Diari Syukurku #12: Dipaksa Bahagia oleh Gus Baha dan Ayam Ketawa

Awalnya, terus terang, saya amat terganggu. Jauh sebelum matahari menampakkan sinarnya, sekitar pukul empat pagi, kokok ayam di belakang rumah sudah memecah keheningan. Bunyinya bukan hanya sekali dua kali, melainkan bertalu-talu, nyaring dan terus-menerus. Setiap kali ia bersuara, keinginan untuk kembali menarik selimut dan menikmati sisa tidur pun langsung sirna tanpa sisa. Begitulah rutinitas yang harus saya hadapi setiap pagi.

Rasa penasaran akhirnya mengalahkan kejengkelan. Saya intip, dan ternyata, si biang kerok itu adalah Ayam Ketawa. Ayam unik ini, yang dijuluki juga Ayam Jantan dari Timur, merupakan spesies asli Indonesia, tepatnya dari Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

Meskipun kokoknya yang khas itu sempat mengusik ketenangan, saya memutuskan untuk mencoba menikmati alih-alih terusik. Caranya sederhana: saya menirukan kokoknya. Saat saya tirukan, tiba-tiba terdengar lucu, bahkan konyol.

Sejak saat itu, ada perubahan kecil di hati saya. Setiap pagi, saat kokok itu kembali terdengar, saya tidak lagi menggerutu. Sebaliknya, saya justru tersenyum kecil karena teringat pada tingkah konyol saya saat menirukannya. Ayam itu, dengan keunikannya, seolah memaksa saya untuk memulai hari dengan perasaan riang dan bahagia.

Oleh Kangwira - my farms, CC BY-SA 3.0, 
https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=31166978

Pelajaran dari Gus Baha dan Marcus Aurelius

Fenomena ayam ini tanpa sengaja mengingatkan saya pada pengajian Gus Baha. Beliau pernah berpesan bahwa kita harus mencari cara untuk terus riang, terus berbahagia. Logikanya sederhana: kita sudah diberi begitu banyak nikmat oleh Allah, dan bukankah Sang Pemberi pasti tidak menyukai jika melihat penerima hadiahnya justru bermuram durja?

"Anda lebih suka orang yang setelah dikasih (hadiah) tersenyum bahagia atau yang mrengut (cemberut)?" tanya Gus Baha, selalu diiringi tawa khasnya.

Seketika saya berpikir, benar juga.

Konsep untuk selalu mencari jalan menuju kebahagiaan ini ternyata berakar kuat di mana-mana. Bahkan, dalam buku klasik "Meditations" karya filsuf Stoa, Marcus Aurelius, kita diingatkan tentang pentingnya rasa syukur di pagi hari.

Ia menulis: "Ketika Anda bangun di pagi hari, pikirkanlah betapa istimewanya hak istimewa untuk hidup—untuk berpikir, untuk menikmati, untuk mencintai." (When you arise in the morning, think of what a precious privilege it is to be alive—to think, to enjoy, to love.)

Jika seekor ayam saja bisa "tertawa" dan berbahagia dengan caranya yang unik, lalu tanpa sadar menebarkan energi positif itu pada orang lain, lantas mengapa kita sebagai manusia harus memilih untuk mengawali hari dengan wajah cemberut?

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »