa kedamaian dan menjauhi sifat yang menimbulkan keresahan. 

Ini adalah cermin dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yang diekspresikan melalui interaksi dengan alam.

Duh, belajar lagi, kan?