Setiap hari, aku selalu melakukan perjalanan panjang, sekira 30 KM dari rumah ke tempat kerja. Di dalam perjalanan, kadang muncul dialog di dalam diri. Interaksi dengan batin. Kadang pula dengan sesama pelaju dan pekerja yang lalu-lalang di jalan.
Bila dipikir-pikir, hidup memang sebuah interaksi panjang; sebuah munajat tanpa henti, sebuah kemesraan sunyi. Dalam perjalanan itu, kita melabuhkan harap agar selamat di tujuan pada sang Maha.
Ini tentang melabuhkan segala harap hanya pada-Nya, seraya menata palung hati agar lapang menerima apa pun jawaban yang Dia titipkan. Seberapa singkat dan lama jawaban itu kutunggu.
Dan seluruh perjalanan telah mengajarkan makna sesungguhnya dari semua itu.
Apalagi perjalanan haji beberapa bulan lalu.
Dan aku mulai sadar bahwa dunia ini hanyalah sebuah persinggahan, sebuah terminal tunggu yang riuh sebelum kita benar-benar kembali. Kain putih ihram yang membalut tubuh bukanlah sekadar busana, melainkan kafan pengingat bahwa kita datang tanpa apa-apa, dan kelak akan pulang hanya berbekal amal. Setiap langkah yang terayun di tanah suci terasa laksana miniatur perjalanan hidup itu sendiri—sebuah ziarah panjang menuju akhirat.
Di sanalah aku belajar untuk melepas. Melepaskan genggaman ego yang angkuh, membungkam riuh ambisi duniawi, dan menyingkirkan segala perhitungan rumit manusiawi. Yang tersisa kemudian hanyalah hati yang menunduk dalam kepasrahan, jiwa yang bergetar dalam penyerahan diri, dan desir doa yang tak pernah putus.
Haji membisikkan kepadaku bahwa cinta sejati adalah ketaatan tanpa syarat. Bahwa kebersamaan dengan jutaan jamaah bukanlah sekadar kerumunan tanpa makna, melainkan jalinan persaudaraan seiman yang menghangatkan jiwa. Sebab, kebesaran Allah terasa begitu nyata, begitu dahsyat, ketika jutaan kepala serempak menunduk, jutaan mata menitikkan air mata yang sama, dan jutaan pasang kaki berlari kecil menuju satu kiblat yang tak pernah berganti.
Dan dari semua perjalanan agung itu, ada satu hal yang ingin kubawa pulang dan kudekap erat selamanya:
Kesadaran penuh bahwa hidup ini, pada dasarnya, adalah sebuah perjalanan pulang.
Maka setiap hari yang tersisa kini adalah kesempatan berharga untuk terus bertawaf; bukan lagi mengelilingi Ka'bah, melainkan bertawaf dalam lingkaran kebaikan, menebar manfaat, dan menjaga hati agar senantiasa tertuju hanya kepada-Nya.