Panggil Aku Lam Saja (Hikayat Sebuah Nama)*

Laki-laki paruh baya itu agak tergopoh-gopoh. Nafasnya tersengal-sengal. Sesungging senyum tergurat di wajahnya yang tampak lelah, tetapi tetap sumringah. Barisan gigi depan yang hendak tanggal dan menguning karena asap rokok tak mengurangi lebar senyumnya. Disapanya semua orang di jalan. Tak perlu beribu analisis, dia jelas sedang bahagia saja.

Dia mendapatkan anugerah terindah: anak ketiganya lahir. Memang tidak seharu kala anak pertamanya lahir, tetapi tetap saja itu luar biasa. Anugerah besar.

Laiknya kebiasaannya selama ini, dia menuju rumah salah seorang pemuka agama. Ustad Thalib namanya. Dia hendak memohon agar beliau berkenan memberikan nama untuk anak ketiganya.

Berbekal kitab dan pengetahuannya selama belajar di pondok bertahun-tahun, Ustad Thalib memberinya nama “Syaiful Islam”. Nama adalah doa, dan begitulah yang diharapkan ustad Thalib dan orang tua bayi itu. Tak ada orang tua yang menginginkan keburukan bagi anaknya, demikian juga yang diinginkan ustad Thalib.


Waktu pun bergulir tanpa menunggu siapa-siapa. Dan seperti sudah tergariskan, anak itu tumbuh semakin dewasa. Semakin besar keinginannya untuk menjelajah. Dia begitu bahagia dengan nama itu. Nama yang indah beserta harapan dan doa yang melingkupinya.

Namun, seiring laju waktu yang tak bisa dihentikan, ada satu hal yang semakin hari semakin berkurang. Keceriaannya dan senyumannya yang merekah indah perlahan memudar.

Rasa-rasanya itu dimulai ketika namanya diubah. Serampangan. Tanpa dikonfirmasi dan ditanyai, dia harus takluk pada tradisi dan asumsi masyarakat sekitar. Kakak pertamanya yang bernama Sugianto diubah namanya menjadi Sito. Kakak perempuannya bernama Zulaiha, lalu lantas diganti menjadi Siha. Dan Syaiful Islam, entah oleh siapa tepatnya, diganti menjadi Silam.

Semenjak saat itu, Syaiful Islam yang selalu ceria dengan senyum menawan itu seakan ‘mati’. Dia berubah menjadi Silam, yang pendiam dan suka menyendiri.

Aku masih ingat bibirnya yang berubah pucat saat namanya ‘Silam’ dipanggil untuk mengaji sesuai giliran. Masih jelas terekam di memoriku matanya yang sembap, saat dia tidak bisa mengaji. Pikirannya kalut. Entah karena nama yang tidak pernah disukainya itu dipanggil. Entah apa alasan tepatnya.

Masih terekam jelas di benakku saat dia menghindar dari kelompok kami karena tidak tahan menjadi bahan makian. Menjadi olokan. Dia pun tersudut dalam pergaulan.

“O dasar Silam” kata teman masa kecilku dulu kepadaku. Dan bahkan nama Silam menjadi semacam kata olokan baru di kampungku.

Hanya karena nama yang disematkan orang lain kepadanya, dia menderita. Dia kehilangan senyumannya. Musnah sebagian kebahagiaannya.

Lantas kubayangkan, seandainya namanya tetap Syaiful Islam, tak akan ada yang merendahkannya. Menghinanya sedemikian rupa. Senyumnya akan terus merekah.

Terlepas dari ‘beban tidak mengenakkan’ dari nama itu, dia tetap berusaha berteman dengan semuanya dan terus berbagi. Aku masih ingat saat dia masuk ke dalam kubangan besar di sungai untuk menangkap ikan. Setiap kali dia menyelam dan masuk, dia berhasil menangkap dua ikan dengan tangan kosong.

Tujuannya hanya agar semua temannya mendapatkan cukup ikan untuk dibawa pulang. Dan ketika semua mengakui betapa hebatnya Silam dalam menyelam dan menangkap ikan, dia tersenyum. Rasa-rasanya saat itu “Syaiful Islam” sudah kembali.

