Menjadikan Orang Teristimewa - Ayahku Pahlawanku

taken from another blog.
Usianya sekira tujuh puluh tahunan. Kulitnya keriput di sana sini. Warna kulitnya cokelat matang. Mungkin karena tersengat cahaya matahari. Menurut penuturan orang, beliau berjalan sepuluh kilometeran ke pasar untuk menjajakan dagangan.

Namun, senyumnya masih tersungging sempurna. Deretan gigi yang tanggal, gusi yang berwarna kemerahan, kerutan di wajahnya yang seakan membentuk aliran-aliran kecil saling berlipatan terpampang jelas. Menawan. Tatap matanya tajam, tetapi meneduhkan. Bau tubuhnya beraneka ragam. Campuran sempurna antara remason, minyak gosok, serta minyak wangi yang menyengat.

Lupa adalah Sepotong Cinta

Courtesy: Ariezkha Ajah
Itu sore paling indah menurutku. Kami hanya berdua, tanpa Kafka dan Keena. Suasana tetap sendu, meskipun fajar yang kutunggu-tunggu tak kunjung muncul. Apakah mungkin karena kali ini perjalananku ke timur? Tak apalah tak bertemu senja kali ini, seruku di dalam hati.

Aku awalnya ragu mengambil rute pulang ini. Tetapi hati sudah menetapkan pilihan. Ya sudah, kuikuti saja. Hati sudah berfungsi lebih dari sekadar pemandu dalam perjalanan, dan dalam sebagian besar kasus aku mengikutinya.
Membunuh tanpa Alasan (Di Balik Matinya *Keci)

Membunuh tanpa Alasan (Di Balik Matinya *Keci)

Dia tiba-tiba mendekatiku. Rasa-rasanya dia memang berniat menyentuh dan menyusuriku. Dan benar saja, dia melakukannya. Geli, kutendangkan kaki, dan bruk, keci jatuh. Tetapi dia masih bisa membalik badan, dan kembali berlari cepat. Entah kenapa dia masih menyasarku. Apakah dia sudah mempelajari strategi perlawanan, dan merasa cukup kuat menghadapiku secara one on one lagi? Dari ilmu probabilitas, itu bisa saja.

Karena sudah paham gerakan selanjutnya, aku sudah ancang-ancang untuk menendang keci dengan tenaga sedang, dan ayunan kaki sekitar tiga puluh derajat dengan kecepatan 109 km/jam. Dan dari jarak sekitar 10 cm, keci datang lebih cepat daripada yang kuperkirakan.

Tak mau membuang waktu, kuayunkan kaki. Prekk. Keci terbang dengan badan dalam kondisi terlentang, lalu terjengkang. Kaget, kakinya lalu berayun ke udara dengan cepat. Berkali-kali. Tapi kali ini badannya tak bisa berbalik. Mungkin tenaganya sudah habis.

Antara Joey Alexander, Saya, dan Kecoak

Mendengar Joey Alexander orang Indonesia dan dua nominasi Grammy yang diterimanya saja sudah merupakan berkah. Bagaimana tidak berkah, di tengah semua orang yang sibuk membahas tentang bolehkah kita merayakan valentine, bolehkah kita memilih Ahok, bandara TNI yang dijual kepada Singapura, tiba-tiba ada seorang anak berambut panjang, berkulit sawo matang, dan tersenyum menawan mendobrak dengan prestasi yang menjulang: nominee termuda kategori jazz sepanjang berlangsungnya Grammy. Kategorinya pun tak kalah membelalakkan mata: Jazz.

taken from kompas.com
Bagaimana tidak kagum, lha wong saya sendiri tidak paham dan tidak bisa menikmati alunan musik jazz. Jazz bagi saya suatu misteri. Apa pun yang saya tidak paham adalah misteri. Dan pada setiap misteri saya kagum. Sama seperti alam pikiran wanita. Pada setiap perubahan suasana hatinya yang berlangsung secepat kilat, saya menyimpan kekaguman luar biasa.

Dan lagi dari yang saya dengar, jazz adalah musik orang atas. Musik orang ningrat, yang jarang bergelut dengan pahit getir masyarakat jelata. Musik orang-orang yang mencari ketenangan di tengah hiruk-pikuk dunia modern. Dibesarkan dengan iringan dangdut ala Soneta, lalu disuguhi suara pas-pasan dan goyang seronok ala penyanyi dangdut koplo Pantura, bagaimana saya bisa (diminta) menikmati alunan musik yang kadang tidak beraturan itu.

Pun begitu, saya tetap mencoba mendengar musik yang dimainkan Joey. Selain agar terlihat kekinian, saya penasaran. Betul, dari mana lagi saya bisa mendengarnya selain Youtube.