Dari fajar hingga senja menjelang

“Aq sdh plg, izin tadi. Badanq pegel-pegel semua. Alhamdulillah Kira sdh agak mendingan. Tolong belikan obat demam yah yaa” hapeku berkedip sebentar, menunjukkan pesan WA yang dikirimkannya.

Kuraih segera hapeku, yang sejam lalu kuletakkan di sisi kanan meja. Kubaca sambil tersenyum simpul, membayangkannya mengucapkan itu semua secara langsung. Di depanku. Bibirnya lalu bergerak cepat dari satu kata ke kata lain. Suaranya yang manja setiap kali berbicara padaku. Matanya yang berbinar namun terus menjaga tatap dengan lekat-lekat. Seakan bila dia memejamkan mata, aku akan lenyap ditelan entah apa. Ya, itulah yang kubayangkan setiap kali membaca pesannya.

“Nanti aku mampir di apotek di sepanjang jalan. Akan kutahan rasa rindu yang sudah sedari tadi menderaku”

“Lho kenapa?”

“Karena sejak berangkat, rinduku sudah memberat. Menggantung di relung hatiku. Terekam jelas di kedua bola mataku. Sejatinya aku ingin segera pulang. Agar bisa kutuntaskan rinduku, dengan melihat senyummu”

“Masa? J

“Saat kau tersenyum setelah aku pulang dari tempat kerja, kau tahu aku membayangkan senja. Ya, senyummu seperti senja yang temaram saat sejenak kemudian akan ditelan malam. Aku selalu bagian itu. Langka. Memesona.”

“Aku tersipu-sipu. Jangan gitu” balasnya memotong pesan yang kukirim balik.

“Betul, kau tahu aku tak pandai berbohong. Aku selalu suka momen saat kau tersenyum, lalu meraih tanganku, menciumnya dengan penuh takzim. Seperti seusai akad. Kau menciumnya lama seakan tak percaya aku akan berani mempertaruhkan hampir semuanya tuk menikahimu”

“Iya memang” balasmu sambil menggunakan ikon wajah tersipu. Mungkin wajahmu memerah saat kau membacanya. Lalu mungkin kau mengingat kembali bagaimana laki-laki kurus yang bila ditabrak angin selatan akan ambruk itu berani melamarmu. Ya, laki-laki kurus itu mengenyahkan semua rasa takutnya. Dia kesampingkan semua kecemasannya. Demi melihat senja setiap pulang bekerja. Ya, senja pada kedua lipatan pipimu saat kau tersenyum itu.

“Kau tahu, senyum itu memberiku semangat tuk menutup mata malam harinya. Tak lagi kupernah takut tuk menutupnya karena takut mimpi buruk kan menelannya.”

“Di sampingku ada Kira. Aku malu. Sudah ah”

“Kau harus tahu. Aku tak pernah takut lagi tuk tertidur. Sebab kutahu, esok hari kan kulihat lagi senyummu. Merekah bersama fajar yang menguning. Menguar optimisme. Menebar harapan. Boleh kuminta sesuatu?”

“Apa?”

“Seandainya bisa, izinkan aku tuk membungkusnya barang sedetik saja esok hari. Lalu kubawa sebagai bekal bekerja. Cukuplah senyummu menjadi bekal tuk cerahkan hariku sepanjang hari”

“Iya sayang. Jangan lupa tolong belikan juga roti tawar, bayar BPJS, bayar listrik juga ya. Oh ya garam di dapur juga hampir habis. Kalo bisa sekalian mampir ke Indomaret apa Alfamart gitu ya?”

malang, 19 september 2017





   

Puisi Nothing Gold Can Stay oleh Robert Frost - Analisis dan Terjemahannya

Setelah membahas lebih dalam tentang Ozymandias, sekarang kita membahas puisi lain. Ada sedikit kemiripannya sih dengan puisi Ozymandias. Ya, puisi ini juga berkisah tentang kesempurnaan yang tak abadi. Bila puisi Ozymandias bercerita patung seekor Firaun, yang tak lagi lengkap. Yang tersisa hanya dua kaki, dan kepala yang terbenam.