Tapi hal itu berlangsung sejenak saja. “Silam” kembali menjadi bahan olokan. Dan keceriaannya kembali menghilang.

Mungkin, hanya aku yang tidak memanggilnya sebagai Silam. Kupanggil dia “Lam” saja. Dan dia selalu tersenyum saat aku memanggilnya begitu. Aku tahu bahwa tidak semua orang senang dan bahagia dengan namanya. Beberapa nama, seberapa pun bagusnya, kadang dipelesetkan sehingga menimbulkan trauma bagi penyandangnya.

Yang jelas dia menerimaku apa adanya, dan begitu juga aku. Dia mengajariku banyak hal, termasuk tentang persahabatan. Tentang menerima keadaan. Tentang tidak berhenti berbagi. Tentang menyimpan perih dan mengatasinya bersama-sama.

Suatu ketika aku mengajaknya untuk menanam tembakau di sawah. Lalu, seusai bekerja, ayahku memberinya uang. Matanya sembap. Dan seperti biasanya, tak banyak yang dikatakannya.

“Terima kasih Lam, sudah membantu kami” ucapku dalam bahasa Madura selama perjalanan pulang. Dia mendongakkan wajah. Mungkin dia menahan agar air matanya tidak tumpah.

“Panggil aku Lam saja” ucapnya di akhir waktu.

“Aku akan memanggilmu Lam saja” ikrarku dalam hati. “Sesuai keinginanmu”

*Terinspirasi kisah nyata.

Hentikan Mengasihani, Bangkitlah Berdiri

Subuh tadi aku terlambat. Sudah sering terlambat sebenarnya. Tapi pagi ini terlalu. Saat ruku rokaat kedua, aku baru sampai. Napas tersengal-sengal. Wajahnya memerah. Dada kembang kempis. Sebabnya, aku harus berlarian agar dapat mengikuti jamaah sholat subuh.

Saking terburu-burunya, aku lupa membawa uang. Padahal sehari sebelumnya aku berencana membeli sekadar kerupuk atau gorengan pada tukang sayur yang sudah mengajariku banyak pelajaran kehidupan itu. Setidaknya, rasa bersalahku akibat tidak ikut mengejar kucing bisa sedikit terobati. Tetapi apa mau dikata, aku lupa.

Setelah kupikir-pikir ini skenario Allah (bukan yang bagian aku telat sholat ya, tetapi yang bagian aku lupa membawa uang). Bagaimana pun si tukang sayur ini sudah kehilangan ayamnya, dan dia sudah tegar menerima kehilangan itu. Sudah mengikhlaskannya. Selesai. Dia pun sudah kembali bangkit dengan menjadi pribadi yang lebih baik (agak lebay juga sih bagian yang dibuat miring ini).

Setelah keluar dari masjid, dia tidak langsung berangkat jualan. Rupanya dia menunggu jamaah bapak-bapak dan ibu-ibu turun dulu. Beberapa di antaranya membeli kerupuk, sayur, atau lauk. Strategi dan cara yang baik menurutku.

Setelah mengaitkan tindakannya dengan uraian salah satu ustadz kondang, bukankah memang begitu umat Islam itu terdahulu. Masjid dan pasar adalah dua entitas yang berdekatan. Masjid membangun sisi keagamaan, budaya, politik, dan pendidikan, sementara pasar membangun lingkungan sosial dan meningkatkan perekonomian.

Selain itu, si tukang sayur ini juga terlihat tegar dan penuh senyum optimis. Bajunya kulihat rapi. Rambutnya yang bergelombang terlihat klimis. Tak kulihat sekalipun wajah lesu dan tatapan memelas.

Bagaimana aku bisa mengasihani orang sekuat itu? Setegar itu?
Aku lantas mengutuk diriku sendiri. Tindakanku. Asumsiku. Bukankah memang tidak patut mengasihani orang yang lebih kuat daripada diri kita? Menasihati sabar kepada orang yang lebih ikhlas daripada kita?

Mungkin juga ini bahasa universal atau bahasa pertanda yang Allah kirimkan kepadaku. Satu pelajaran penting lagi pagi ini, yaitu berhentilah mengasihani dan mengutuk diri sendiri. Kesalahan sudah terjadi. Badai sudah berlalu. Dan aku sudah mencoba memperbaikinya. Setelah maksimal, ikhlaskanlah. Terimalah. Dan berdirilah lebih kokoh. Lalu, tataplah matahari pagi dengan penuh semangat dan optimisme tinggi.

