Diari Syukurku #9: Kenangan yang Menetap

"Anak saya, yang sulung, sekarang kerja jadi teknisi di tambang Kalimantan," ujar Minto, salah seorang tetanggaku. Matanya berbinar, memancarkan kebanggaan yang tak terbendung saat bercerita tentang putranya.

Anak sulung Minto, setelah tiga bulan bekerja, akan mendapatkan jatah pulang. Waktunya tak selalu sama, kadang seminggu, kadang sepuluh hari. Semua biaya, dari pesawat sampai transportasi darat, sudah ditanggung perusahaan.

Warung ndalem ratu di Singosari

Saat pulang, tak pernah absen dia mengajak keluarganya makan di luar. Minto, dengan bangga, pernah berujar kepada anaknya, "Terima kasih, Le. Adik-adikmu mungkin akan lupa uang yang kamu kasih. Tapi, mereka akan selalu ingat kenangan makan bersama seperti ini."

Mendengar cerita Minto, pikiranku melayang pada pengalaman beberapa waktu lalu. Saat itu, aku sedang menjadi bagian dari sebuah tim di sebuah lembaga. Sesekali, aku mengajak teman-teman makan bersama di luar. Kami mencoba warung-warung baru, dan mencicipi menu di kafe-kafe kekinian.

Pengalaman-pengalaman itu, kenangan yang tercipta, ternyata menetap lama dalam ingatan kami. Sampai sekarang, kami masih sering mengenang kafe yang pelayanannya lambat, atau kafe yang akhirnya tutup setelah kami datangi. Kami juga masih ingat, kami sengaja menaruh ponsel di meja agar bisa saling bercerita tanpa gangguan.

Kami mensyukuri momen-momen itu. Kami merayakan persahabatan sebelum budaya kerja berubah menjadi rutinitas belaka. Kami bersyukur, karena interaksi kami bukan sekadar transaksi. Kami bekerja, tapi bukan sekadar menghabiskan waktu, pulang, dan melupakan beban itu.

Dan ketika nanti ada yang bertanya, "Apa kenanganmu saat bekerja?" Kami akan dengan mudah menjawabnya, "Kami punya banyak cerita."

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »