Biarkan Matahari Tembus Lubang Hatimu

Setelah menulis Sebatang Kara tapi Tak Lantas Menderita, kulihat lagi sound track film Dear Evan Hansenn. Puas melihat dan mendengar lagunya, sebagaimana biasanya, kulihat lagi berbagai komentar. Ada satu komentar yang menarik perhatian. Komentar tersebut ditulis Sophia:

Hi. I’m a 13 year old girl and I feel lost. I started developing symptoms of depression and social anxiety at the beginning of 2019, due to my sister’s suicide attempts. It developed, until I eventually started to experience thoughts of suicide. I want to disappear, but when I’m on that edge - I keep getting reminded that I’m not alone in this, even though my mind always tricks me into believing that nobody cares about me. But, deep down, I know they do. You’re not alone, none of us are. Whoever you are - I love you.

Update: I finally asked for help and will start therapy as well as taking medication! It took me almost 3 years to ask for help, but it is so worth it! Also, thank you for all of the lovely replies, they’ve really helped me keep going! :)

Bila diterjemahkan, kira-kira begini terjemahannya:

Halo. Saya seorang gadis yang berusia 13 tahun dan merasa tersesat. Saya mulai merasakan gejala depresi dan kecemasan sosial pada awal 2019 karena saudari saya mencoba bunuh diri. Gejala itu terus memburuk hingga muncul pikiran-pikiran untuk bunuh diri. Saya ingin menghilang. Saat berada di tepi itu, saya terus diingatkan bahwa saya tidak sendirian. Namun, pikiran selalu memperdaya dan mendorong untuk percaya bahwa tidak ada yang peduli terhadap diri  saya. Jauh di lubuk hati, saya tahu mereka peduli dan sayang. Anda tidak sendiri, tidak ada satu pun orang yang sendirian. Siapa pun kamu, aku mencintaimu.

Kabar terbaru: Saya akhirnya meminta bantuan dan memulai sesi terapi serta minum obat! Butuh hampir 3 tahun untuk meminta bantuan. Jelas, bantuan itu sangat berharga! Selain itu, terima kasih atas semua balasan yang indah. Balasan kalian benar-benar membantu saya untuk terus maju! :)

Gejala seperti ini unik karena setiap orang merasakan campuran pikiran yang berbeda-beda, dan bervariasi antara satu orang dengan orang lain. Unik, tetapi banyak orang mengalaminya. Cuman, tidak banyak yang secara terang-terangan mengakuinya dan menuliskan di depan publik.

Dalam lagu yang ditulis indah ini, penyelesaiannya ditulis dengan sangat sederhana. Membiarkan sinar matahari menembus pori-pori hati.

Yuk, kita lihat cuplikan liriknya di bawah ini:

Even when the dark comes crashing through
When you need a friend to carry you
And when you're broken on the ground
You will be found

So let the sun come streaming in
'Cause you'll reach up and you'll rise again
Lift your head and look around

Bahkan jika kegelapan menerjang
Jika kau butuh sahabat untuk membuatmu bangkit
Dan jika kau terjerembab 
Kau akan ditemukan

Biarkan sinar matahari menembus masuk
Karena akan kau gapai dan bangkit lagi
Dongakkan kepala dan lihat sekeliling

Caranya pun ditulis dengan sangat simpel. Membiarkan sinar matahari menembus pori-pori hati. Kadang, yang sulit dari orang yang mengalami masalah kesendirian dan kesepian, sepengalaman saya, adalah menutup diri dari orang lain. Tidak ada yang tahu. Dia mengelilingi dirinya dengan asumsi-asumsi, yang kadang tak berdasar. Pikiran-pikiran sendiri kadang jadi bui, yang justru menghambat masuknya sinar matahari.

Di situlah peran seorang sahabat. Seorang kawan. Seorang teman. Seorang rekan. Seorang saudara. Dan orang tua. Mereka perlu membuka batu kecil di tembok-tembok batu yang dipasang dengan sangat kuat oleh orang yang kesepian. Batu kecil itu akan membuat sinar matahari masuk. Dan orang yang kesepian perlu membiarkan cahaya matahari masuk melalui lubang-lubang hati yang sudah terbuka. Dan pada waktunya, keduanya bisa perlahan mendobrak bersama tembok-tembok mental tersebut.

Pada akhirnya, kita hanya manusia. Yang membedakan dengan hewan, kemampuan kita berkomunikasi, menjalin emosi, dan membentuk hubungan kuat. Pada akhirnya, kita perlu menjahit semua memori itu agar kuat menentang badai. Agar kesepian tak perlu merongrong harta kita yang paling berharga: kemanusiaan, hubungan, harapan, masa depan, dan...

Aku pun pernah merasakan momen-momen gelap ketika seakan harus terus-menerus membuktikan diri. Terus menerus memanfaatkan mekanisme pertahanan diri. Untunglah, ketika itu dipertemukan dengan orang-orang hebat.

Photo by Chang Duong on Unsplash

Saat pertama ke Malang, aku dipertemukan dengan Nur Abidin, yang selalu baik hati dan tulus membantuku bangkit ketika sedang jatuh. Dipertemukan dengan Faiz, yang selalu mendorongku untuk jadi lebih baik daripada kemarin. Dipertemukan dengan Yahya, yang selalu mengajariku bahwa kita bisa berjuang keras sekaligus tertawa lepas. Dipertemukan dengan Hadaruddin, yang tekadnya sekokoh baja. Dipertemukan dengan Fidi, yang selalu siap mendengar keluh kesah dan membuatku merasa tidak sendirian.

With you, I am always found... thank you

 

 

 

Sebatang Kara tapi Tak Lantas Menderita

Dalam perjalanan pulang dari Batu pada Ahad (28 Nov) ini, terdengar suatu lagu merdu dari radio. Dari suara khasnya, bisa ditebak bahwa itu suara emas Sam Smith. Setelah sampai di rumah, kuputuskan mencari lirik lengkapnya. 

Ternyata, lagu itu berjudul You'll be found dari OST Dear Evan Hansen. Lihat cuplikan liriknya di bawah ini.   

Have you ever felt like nobody was there?
Have you ever felt forgotten in the middle of nowhere?
Have you ever felt like you could disappear?
Like you could fall, and no one would hear? 

Bila diterjemahkan, kira-kira begini:

Pernahkah kau merasa sebatang kara?
Pernahkah kau merasa terlupakan di tengah belantara?
Pernahkah kau merasa sebaiknya lenyap saja?
Semisal, kau terjatuh dan tak ada siapa pun yang mendengarnya? 

http://www.impawards.com/2021/dear_evan_hansen_ver4.html

Setelah melihat trailer film musikal tersebut, lagu yang mengiringinya menyeretku ke masa lalu. Sebagai anak introvert sekaligus yatim, ada sisi di diri ini yang merasa seperti bagian dari lagu itu. Selain itu, rasanya aku ini berbeda. Seperti selalu jadi seorang misfit.

Beberapa orang mengistimewakan karena status anak yatim itu. Di sisi lain, di keluarga sendiri, aku selalu tersisih. Tak ada satu tindakan pun yang benar. Semuanya keliru. Tak ada satu prestasi pun yang cukup diapresiasi. Semuanya remeh. Pernah, aku menempati ranking 1, dan rasanya seperti tidak ada apa-apa. Semuanya berjalan seperti biasanya. Aku tak cukup disayangi seberapa besar upayaku untuk membuat bangga orang tua. Aku terjebak dalam asumsi pikiran itu sendiri lama sekali.

Bertahun-tahun aku terjebak dalam asumsi semacam itu. Kondisi itu menciptakan seorang bocah yang selalu menerapkan mekanisme pertahanan diri. Baginya, setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan dari gempuran-gempuran. Setiap hari adalah beban pertempuran yang harus dijalani dan diselesaikan. Meskipun memiliki banyak teman, si bocah kecil bernama "aku" itu tak pernah bisa benar-benar percaya orang lain. Trust issues. Bahkan kepada keluarganya sendiri. Benar kata orang, you're your worst enemy. Kamu sendiri itu musuhmu paling keji.

Baru beberapa tahun setelah itu aku paham. Bukan karena keluarga tak sadar dan tak menghargai, tetapi begitulah cara komunikasi yang diturunkan dari kakek-nenek, yang juga diwariskan dari kakek-nenek. Kami tak pandai menunjukkan perasaan. Kami tak pandai mengomunikasikan apresiasi. Kami lebih sibuk dengan asumsi-asumsi dan pikiran-pikiran sendiri. Kami ingin dibaca dan dipahami tanpa perlu menyampaikan apa-apa.

Kutahu bahwa sebenarnya mereka bangga dengan semua hal yang kulakukan. Dengan kebangkitan dari keterpurukan yang dalam. Namun, dengan cara yang tak bisa kupahami.

Tahu dari mana? 

Kukira tak ada seorang pun yang tahu tentang beberapa prestasi yang pernah kuraih. Ternyata, beberapa orang lain sudah tahu. Bapak-ibu sering bercerita kepada orang lain tentang anak-anaknya dengan mata berbinar. Mereka bangga, tapi kesulitan mengomunikasikannya kepada anak-anaknya. Tak apa-apa. Itu bukan salah mereka. Bapak-ibu juga seperti aku, yang hidup dengan asumsinya sendiri-sendiri.

Dan semua itu kusadari lebih jauh setelah menjadi seorang ayah. Menjadi orang tua membuatku menyadari hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Kesadaran itu terus membaik dan membuatku terus menyadari semua kesalahan-kesalahan asumsi. Membuatku memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang-orang yang menurutku pernah bersalah. 

Pada akhirnya, kita semua manusia. Seberapa besar pun keluarga dan seberapa banyak pun teman, pada suatu masa, kita akan tetap sebatang kara. Kita sendirian saja: menghadapi semua. Kita akan tersenyum saat sendirian waktu itu. Sebab, kita tahu bahwa kita cukup dengan diri sendiri. Bersama Semesta.

Kita sendirian, tetapi tak lantas kesepian. Kita sebarang kara, tetapi tak lantas menderita. Dan kuncinya: merasa cukup dengan diri kita. 

Seperti lagu itu "You'll be found." Kau akan ditemukan, bukan oleh orang lain. Kadang oleh diri sendiri... Dan kita akan memeluk diri sendiri yang pernah terluka sambil berkata "Terima kasih telah berjuang. Terima kasih telah terus berusaha." And we will be found...

Pilih Melompat Saja atau Mati Perlahan?

Beberapa hari lalu saat beranjangsana ke rumah seorang sahabat, Nur Abidin, yang sekaligus CEO Thursina IIBS, sekolah Islam terkemuka di Indonesia, kami terlibat percakapan intens tentang disrupsi. Disrupsi adalah kondisi di mana solusi lama tak lagi efektif, mahal, dan kurang memuaskan dan digantikan solusi baru yang mendobrak prinsip-prinsip lama.

Toko konvensional digantikan oleh Tokopedia, Shopee, dll. Taksi umum dan ojek yang layanannya kurang memuaskan dan biayanya tidak pasti digantikan Gojek. Toko tiket digantikan Traveloka, Tiket.com, dll sebagainya.

Setiap industri lambat laun akan terkena gelombang disrupsi seiring perkembangan teknologi. Artinya, perubahan niscaya akan melanda, baik kita suka maupun tidak. Agar tetap relevan dengan perkembangan dunia, kita juga perlu berubah. Perlu melompat ke dalam gelombang perubahan.  

Situasi yang terus berubah dan penuh ketidakpastian membawa ingatan ke obrolan lain dengan seorang konsultan pemasaran. Ia menyebut kondisi ini sebagai burning platform.

Apa itu Burning Platform?

Frasa "burning platform/platform membara" muncul dari suatu kisah tentang terbakarnya suatu platform pengeboran minyak lepas pantai pada tanggal 6 Juli 1988. Pada hari itu, anjungan minyak Piper Alpha di North Sea meledak dan memicu kebakaran dahsyat yang merenggut 167 nyawa. Jumlah kematian ini terbesar dalam kecelakaan lepas pantai. 

Penyebabnya: kurangnya perhatian yang sebenarnya dapat dihindari. Sistem sederhana yang telah bekerja baik selama satu dekade ternyata mengalami kegagalan fungsi. Ledakan itu sangat dahsyat. Api melesat hampir 92 meter ke atas udara. Nyala apinya bisa dilihat dari jarak sekitar 10 KM.

Saat ledakan terjadi, para pekerja mengunci diri di sebuah ruangan di salah satu bagian anjungan. Harapan mereka: api akan padam dengan sendirinya sebelum mencapai ruangan itu atau sistem darurat akan menyelamatkan mereka. Saat tersadar bahwa rencana itu tidak akan berhasil, tiga orang berjalan ke tepi platform lalu melihat ke bawah ke laut. Bulu kuduk mereka berdiri melihat air yang sangat dingin dan keras.

Ada dua pilihan yang bisa mereka ambil: 1. Tetap berada di platform itu dan berharap saja yang terbaik. 2. Lompat ke laut dan mengambil risiko mengalami kematian akibat hipotermia.

Setelah berdiskusi, dua orang memilih melompat. Meskipun cedera parah, keduanya berhasil bertahan hidup setelah diselamatkan oleh operasi penyelamatan di tepi pantai. Pria yang memutuskan tetap di berada peron meninggal akibat terbakar karena helikopter yang akan menyelamatkannya tidak tepat waktu.

Bagi dua orang yang hidup itu, pilihannya adalah melompat atau terbakar di dalam bara api. Mereka lebih memilih keputusan "mungkin mati" daripada "pasti mati". Mereka tidak yakin sebenarnya bahwa melompat itu tindakan benar. Namun, mereka tahu bahwa tetap di platform itu salah karena platform sedang membara. Bagi yang tidak melompat, ia pikir itu ide cemerlang. Sebab, ia yakin bisa keluar hidup-hidup dan ada orang yang akan menyelamatkannya. Ternyata tidak ada.

Photo by Andy Watkins on Unsplash

Konkretnya?

Anggaplah organisasi kita berada di platform membara tersebut. Apa yang perlu kita lakukan? Pertama, menurut hemat saya, kita harus menganalisis dulu apa yang harus dan sebaiknya dilakukan untuk mencegah agar bisnis kita tidak mati terbakar. Kedua, mengomunikasikan hasil analisis dan keputusan. Tujuannya: semua anggota tim harus dibuat sama-sama paham bahwa platform kita sedang terbakar. Harapannya, keputusan organisasi bisa dipahami oleh sebagian besar orang.

Bila keputusannya adalah lompat dari platform dan menaiki gelombang, kita perlu membawa perlengkapan yang diperlukan untuk memastikan kita tidak mati sebelum terselamatkan gelombang atau ditemukan petugas.

Dalam konteks organisasi, kita perlu menguatkan dan membangun kapasitas organisasi agar fondasi organisasi tetap kuat meskipun nanti akan melompat menuju perubahan baru tersebut.

Selanjutnya, kita tinggal menaiki gelombang serta sambil mencari peluang. Harapannya, kita bisa tiba di pesisir dengan selamat. Dengan kapasitas organisasi yang telah kuat karena telah ditempa gelombang ganas lautan lepas, organisasi kita bisa lebih kuat menyongsong perubahan.

Apa pun perubahan dan sebesar apa pun kekuatannya, organisasi bisa tetap kuat dan tidak karam bila orang-orangnya menuju arah yang sama. Itulah pentingnya #teamwork, #superteam, dan #leadership...

SuperTeam itu Harus Super

Beberapa waktu lalu, saya sempat bertemu seorang konsultan ISO asal Surabaya. Perawakannya tegak dan berbaju rapi khas konsultan. Bahasa Indonesianya bercampur bahasa Jawa Suroboyo-an, yang ya antik itu. Pak David namanya.

"Tugas ini siapa yang mengerjakan?" dia menatap tajam sambil melihat tugas yang sedang kami kerjakan.

"Semua orang Pak"

"Semua orang?" intonasinya lebih serius, lalu menyeringai.

"Ya, budaya kami memang gotong royong Pak"

"Gotong royong itu bagus. Tapi bisa jadi tidak efektif. Untuk organisasi modern, kurang efektif itu Pak" jawabnya.

"Itu mirip dengan "Story of Somebody".

"Story of Somebody di luar sana, maksudnya Pak?"

"Bukan" sergahnya tegas lalu menunjukkan cerita di bawah ini.

Story of Somebody

This is a story about four people named Everybody, Somebody, Anybody and Nobody. There was an important job to be done and Everybody was sure that Somebody would do it. Anybody could have done it, but Nobody did it. Somebody got angry about that, because it was Everybody’s job. Everybody thought Anybody could do it, but Nobody realized that Everybody wouldn’t do it. It ended up that Everybody blamed Somebody when Nobody did what Anybody could have.

Saya pun mencoba menerjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Indonesia.

Inilah kisah tentang empat orang. Masing-masing bernama: Setiap-orang, Seseorang, Sembarang-orang, dan Tak-seorang-pun. Ada tugas penting yang perlu dituntaskan dan Setiap-orang yakin Seseorang akan melakukannya. Sembarang-orang bisa melakukannya, tetapi Tak-seorang-pun melakukannya. Seseorang marah akibat kondisi itu karena itu memang tugas Setiap-orang. Setiap-orang merasa bahwa Sembarang-orang bisa melakukannya. Namun, Tak-seorang-pun sadar bahwa Setiap-orang tidak akan melakukannya. Akhirnya, Setiap-orang menyalahkan Seseorang saat Tak-seorang-pun melakukan apa yang semestinya bisa dilakukan Sembarang-Orang.

Apa maksud cerita ini?

CMIIW, cerita ini mengingatkan para manajer atau orang-orang di organisasi bahwa gotong royong itu kadang tidak efektif diterapkan di dalam organisasi, baik itu organisasi laba, nirlaba, maupun sosial.

Apa sebab?

Karena tidak ada pembagian tugas yang jelas, sehingga "Setiap-orang yakin Seseorang akan melakukannya." Namun, tidak ada yang melakukan tugas itu. Tugas itu terbengkalai dan akhirnya semua orang saling mencari kambing hitam.

Solusi?

Harus ada pembagian tugas yang jelas. Harus ada spesifikasi tugas alias planning, harus ada sumber daya (organizing), harus ada proses dan deadline penyelesaian tugas (actuating), dan harus ada pengawasan dan evaluasi atas efektivitas tugas yang dikerjakan (controlling).

Hehehehe, saya jadi merasa tersindir sendiri. 


Photo by Josh Calabrese on Unsplash

Jadi, SuperTeam pun harus jelas pembagian tugasnya agar superteam harus tetap super. Super dalam perencanaan, super dalam pengorganisasian, super dalam eksekusi, dan super dalam pengawasan.

 

 


kenanganmu di dalam hatiku, abadi

Saat pulang kembali ke Malang pagi ini, maaf Bu, aku terburu-buru sekali. Aku tak sempat berpamitan kepadamu. Air mataku tak lagi bisa kutahan. Hendak tumpah rasanya. Tak bisa kuperlihatkan air mataku yang membanjir kepada Kiki dan Prapto, serta Bapak. Aku tak bisa melihat mereka sedih melihatku dilingkupi kegelapan. Diratapi muram.

Rasanya, aku kehilangan arah Bu. Aku tersesat. Aku melanglang jauh, lalu kini tak tahu harus pulang ke mana.

Saat berada di dapur sebelum berangkat, engkau masih kulihat sedang menyalakan api tungku dan membuatku minuman hangat. Aku melihatmu menanak nasi dan menyiapkan lauk agar aku tak lapar saat dalam perjalanan pulang, seperti biasanya.

“Bawao nasi juga” perintahmu. “Kenapa harus terburu-buru pulang. Belum tuntas rasanya bertemu dan berbincang” kau tanyakan lagi benarkah aku hendak pulang sekarang.

“Aku akan kembali ke sini lagi Bu.” Jawabku. “Anak-anak harus sekolah dan aku juga harus bekerja. Nanti aku akan menginap lebih lama.”

Dan aku telah menginap lebih lama, 10 malam, Bu. Namun, engkau sudah tidur dan terlelap. Engkau sudah berbahagia. Engkau tersenyum. Aku bahagia atas kebahagiaanmu, tetapi aku rindu suaramu. Rindu kehadiranmu. Rindu perhatianmu. Rindu masakanmu. Dan rindu semua hal tentangmu.

Kau tahu, Bu. Rasanya, hatiku dipenuhi sesal karena tak banyak menghabiskan waktu bersamamu. Mendengarkan cerita-ceritamu yang meluncur deras. Banyak sekali pertanyaan yang sudah kusiapkan, tapi tak sempat kutanyakan. Kini, aku tak tahu harus bertanya kepada siapa lagi. Suara siapa lagi yang harus kudengarkan.