Kesalahan adalah pembelajaran, yang membuatku menyadari kelemahan, dan mulai belajar berdamai dengan diri. Menyitir kata Tere Liye, “Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.”


Belajar dari tukang sayur, bukankah ayam yang hilang tidak pernah membenci kucing garong? Dia membiarkan dirinya dicuri begitu saja, tanpa perlawanan dan tanpa paksaan J...


Part 1: Tukang Sayur yang Menceramahiku Subuh Tadi

Part 2: Mengikhlaskan Kehilangan

Mengikhlaskan Kehilangan

Subuh tadi rombong sayur itu berada di posisi semula. Sepertinya tak beranjak. Seakan-akan si tukang sayur tak menjajakan sayur dan lauk-pauk. Posisinya mungkin hanya berbeda sekian derajat dari posisi malam kemarin.

Tebakanku ternyata salah. Kukira dia akan kapok sholat subuh di masjid An Nur. Dia memilih masjid lain, yang populasi kucing liarnya tak begitu banyak. Yang kucing-kucingnya sudah “hijrah” dan jadi lebih jinak.

Saat aku datang, si pedagang sayur sedang membenarkan posisi berdirinya. Sementara itu, bacaan surat imam hampir habis, dia mengangkat tangan, dan membaca takbir. Aku hampir telat, karena sibuk memperhatikan si tukang sayur ini.

Sholat subuh kemudian berlalu, denganku yang sepanjang sholat memikirkan dan mengagumi si tukang sayur (hah jadi ketahuan kalo sholatnya nggak khusu’ banget).

Seusai salam dia bergegas. Demikian juga aku, yang semenjak kemarin dilanda rasa penasaran tingkat dewa. Pakaiannya masih mirip seperti sehari sebelumnya. Tak ada yang berubah. Tetapi dia lebih tenang saat memasang kaos kaki dan sepatu. Seakan tak pernah terjadi apa-apa. Dan sepengetahuanku memang tidak ada kucing lagi yang loncat dari rombongnya.

Aku jadi yakin. Ketika mengejar kucing yang mencuri dagangannya kemarin, dia tak hendak mengejar dunia yang hilang. Dia tidak cinta dunia secara berlebihan. Bila dia cinta dagangan atau cinta dunia secara berlebihan, dia tidak akan sholat subuh di sini. Atau mungkin tidak sholat subuh sama sekali. Tetapi dia kembali. Ke tempat semula. Ke posisi semula. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Dia hanya mengupayakan yang terbaik. Berusaha maksimal. Dia tidak mengejar kucing, tetapi dia berusaha menjaga rezeki dan amanah. Dan ketika itu hilang, dia tenang dan bertawakal. Sebab, ikhtiarnya sudah maksimal. Tidak lantas menyalahkan siapa-siapa. Tidak menyalahkan pemerintah yang lalai menjaga kesejahteraan hewan. Tidak juga menyalahkan takmir yang tidak menyediakan jasa keamanan.

Ah, dia mengajariku satu pelajaran lagi pagi ini. Pelajaran hidup yang penting.
Karena hari-hari ini banyak sekali orang meninggal di sekeliling rumah, mau-tak-mau itu juga membuatku mengaitkannya dengan kehilangan kehidupan alias kematian. Ada yang menyesali kematian seseorang. Ada yang meratapi. Ada yang tegar, tetapi rasa kehilangannya begitu dalam.

Itu juga yang menyeruak dari pikiran saat kubaca selarik puisi berjudul sidikjari yang ditulis Gus Mus alias KH Ahmad Musthofa Bisri.

Di bawah puisinya:
sidikjari
di sini
sidikjarimu ada
di mana-mana
ada di daun pintu
ada di jendela
ada di seantero
ruang ini
maka alibimu
tak bisa diterima
kau tak mungkin
di tempat lain

Puisi di atas, dan tukang sayur yang dua hari ini menganggu pikiranku mengajariku tentang cara mengatasi kehilangan. Caranya adalah mengikhlaskannya. Ketika mengikhlaskan kehilangan, aku tidak akan kehilangan apa-apa.


