Semangat sering kita ucapkan untuk diri sendiri atau kepada orang lain. Kerap kali kita jadikan bahan bakar motivasi. Namun, pernahkah kita melihat bagaimana semangat itu bisa mati? Bagaimana api yang menyala-nyala di dalam diri seseorang akhirnya berubah menjadi abu?
Di sebuah sekolah, hiduplah seorang guru yang membawa bara itu. Namanya Ibu Lentera. Ia datang dengan idealisme yang tumpah ruah. Ia beli alat-alat dan buku-buku untuk menyalakan semangat belajar para muridnya. Kelasnya bukan sekadar ruang empat dinding, melainkan laboratorium ide yang memancing murid-muridnya bermain sambil belajar. Ia bukan hanya mengajar, tetapi merayakan proses belajar itu sendiri. Sayangnya, idealisme itu adalah pedang bermata dua.
Setiap kali ia mengajukan inovasi kepada atasan, setiap kali ia berusaha melampaui standar, sistem menanggapi dengan cara yang kejam. Bukan penghargaan, melainkan beban kerja yang berlipat ganda. Tugas-tugas administratif yang membosankan, jam kerja yang memanjang, dan gaji yang tak sebanding dengan keringat yang ia curahkan. Rekan-rekannya yang memilih jalan aman, sekadar mengikuti rutinitas, justru hidup lebih nyaman. Perlahan, bara semangatnya ditimbun debu rutinitas, hingga padam sama sekali.
Hukuman bagi Mereka yang Berbeda
Fenomena ini bukan anomali. Ia adalah potret umum dari banyak organisasi, tempat di mana inisiatif dan semangat berujung pada ekspektasi yang tak adil. Bukannya dihargai, mereka yang proaktif justru "dihukum" dengan beban kerja yang lebih berat, seolah-olah semangat adalah sumber daya tak terbatas yang bisa dieksploitasi.Dalam ilmu psikologi, kondisi ini disebut learned helplessness. Sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Martin Seligman. Kondisi ini terjadi saat individu yang berulang kali menghadapi situasi di mana usahanya tidak membuahkan hasil akhirnya berhenti mencoba. Mereka "belajar" bahwa berjuang itu sia-sia, bahkan mungkin merugikan. Dari situ, lahir sikap apatis, pasif, dan bekerja sebatas memenuhi formalitas.
Lingkaran Setan yang Membahayakan
Penerapan konsep ini pada dunia pendidikan sangatlah mengkhawatirkan. Seorang guru yang kehilangan motivasi intrinsiknya bukanlah sekadar individu yang lelah, melainkan sosok yang kehilangan kemampuan untuk menyebarkan energi positif di kelas. Proses pendidikan pun berubah menjadi transmisi informasi yang kering dan hampa. Yang lebih ironis, sistem sekolah sering tidak sadar bahwa mereka adalah arsitek dari lingkaran setan ini, melalui kebijakan yang mengabaikan kesehatan mental para pendidik.Untuk memutus rantai ini, organisasi—termasuk sekolah—harus berani meninjau kembali budaya kerjanya. Apresiasi yang proporsional, pembagian beban kerja yang adil, dan ruang bagi inovasi adalah prasyarat untuk menjaga semangat tetap hidup. Para inisiator harusnya diberi dukungan, bukan tambahan beban yang membunuh niat baik mereka.