Betul, puisi yang akan kita bahas kali ini adalah Nothing gold can stay.

Yuk kita simak puisi Nothing gold can stay tersebut serta terjemahannya:

Nature's first green is gold,
Her hardest hue to hold.
Her early leaf's a flower; 
But only so an hour.
Then leaf subsides to leaf,
So Eden sank to grief,
So dawn goes down to day
Nothing gold can stay. 
Emas adalah hijau pertama semesta,
Rona terpelik tuk dijaga.
Daun awalnya bunga; 
Tapi sejam kemudian.
Daun demi daun meranggas,
Dan Taman firdaus pun merana,
Fajar pun lenyap ditelan siang
Sempurna takkan bertahan selamanya. 

Puisi ini secara bentuk mirip dengan puisi A Minor Bird, yang bisa dibaca di sini. Baitnya berbentuk koplet dan rimanya terjaga sempurna. Seperti bisa kita baca pada versi bahasa Inggris, puisi ini menggunakan rima AABBCCDD. 



Diksinya pun menawan. Pendek-pendek tapi mengena. Pas sekali. Untuk urusan ini, saya selamanya kagum pada sosok penyair yang hidup selama berkecamuknya perang dunia ini. Kreatif tetapi tetap patuh pada kebiasaan penulisan puisi pada zamannya.

Dan seperti matahari yang selalu terbit dari barat, eh timur, Pak Robert Frost lagi-lagi menggunakan pendekatan naturalisme untuk menyampaikan ide-idenya. Maksud-maksudnya. Curahan hatinya.

Padahal, saat menerjemahkan puisi ini, saya kesulitan mencari kata-kata yang rimanya bisa terjaga tetapi maknanya tetap tersampaikan. Dengan kata lain, saya tak mampu "menerjemahkan puisi ini dengan cantik, dan setia pada makna aslinya". Sungguh saya tak mampu. 

Ya maklumlah, penerjemah sastra kacangan ya :). #Huff

Sekarang kita bahas makna dari puisi ini. Puisi ini dari awalnya hendak menyampaikan tentang indah, sempurna, masa muda, sehat, dan kaya takkan bertahan selamanya. Dia yang awalnya ganteng dan cantik jelita pada akhirnya akan berubah menjadi "buruk rupa" saat usia bertambah. Dia yang awalnya kaya raya dan mampu membeli segalanya akan tiba pada momen ketika tak bisa menggunakan kekayaannya.

Begitulah maknanya menurut saya. Coba kita kuliti satu per satu. Pertama-tama, hijau yang ada di semesta alam adalah emas. Emas adalah elemen yang terkuat. Meskipun terkubur lama, kilaunya tetap bertahan. Terjaga.

Lalu dari early green ini muncullah daun, yang berupa bunga. Indah luar biasa. Wanginya semerbak. Bentuknya menawan. Kuncupnya memikat. Namun, satu jam kemudian helai demi helainya meranggas. Meninggalkan tangkai dan jatuh ke tanah. Taman Firdaus pun merana menyaksikannya.

Tapi begitulah alam, dan hukum-hukum yang mendasari pergerakannya.

So dawn goes down to day
Fajar pun lenyap ditelan siang

Bahkan fajar yang terbentang di ufuk timur, yang menampakkan kemegahan dan keindahan, kebahagiaan dan optimisme, akan lenyap juga pada akhirnya. Ditelan siang. Keindahannya dikalahkan hangat mentari pagi, lalu berganti sengatan sinar matahari.

Ya, nothing gold can stay.

Saya pun mengamininya. Tak ada sempurna yang kan bertahan selamanya. Dan kita harus siap dengan segalanya. Segala konsekuensinya.

Saat kehidupan kita menanjak, kita harus siap turun mendadak. Saat bahagia menjelang, kita harus siap kesedihan kan datang. Saat naik jabatan, kita harus siap ditangkap KPK, eh turun jabatan maksud saya.

Demikian juga sebaliknya. Saat kita ditinggal, akan ada orang yang menggantikan. Saat gundah gulana, ada kebahagiaan yang kan menanti.

Rasa-rasanya, kandungan puisi ini mirip dan ya serupa dengan puisi kematian, yang ditulis Maulana Rumi. Silakan klik di sini.

Puisi Ozymandias karya Percy Bysshe Shelley - Terjemahan dan Analisisnya

Puisi Ozymandias ini adalah puisi paling terkenal karya Percy Bysshe Shelley. Banyak yang menyangsikan ihwal alasan yang melatari popularitasnya. Sebab, dari subjek yang dibahas, puisi ini dibilang tidak membahas sesuatu yang besar.

Yuk kita simak puisi serta terjemahannya.

I met a traveler from an antique land
Who said: “Two vast and trunkless legs of stone
Stand in the desert... Near them, on the sand,
Half sunk, a shattered visage lies, whose frown,
And wrinkled lip, and sneer of cold command,
Tell that its sculptor well those passions read
Which yet survive, stamped on these lifeless things,
The hand that mocked them, and the heart that fed:
Aku bertemu pengembara dari daratan kuno
Yang berkata: “Sepasang kaki batu besar tanpa badan
Berdiri di padang pasir... Di dekatnya, di atas pasir,
Terbenam separuh, wajah hancur terbentang, yang bibirnya berkerut
dan berkeriput, dan menyeringai dengan dingin,
Bilang pemahatnya, hasrat itu terbaca dengan baik
Masih bertahan, melekat erat pada benda tak bernyawa ini,
Tangan yang mencemooh, dan hati yang menyuapi:

And on the pedestal these words appear:
‘My name is Ozymandias, king of kings:
Look on my works, ye Mighty, and despair!’
Nothing beside remains. Round the decay
Of that colossal wreck, boundless and bare
The lone and level sands stretch far away.”
Dan di tumpuannya kata-kata ini muncul:
‘Namaku adalah Ozymandias, raja dari segala raja
Lihat karyaku, wahai Yang Perkasa, dan putus asa!’
Tidak ada yang tersisa. Di sekeliling reruntuhan 
Kehancuran besar, tak terbatas, dan hampa
Hanya hamparan pasir sejauh mata memandang.”

Puisi ini termasuk sonnet atau soneta, dengan metrik iambic pentameter. Menurut keterangan di Wikipedia, Shelley menulis puisi ini pada tahun 1817, setelah munculnya pengumuman tentang patung yang berhasil diperoleh oleh British Museum. Patung ini sendiri adalah patung penguasa Mesir alias Firaun yang bernama Ramesses II. Dia sendiri adalah Raja Mesir yang memerintah mulai 1279 sebelum Masehi hingga 1213 sebelum masehi.

Patung Ozymandias

Puisi ini sebenarnya memiliki kembaran, yang ditulis oleh Horace Smith. Judulnya pun sama. Mungkin muncul pertanyaan, kok puisi bisa punya kembaran?

Sebab, puisi ini ditulis oleh Shelley sebagai ajakan untuk berkompetisi. Yang diajak untuk berkompetisi siapa lagi kalo bukan sahabatnya yang bernama Horace Smith. Asyik juga ya. Berteman, tetapi bersaing dalam karya. Ya, mirip dengan proses kreatif puisi Road Not Travelled karya Robert Frost.

Apa sih isi dari puisi ini? 

Puisi bercerita tentang pertemuannya dengan seorang petualang yang baru datang dari Mesir. Si petualang lalu bercerita tentang patung manusia. Ada dua kaki namun badannya sudah tidak ada. Wajahnya tersungkur dan terbenam separuh. Dari kriteria wajah: 

Terbenam separuh, wajah hancur terbentang, yang bibirnya berkerut
dan berkeriput, dan menyeringai dengan dingin,

Bisa disimpulkan bahwa wajahnya menyiratkan wajah seorang raja. Seorang penguasa. Dan pemahat patung raksasa itu berhasil menyampaikan maksud sang raja. Si raja itu sendiri memiliki dua sifat yang saling bertentangan. Buruk di mulut, tetapi hatinya mulia. Tangan yang mengejek, dan hati yang memberi makan:

Di tumpuan patung itu terdapat sebuah prasasti, yang bertuliskan:
‘My name is Ozymandias, king of kings:
Look on my works, ye Mighty, and despair!’

Namun, itu bertentangan dengan yang sekarang tersisa. Sebab, tak ada lagi sisa kejayaan. Yang ada hanya reruntuhan. Sisa kehancuran maha besar, yang tak terbatas, dan terlihat hampa. Tak ada lagi kerajaan. Tak ada lagi karya, sebagaimana terpahat pada tumpuan yang menjadi prasasti tersebut. Dan karya yang tersisa kini hanyalah hamparan pasir yang membentang sejauh mata memandang.

Bagi saya, puisi ini mengingatkan pembacanya untuk tidak terlalu sombong. Seberapa pun besar dan megah karya yang kita hasilkan, bisa-bisa waktu akan merusaknya. Menghancurkannya perlahan. Akhirnya, karya kita hanya terpendam ke dalam tumpukan pasir. Pada akhirnya, kesombongan akan memakan karya kita menjadi omong kosong semata.

Jadilah Pemimpi atau Jadilah Pengeluh

Jadilah Pemimpi atau Jadilah Pengeluh - Jawabnya untuk menanggapi pertanyaan dan pernyataan berapi-api nan beruntun dari seorang mahasiswa yang bertempat tinggal di batas timur Indonesia. Mahasiswa itu memulai dengan paparan yang menggelitik tentang disparitas yang jauh antara wilayah Indonesia dan wilayah Timor Leste.

Salah satu teman kecil saya sudah menjadi menteri, sementara saya masih menjadi pengacara, pengangguran banyak acara. Grrr. Hampir semua hadirin tertawa. Tepuk tangan membahana.

Dia bercerita kalau anak-anak dari luar pulau Jawa sebenarnya otaknya cerdas. Terbatasnya fasilitas membuat mereka tidak berkembang. Bila pada saat kuliah diharuskan bersaing dengan calon mahasiswa dari Jawa, selamanya mereka tidak akan bisa menang, simpulnya.

Pernyataan yang juga diamini oleh pemateri. Dan "Sampai kiamat pun tidak akan pernah mereka bisa bersaing. Saya sudah mencoba melakukan program afirmasi. Tapi terbatas di wilayah saya saja. Di Kemenag saja" sanggah Pak Imam pada siang itu.

Ya, kita hanya harus memilih "Jadilah pemimpi atau jadilah pengeluh. Pemimpi mendapatkan impian dan prestasi. Sementara pengeluh, mendapatkan belas kasihan. Sama-sama dapat sesuatu. Pilih salah satu" balasnya.
Sumber gambar: dakwatuna.com

Kalimat itu menohok penanya, saya yakin. Sebab, kalimat itu juga menohok saya. Beberapa waktu terakhir ini, saya banyak mengeluh. Itu yang perlu saya akui. Banyak memikirkan apa yang tidak ada. Membayangkan apa saja yang kurang. Mestinya, saya mensyukuri dan mengembangkan apa yang ada. Keluhan itu akhirnya hanya menjadi lingkaran setan. Selain membuat saya tidak pernah berkembang, kehidupan juga jadi terkekang. Kreativitas jadi mandul. Jalan keluar jadi tertutup.

Ya, seperti halnya yang disampaikan pemateri dari Kemenag pada hari Sabtu 26 Agustus 2017 kemarin, saya harus memilih: Menjadi pemimpi atau menjadi pengeluh.

Dan meskipun ada dua pilihan, toh sejatinya hanya satu yang boleh dipilih: Menjadi pemimpi.

Dengan menjadi pemimpi, kita jadi punya bahan bakar yang tak terbatas. Setiap kesulitan menjadi ladang belajar. Dan setiap kelemahan menjadi ajang untuk memperbaiki diri. Setiap aral yang melintang hanya membuat kita makin mahir untuk melompat lebih tinggi. Dan makin tinggi lagi. Dan hanya mimpi yang membuat kita bertahan kuat meskipun badai dahsyat seakan hendak menghancurkan kita berkeping-keping.

Entah mengapa saya jadi teringat lagu Laskar Pelangi yang dinyanyikan Nidji. Yuk kita simak di bawah ini:

Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya

Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Bebaskan mimpimu di angkasa
Warnai bintang di jiwa

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya

Cinta kepada hidup
Memberikan senyuman abadi
Walau hidup kadang tak adil
Tapi cinta lengkapi kita

Laskar pelangi
Takkan terikat waktu
Jangan berhenti mewarnai
Jutaan mimpi di bumi

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia

Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia

Ya, mimpi adalah kunci. Untuk kita tetap bertahan menghadapi segala cobaan dan godaan yang seakan hendak menyelewengkan kita dari tujuan. Dari impian yang sudah kita pancangkan dari awal.

Mimpi, jadikanlah aku laskarmu. Bantu aku meraih mimpiku....

Puisi Sonnet II karya Pablo Neruda serta Terjemahan

Pablo Neruda, salah seorang penerima Nobel Sastra, adalah seorang penulis besar, yang oleh Gabriel Garcia Marquez dianggap sebagai penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apa pun.

Konon, si penyair huruf kecil (M Aan Mansyur) juga terpengaruh penyair satu ini.

Salah satu puisi yang sangat saya suka adalah Sonnet II. Yuk kita simak puisi berikut ini:

Love, how many roads up to a kiss
what wandering loneliness until your company!
Alone trains still running with the rain.
Spring doesn’t dawn yet in Taltal.
Cintaku, berapa banyak jalan demi satu kecupan,
betapa sering tersesat sepi sebelum kutemukanmu!
Kereta sendiri melaju bersama deras hujan.
Musim semi tak kunjung tiba di Taltal.

But you and me, my love, we are together,
together from clothes to roots
together of fall, of water, of hips,
until become only you, only me together.
Tapi kau dan aku, cintaku, kita bersama,
bersama dari pakaian hingga perakaran,
bersama di musim gugur, di air, di pinggul,
hingga hanya kau, hanya aku, bersama.

To think that it cost so many stones that carry the river
the river mouth of water in Boroa
Thinking that trains and nations separate us
You and me had to just love us,
with all mixed, with men and women,
with the land that implements and educates carnations.
Bayangkan betapa banyak bebatuan demi alirkan sungai,
mulut sungai yang penuh air di Boroa;
Bayangkan betapa kita dipisahkan kereta dan bangsa
Kau dan aku hanya perlu saling mencinta,
dengan semua yang terbaur, lelaki atau wanita,
dan bumi yang menghidupkan dan menyemai anyelir.

Puisi ini memang tidak mengikuti pakem puisi klasik yang harus menyesuaikan diri dengan rima tertentu, dan jumlah baris yang sama pada setiap bait atau stanza. Meskipun begitu, kita bisa merasakan betapa puisi ini memang indah.

Menurut saya pribadi, puisi ini bercerita tentang pengorbanan yang harus dilakukan seorang pecinta demi sesuatu yang dicintainya. Betapa panjang jalan yang harus dilalui demi satu kecupan. Betapa sering si pecinta harus tersesat hanya demi menuju lokasi tempat orang yang dicintainya.