Sebab sejatinya aku juga tidak punya apa-apa, dan bukan siapa-siapa.

andai kau tahu - puisi

andai kau tahu - puisi

andai kau tahu
aku hanya sekilas sinar yang sejenak kan berarak pergi

andai kau tahu
aku hanya sayap-sayap kecil yang meranggas disengat mentari pagi

andai kau tahu
aku hanya embun-embun di dedaunan yang beringsut lenyap

tetapkah kau mencintaku seperti ini
sebesar ini
setulus ini

karena padamu aku begitu

malang, 26 juni 2016

Tukang Sayur yang Menceramahiku Subuh Tadi

Tak ada yang istimewa sebenarnya, malah terlihat agak kurang pantas. Dia menggunakan celana jeans pensil. Berkaos oblong, ditutup jaket tebal berwarna agak usang, dan bertopi rajut. Busana yang lebih cocok dipakai mendaki gunung.

Kulitnya agak gelap. Tingginya mungkin sebelas dua belas denganku. Atau mungkin lebih pendek. Senyumnya lebar bila kau mau tahu. Dan dia selalu ada di depan masjid setiap subuh. Kadang dia merapikan dagangan sayurnya. Kadang mengencangkan tali kerupuk yang dibungkus plastik. Ada saja yang selalu dilakukannya terkait dagangannya itu.

Bila kuperhatikan dia buru-buru naik ke masjid setelah alfatihah rokaat pertama selesai dibacakan. Sering seperti itu, dan itu sukses membuatku bertanya-tanya.

Pagi ini aku menemukan jawabannya. Seusai sholat subuh, pedagang sayur keliling langsung turun dari masjid.
Sejenak kemudian, aku juga keluar dari masjid. Dia tampak terburu-buru memasang kaos kaki dan sepatunya yang berwarna hitam pudar.

Brukk, ada kucing belang hitam-putih yang loncat dari sepedanya. Membawa satu kantong ayam. Dia terkesiap, dan terlihat bingung. Dia melihatku sejenak, lalu melihat dagangannya lagi. Tak perlu waktu lama, dia lantas mengejar kucing itu. Derap larinya kencang.

Dia menuju sisi samping masjid. Lalu loncat menuju arah lari kucing itu. Ke pematang sawah yang masih gelap dan basah oleh embun pagi. Aku hanya terdiam. Mematung. Tak tahu juga apa yang harus kulakukan.

Aku lantas beringsut. Berjalan sendirian ke rumah. Di sepanjang jalan, kusesali tindakanku tidak membantunya mengejar kucing itu. Tidak membantunya mendapatkan kembali dagangannya.

Aku tersadar betapa banyak hal yang sudah dikorbankannya untuk sholat subuh. Kemalasan yang dia kalahkan setiap hari. Kesulitannya yang harus melepas dan memasang lagi kaos kaki dan sepatu, serta atributnya yang lain. Dan dagangannya. Hartanya. Mungkin sepanjang sholat, dia tidak khusyu. Dia memikirkan kucing-kucing liar yang mungkin memakan dagangannya. Atau mungkin orang nakal, yang mencuri sayur dan lauk pauk yang dia jajakan.

Tetapi dia mengenyahkan semua ketakutan itu. Dia tetap sholat subuh setiap hari.

Sementara itu, tekad ibadahku, yang tidak mengalami kesulitan sepelik itu, dikalahkan hangat bantal. Godaan mimpi. Mesra lamunan. Atau setumpuk pekerjaan.

Tukang sayur itu betul-betul sukses menceramahiku di subuh sedingin ini. Dan aku betul-betul malu dibuatnya.

Part 2: Mengikhlaskan Kehilangan
Part 3: Hentikan Mengasihani Bangkitlah Berdiri

Menanti yang Pantas Dinanti - Resensi Buku Hujan oleh Tere Liye

Awalnya saya mengira novel ini akan berkisar masa-masa kelam, yang berbalut persahabatan, pengkhianatan, kesetiaan, kesedihan, dan waktu yang mengkhianati kedua pasang insan. Atau mungkin akan seputar cinta yang bertepuk sebelah tangan. Atau mungkin penantian yang berakhir penuh kekecewaan.