Saat pulang tadi pagi, rasanya hatiku dipenuhi berbagai pertanyaan dan perasaan aneh. Tak bisa kujabarkan dan tak bisa kujelaskan. Perasaanku berkecamuk. Rasa bersalah itu menyakitkan Bu.

Saat ayah dulu tidak ada, aku tak begitu merasakan dampaknya. Engkau melingkupi dan melindungiku dengan kedua sayapmu. Engkau tahan semua rasa sakit dan kebingungan. Engkau terima semua kepahitan.

Dan pagi ini Bu, sepanjang jalan, air mataku tumpah dan tak berhenti mengalir. Dadaku sesak. Pikiranku penuh, Bu. Bayangan tentangmu mengalir seperti air bah, dan rasanya aku ingin hanyut saja bersama kenangan-kenangan itu.

“Siapa tahu akan bertemu denganmu di hilir sana?” ujarku di dalam hati.

Segera kuenyahkan pikiran-pikiran itu. Engkau takkan senang, kuyakin. Engkau mendidikku bukan sebagai orang yang mudah kalah. Engkau mengajariku tentang keteguhan karang, tentang menahan rasa sakit, dan tentang berbagi rasa suka.

Engkau mengajariku harapan. Engkau mengajariku berjuang. Engkau mengajariku mencintai dengan tulus dan gagah berani.

Dan cukuplah kenangan tentangmu menyinari jalanku menerjang jurang gelap kesedihan. Dan menjaga kedua adik, sebagaimana pesan-pesanmu.

Aku mencintaimu Bu... dan akan terus hidup dengan semua kenangan baik tentangmu.

 

 


kutemukan dirimu di mana-mana

kutemukan dirimu di mana-mana

kini engkau pergi
tapi kutemukanmu di mana-mana,

di rumah tetangga tempatmu sesekali merebahkan badan
dan berbincang setelah lelah bekerja seharian;

di tengah riuh suara ayam yang engkau beri pakan,
saat pagi datang atau sore menjelang.

kini engkau lenyap
tapi kutemukanmu di mana-mana,

di butiran air mata yang menguap karena kutahan,
di genangan kenangan yang kujalin dan kurajut perlahan.

di dalam hati orang-orang yang masih terkenang,
ujar mereka, ibumu tak pernah merepotkan dan tak pernah jadi beban.

kini aku tak harus pulang ke mana-mana,
karena di hatiku engkau bersemayam.

tidurlah Bu, tidurlah dalam keabadian,
aku akan merindukanmu melebihi yang sudah-sudah.

tidurlah Bu, tidurlah dalam tenang,
kita dulu berdua saja, dan kini engkau sudah bersama mereka.

mampirlah sejenak di hatiku,
sentuh agar hatiku bisa setulus dan setenang dirimu.

kini engkau pergi
tapi kutemukanmu di mana-mana.


Kado Terbaik bagi Seorang Teman

Saat sepuluh hari lalu, Mas Dwi menyampaikan undangan pernikahan yang indah melalui situs web, senyumku langsung tersungging. Hati semringah dengan kabar bahagia dari salah satu teman baik semasa kuliah S2 di UMM ini. Sudah beberapa tahun, Mas Dwi menjalin hubungan dengan Lita. Dan ketika pada akhirnya pernikahan ini akan dilangsungkan, tak ada kata selain bahagia yang mengiringi.

Ternyata, teman sekelas lain juga dihubungi melalui jalur pribadi. Satu per satu.

Meskipun kemudian kami berkumpul dalam satu grup WA untuk membahas apakah teman-teman akan hadir dan bagaimana caranya, sebagian besar ternyata berhalangan.

Bisa dimaklumi. Setelah lulus dari UMM tahun 2019, kami otomatis terpencar dengan mimpi masing-masing yang perlu ditunaikan. Kehidupan masing-masing yang harus dijalani.

Sebagian besar ingin menitipkan kado bila ada salah seorang yang akan ke sana. Masalahnya, siapa yang akan ke sana?

Kemungkinan besar: Tidak ada.

Kado Terindah

Ketika Mbak Herlin bertanya, apakah ada jalur pribadi untuk mengirim kado. Mas Dwi membalas singkat “Yaah padahal pengen kalean dateng biar reoni skalian.” Tidak ada balasan lain lagi.

Kalimat ini mengingatkanku pada frasa bahasa Inggris ““Your presence is the best gift you can give me.”

