Diari Syukurku #3: Tamu Jauh

Kemarin kami kedatangan tamu, dua keluarga: Mas Fitri sekeluarga dan Mas Kusnan sekeluarga. Total enam orang karena masing-masing membawa serta anak. Rumah terasa lebih hidup siang itu. Kami pun bercengkerama, bertukar cerita, suka maupun duka mengalir begitu saja dalam percakapan hangat.

Mas Fitri adalah profesor madya di salah satu kampus di Trengganu, dengan bidang keilmuan perkapalan. Meski sudah melanglang buana ke berbagai kampus, beliau tetap rendah hati. Dari ceritanya, aku menangkap betapa perjalanan akademik bukan hanya soal ilmu dan prestasi, tetapi juga tentang daya tahan. Ia sering harus mencari pendanaan ke berbagai lembaga luar negeri untuk menopang penelitian, sekaligus menghadapi jenuh karena terpisah dengan keluarga inti. Di Trengganu, seperti halnya kami di Malang, ia juga tidak punya siapa-siapa.

Sejenak aku tersadar, siapa pun orangnya—dengan latar belakang bagaimana pun—selalu punya masalahnya sendiri-sendiri. Di balik gelar, jabatan, atau cerita sukses, tetap ada ruang kosong yang butuh dipenuhi. Karena itu, sudah bukan saatnya saling iri, tetapi saling mengisi.

Begitu juga dengan Mas Kusnan. Ceritanya tentang pekerjaan di PLN Paiton, anak-anak, hingga urusan rumah tangga membuat percakapan malam itu semakin berwarna. Kami tertawa bersama, lalu tiba-tiba hening ketika kisah menyentuh sisi rapuh masing-masing. 


Dari sana aku belajar, setiap orang sedang menapaki jalannya sendiri. Ada tantangan, ada rasa letih, tapi selalu ada harapan yang dijaga.

Malam itu terasa hangat. Di tengah obrolan sederhana, aku merasakan sesuatu yang lebih dalam: pertemuan ini adalah pengingat. Bahwa kita tidak sendiri. Bahwa hidup memang tentang saling menambal kekurangan, saling menguatkan, dan berbagi semangat untuk terus melangkah.

Share this

Related Posts

Latest
Previous
Next Post »