Ternyata saya keliru. Novel ini bukan tentang itu.

Novel Hujan ini berlatar dunia pada tahun 2040-2050-an. Dunia teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Seiring dengan kemajuan itu, muncul masalah-masalah genting akibat keserakahan manusia, yang akhirnya berdampak pada rusaknya lingkungan.

Cerita ini bermula dari Lail, yang ingin memusnahkan memorinya secara selektif. Dia ingin menghapus memori-memori gelapnya tentang hujan, yang selalu datang pada momen-momen penting dalam hidupnya. Terutama memori tentang Esok, sosok yang dicintainya dalam diam, dan ditunggunya hingga sekian tahun.

Dia lalu mendatangi Pusat Saraf Otak, yang membuatnya bertemu fasilitator terapi yang bernama Elijah di sebuah ruangan terapi. Ketika ditanya tentang apa yang ingin dihapusnya, Lail berkata mantap.

Hujan.

Namun, untuk menghapus ingatan itu, Lail harus bercerita secara detail tentang semua memorinya. Semua kisahnya. Semua kesedihannya.

Begitulah novel ini dimulai. Kita pun lalu diseret menuju masa lalu Lail, tepatnya delapan tahun sebelumnya. Tanggal 21 Mei 2042. Pada saat itu, lahirlah bayi kesepuluh miliar ke dunia. Bayangkan sepuluh miliar manusia.

Momen itu sebagaimana momen tonggak besar lain selalu mengejutkan banyak pihak. Masalah pertambahan penduduk yang seakan tak bisa dibendung, yang diikuti oleh kelangkaan sumber daya alam, serta keserakahan manusia lalu mendorong dunia mencari jalan keluar. Di tengah silang sengkarut perdebatan, alam menghadirkan solusinya sendiri.

Gunung purba meletus dahsyat. Suara letusannya terdengar hingga jarak 10.000 kilometer. Semburan material vulkaniknya mencapai 80 kilometer. Meluluhlantakkan apa saja dalam radius ratusan kilometer. Bukan letusannya yang menimbulkan masalah, tetapi efek lanjutannya. Tsunami, gempa, banjir, runtuhnya gedung-gedung pencakar langit, dan masih banyak lagi lainnya yang menyebabkan jatuhnya banyak korban. Hampir separuh bumi lumpuh. Hancur berkeping-keping.

Di antara para penyintas, ada Lail, tokoh utama dalam novel itu. Saat itu usianya menginjak tiga belas tahun. Dia hendak diantar ke sekolah oleh ibunya menggunakan kereta kapsul generasi terkini. Namun, naas hari itu ibunya menjadi salah satu korban meninggal.

Dia lalu mendadak sebatang kara dan kehilangan kedua orang tuanya. Tepat saat takdir merenggut kedua orang terkasihnya, Tuhan menghadirkan Esok. Bocah lelaki berusia lima belas tahun itu menyelamatkannya dari reruntuhan tangga kereta api bawah tanah.

Kelak, bocah laki-laki ramah, jenius luar biasa, dan baik itu akan menjadi sosok yang sangat penting dalam kisah hidupnya, serta hidup ribuan orang.

Demikian kisah dalam novel ini terus berlanjut. Berputar, lalu mengenalkan Lail pada Maryam, pada Ibu Suri, Claudia, Ibu Esok, dan banyak karakter lain.

Momen dari ruang bawah tanah di stasiun kereta api hingga momen ketika kapal raksasa bikinan Esok terbang meninggalkan bumi menciptakan peta ingatan yang bercampur, antara menyenangkan, netral, dan menyesakkan. Ingatan menyesakkan itulah yang membuat Lail nekat menuju Pusat Terapi Saraf. Tujuannya: menghapus ingatan, harapan, dan cinta yang dipendamnya begitu lamanya kepada Esok. Dan semua itu terjadi saat hujan.

Begitulah kisah penantian dan cinta yang tak terkatakan ini dibungkus dalam novel setebal 300-an halaman ini. Kisahnya berjalan dengan tempo lambat, tidak seperti negeri para bedebah misalnya. Tetapi tetap asyik diikuti. Istilah-istilah ilmiahnya juga tidak begitu sulit, sehingga pembaca dengan pengetahuan ilmiah pas-pasan seperti saya pun tidak mengalami kesulitan mencernanya.