Singkat dan padat. Seakan-akan Mas Dwi hendak bilang “Kado itu penting, tapi yang terpenting adalah kado kehadiran, terutama untuk momen ini. Momen pernikahan ini. Kado ini tak ada penggantinya.”

Kalimat itu menusuk inti jantung. Terbayang kemudian adegan-adegan kocak saat kami makan tahu telur dengan terburu-buru di belakang kampus dulu karena khawatir ketinggalan mata kuliah. Meskipun pedas dan panas, kami percepat makannya.

Setelah balik ke kelas, ternyata dosen kami tidak datang. Dan kami tertawa terbahak-bahak.

Dan dia ingin kami hadir semua. Hadir dengan semua kenangan itu. Bercanda seperti dulu. Berfoto-foto gak karu-karuan seperti dulu. Di lift, di tepi sungai, di tepi danau, di lokasi seminar, atau bahkan di warung.

Dia ingin kami HADIR.

Dan pagi ini, kutegaskan tekad dan komitmen untuk datang dan hadir pada acara pernikahannya.  

Google Maps Saja

Bagaimana cara menuju Bapra Pasmar 2 di Sidoarjo, venue pernikahan keduanya?

Google Maps saja, pikirku.

Semuanya terasa mulus sampai saat mau keluar dari rumah. Ada truk penyedot Tinja berwarna hijau menghalangi sehingga mobil kami tidak bisa lewat. Dua puluh menit rasanya kami harus menunggu sambil sesekali harus mencium bau semerbak yang terbawa angin pagi. Duh.

Setelah truk menyingkir, kami pun lewat. Sudah pukul 10 dan kami masih di rumah, sementara acara pernikahan dimulai pukul 10 dan diakhiri pukul 13.

Kami pun bergegas menuju pintu tol Lawang menuju pintu Tol Krian dengan berbekal petunjuk suara dan gambar dari Google Maps. Namun, Maps di hape ternyata nonaktif. Karena tak kunjung bersuara, kuikuti saja arus kendaraan. Dan kami tersesat. Kami bingung karena masuk ke perumahan pondok jati. 

Khawatir juga ada polisi yang menilang kami. Ternyata tidak.

Setelah bertanya jalan dan berganti menggunakan tablet istri, si Mbak Google bersuara lagi. Dan perjalanan kami lancar. Ada pelajaran yang kami petik: Kami hanya perlu percaya pada niat baik, dan jalan akan dibukakan oleh yang Maha Kuasa, via Google Maps.



Bapra Pasmar

Sesampainya di gedung pernikahan di Bapra Pasmar, suara band pengiring mengalun merdu. Terlihat di kejauhan sana Mas Dwi menabuh drum dan didampingi sang mempelai. Kulambaikan tangan berkali-kali tapi rupanya tak terlihat.

Akhirnya, kami sekeluarga menikmati suguhan yang disediakan. Sambil makan, terdengar Mas Dwi yang menyanyi bersama sang mempelai. Suasana penuh kebahagiaan menguar dari wajah keduanya dan keluarga yang ikut berbahagia. Suasana yang mudah-mudahan bertahan sampai lama. Sampai tua dan nyawa tiada.

Kulambaikan tangan lagi sambil membuka masker. Wajahnya semringah saat melihatku. Senyum tersungging lebar. Rasanya, Mas Dwi hendak loncat dari pelaminan untuk menyambut kami. Bila tak ada orang yang mengantre untuk berfoto, rasanya dia akan langsung loncat.

Setelah mengantre untuk berfoto, akhirnya kami maju dan bersalaman.

“Sendirian Pak Anton?”

“Mau sendirian atau bareng-bareng, aku hadir Mas. Tak bawa istri dan anak-anakku sebagai pengganti teman-teman sekelas.”

Kami pun berfoto.

Kebahagiaan itu menular. Kami tersenyum dan berdendang kidung cinta sepanjang perjalanan pulang. Ada komitmen yang terukir. Ada janji yang terpatri. Dan ada kebahagiaan yang meluber ke mana-mana.

Doa kami, sebagaimana doa teman-teman kelas yang lain:

“Semoga keluarga Mas Dwi dan Mbak Lita sakinah, mawaddah wa rahmah. Menjadi tim yang kompak sambil menyongsong masa depan” Aamin.