Menurut saya yang juga mengikuti halaman Facebook penulis kondang ini, nilai moralnya adalah: penantian yang diisi dengan peningkatan kualitas diri, bukan kegalauan tanpa henti, akan memberikan hasil yang manis. Akhir yang bahagia.

Tak banyak kesalahan ketik di dalam novel bersampul biru dengan tetesan hujan ini. Mungkin hanya satu atau dua. Itu pun tidak dalam kategori mengganggu.

Yang mengganggu saya hanya: Benarkah kita tidak boleh jatuh cinta saat hujan?

Sumber: mynovotravel.blogspot.com
Data buku:
Judul: Hujan

Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Januari 2016
Tebal : 320 halaman
Ukuran : 13,5 x 20 cm
Cover : Softcover

Menebus Dosa Masa Lalu – Resensi Buku The Kite Runner by Khaled Hosseini

Persahabatan, pengkhianatan, rasa bersalah, dan penebusan dosa adalah empat kata dasar yang membungkus keseluruhan kisah yang disajikan secara ciamik oleh penulis Afghanistan – Amerika ini. Seperti judulnya, buku ini awalnya berkisah tentang dua sahabat, yang hobi mengadu dan mengejar layang-layang putus di sekitar Kabul, ibukota Afghanistan.

Amir dan Hassan adalah nama dari kedua sahabat itu, yang menyusu dari ibu yang sama, besar bersama, dan tinggal di kompleks tempat tinggal yang sama. Meskipun keduanya besar layaknya saudara, keduanya berbeda nasib. Amir adalah anak dari si empunya rumah, sementara Hassan adalah anak dari Ali yang bekerja sebagai pelayan bagi keluarga Amir.

Meskipun anak tunggal, Amir merasa menjadi anak laki-laki yang gagal. Tidak pernah berhasil menjadi anak laki-laki yang semestinya. Yang sesuai harapan ayahnya. Saat semua anak asyik dan piawai bermain sepakbola, Amir bukan hanya tidak bisa. Dia bahkan jarang mendapatkan suplai bola. Dia tidak pernah dipercaya oleh teman-teman sepermainannya.
sumber: www.getscoop.com

Padahal ayah Amir sendiri adalah mantan jagoan sepakbola. Selain itu, dia juga punya sentuhan ajaib. Apa pun bisa diubah sesuai keinginan. Mendapati fakta itu, dan fakta bahwa sang ayah selalu kecewa karena Amir gagal mengikuti jejaknya membuat si Amir kecil semakin terpuruk. Semakin tertekan. Dan semakin sering menyendiri.

Untunglah, pada momen-momen itu ada Hassan. Hassan adalah sahabat, yang lebih dari sekadar sahabat biasa. Dia menjadi curahan hati Amir ketika kecewa. Menjadi pendengar cerita-cerita yang dibacakan atau dikarang Amir sendiri. Dia mau-mau saja menjadi pelampiasan kemarahan. Apa pun yang dilakukan Amir, dia tidak bergeming. Tetap menganggap Amir sebagai sahabat terbaiknya.

Tibalah akhirnya mereka berdua pada suatu momen, yang memungkinkan Amir membalik putaran nasibnya. Membuatnya bisa memenangkan kasih sayang dan cinta dari ayahnya, yang sudah begitu lama diidam-idamkannya. Momen itu adalah turnamen adu layang-layang dan mengejar layang-layang terakhir yang putus. Acara itu merupakan acara bergengsi di lingkungannya. Amir dengan dukungan Hassan lantas percaya diri bisa memenangkan turnamen layang-layang akbar itu.

Dalam adu layang-layang, Amir--setelah berupaya sangat keras--berhasil menjadi kontestan terakhir. Artinya, dia menjadi pemenang. Untuk melengkapi prestasinya sebagai pemenang, dia harus mendapatkan layang-layang yang terakhir dikalahkannya itu. Hassan –yang sangat cakap mengejar layang-layang—lantas menawarkan diri untuk itu.

Amir lantas mengiyakannya. Hassan pun mengejar layang-layang putus itu. Ketika layang-layang itu akhirnya berhasil diraih oleh Hassan, datanglah sekelompok anak nakal yang diketuai Assef, yang memiliki dendam kesumat kepada keduanya. Mereka memaksa untuk meminta layang-layang terakhir itu, yang ditampik langsung oleh Hassan. Dipenuhi amarah, gerombolan itu lantas menyiksa Hassan, secara verbal dan seksual.

Amir yang menyaksikan 'pemerkosaan' itu dari kejauhan tidak berbuat apa-apa. Dia terombang-ambing antara dua pilihan: mendapatkan kasih sayang sang ayah atau menyelamatkan sahabat. Amir pun mengambil keputusan pertama. Dia tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Hassan.

Dan betul memang, menjadi juara adu layang-layang dan mendapatkan layang-layang terakhir membuat perlakuan ayahnya berubah. Dia mulai mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan cinta dari ayahnya.

Meskipun begitu, di sisi terdalam lubuk hatinya, dia merasa bersalah. Bersalah sekali. Pengkhianatan yang dia lakukan itu selalu menghantuinya seumur hidup. Bahkan membuatnya insomnia. Keputusan itu selalu disesalinya. Selalu membuatnya jijik pada diri sendiri.

Tak sanggup menanggung beban bersalah, Amir menciptakan skenario bahwa Hassan mencuri uang dan arloji hasil ulang tahunnya. Hassan dan Ali pun terusir dari rumah itu.

Setelah sejenak berlalu, Afghanistan diterjang perang antara Uni Soviet dan Mujahiddin yang diback-up Amerika. Amir dan ayahnya mengungsi ke Amerika, sementara Hassan dan ayahnya tetap tinggal di Afghanistan.

Itulah isi separuh buku awal. Separuh buku berikutnya bercerita tentang perjuangan Amir dan ayahnya di Amerika. Juga hubungan mereka berdua yang perlahan membaik. Amir pun mengejar cita-citanya menjadi penulis. Dan tak dinyana-nyana, sang ayah mulai bangga dengan pilihan anaknya itu. Di tengah suasana bahagia itu, Amir menikah. Sementara itu, sang ayah mulai sakit-sakitan. Amir dan istrinya merawat sang ayah, yang kemudian meninggal dengan bahagia.

Sampai ketika titik di mana dia merasa semuanya sempurna, masalah mulai muncul. Sang istri tak kunjung dianugerahi momongan. Di tengah kalut hati, ada telepon dari Rahim Khan yang merupakan sahabat ayahnya. 

Telepon itu akhirnya mengubah semua skenario kehidupan Amir. Telepon itu mendorongnya mendatangi Afghanistan yang dilanda prahara perang guna menebus dosa masa lalunya. Perjalanan itu mengubah pandangannya tentang sang ayah, tentang Hassan, tentang Sohrab. Dan yang terpenting, dia akhirnya bisa memaafkan dirinya sendiri.

Untuk sementara, sampai di sini saja ya review atau resensinya. Saya tidak akan meneruskan ceritanya. Sebab, buku ini terlalu sayang bila hanya dibaca ringkasannya atau resensinya saja. Dibalut diksi yang ciamik serta gaya bertutur yang asyik, buku ini layak dijadikan bahan perenungan. Bagi kita yang suka bercita-cita menegakkan Khilafah di Indonesia, buku ini layak diintip. Ya, sekadar melihat konflik sektarian dan perang yang tak kunjung reda melanda Afghanistan, negeri yang bercita-cita menegakkan Khilafah.

Bagi kita sebagai orang tua, ada banyak pelajaran penting tentang parenting yang bisa kita petik. Oh ya, menurut penulisnya, buku ini bercerita tentang hubungan ayah dan anaknya. Bukan tentang hubungan persahabatan.

Bagi kita yang berkalung dosa dan kesalahan masa lalu, buku ini menawarkan gagasan bahwa selalu ada jalan untuk menebusnya. Selalu ada cara untuk memaafkan diri kita. Selalu ada akhir bahagia bagi yang gigih berjuang.

Data buku:
Judul: The Kite Runner
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Qonita, Mizan
Terbit : Februari 2008
Tebal : 490 halaman
Ukuran : 13,5 x 20 cm

Cover : Softcover