Dan ya si pecinta tidak pernah menyerah. Dia terus tancapkan pijakan untuk terus berjuang. Sebab, sejatinya keduanya tak pernah terpisah. Keduanya terus bersama. Baik dari sisi lahir atau batin. Yang bisa kita tilik dari baris "together from clothes to roots" yang saya terjemahkan menjadi bersama dari pakaian hingga perakaran.

Sederhananya, puisi ini hendak mengajari kita. Seberapa banyak jalan yang harus ditempuh dan seberapa sering seseorang tersesat, dia tidak akan pernah goyah. Selama, keduanya saling mencinta.

Kira-kira itulah kesimpulan sederhana saya tentang puisi Sonnet II karya Pablo Neruda ini.



Pada akhirnya kita kan lupa

Pada akhirnya kita kan lupa
pada sakit yang mendera
pada kata yang menyiksa
pada mimpi yang menghantui
pada tidur yang melindur

Mungkin saja
waktu berhasil menghapus dan melenyapkan
jejak kaki yang bentuknya serampangan
atau bekas lutut dan tubuh yang terpelanting
pada keras tanah kemarau,
saat kakimu kau julurkan,
dan kakiku tersandung,
lalu aku jatuh terjengkang.

Aku tak tahu

Mungkin saja
waktu mengikis perih luka
tikaman yang kaulakukan petang hari
atau tusukan sembilu
pada punggungku yang membuatku berteriak
kencang seakan bumi takkan lagi berputar
seakan luka itu kan abadi selama-lamanya.

Entah apa itu masih penting.

Atau yang mungkin penting, pada akhirnya kita lupa
dan kita kembali menari sampai malam kan tiba
kita menari sampai pada akhirnya kita lupa

Ya, pada akhirnya kita lupa
Sumber gambar: yoganonymous.com

malang 7 Agustus 2017

Kenang aku sebaik-baiknya

Kenang aku sebaik-baiknya

Kenang aku sebaik-baiknya
pada air mendidih
yang kujerang setiap pagi
agar saat mandi dingin air tak menggigit badan mungilmu.

Kenang aku sebaik-baiknya
pada jejak jalan
yang kulalui tuk antarmu ke sekolah
agar jarak sejauh itu tak buat kakimu lelah.

Kenang aku sebaik-baiknya
pada uang lusuh
yang kusisihkan di bawah bantal
agar lapar tak mengganggu konsentrasimu belajar.

Kenang aku sebaik-baiknya
pada angin ribut dan gerimis
yang kuarungi setiap hari dengan gagah
agar bisa kubayar s'gala biaya.

Tak perlu kau balas apa-apa
Tak perlu kau bebani diri.
Mencintai dan menyayangimu
sudah cukup bagiku.

Bila satu boleh kupinta
cukup kau kenang aku sebaik-baiknya.

Sumber gambar: https://goo.gl/7NBhgH

malang, 2 Agustus 2017

Puisi To Earthward Oleh Robert Frost – Analisis Serta Terjemahannya

Syaniah, salah satu pembaca blog sederhana ini, meminta tolong agar saya ikut membantu menjelaskan puisi To Earthward yang dirajut oleh Robert Frost. Bukan permintaan tolong yang mudah tentu. Sebab, puisi ini juga baru saya tahu. Baru saya baca.

Tapi dengan senang hati saya mengabulkan permintaannya. Karena untuk penulis puisi satu ini, seribu purnama pun akan saya luangkan (#halah lebay).

Berikut puisinya serta terjemahan saya.

TO EARTHWARD
by ROBERT FROST

Love at the lips was touch
As sweet as I could bear;
And once that seemed too much;
I lived on air
Cinta di bibir itu sentuhan
Semanis yang bisa kutahan;
Dan begitu terlalu besar;
Kuhidup di awang-awang

That crossed me from sweet things,
The flow of – was it musk
From hidden grapevine springs
Down hill at dusk?
Yang melintasiku dari hal-hal manis,
Aliran itu –itu wangi kesturikah
Dari sumber air anggur tersembunyi
Turuni bukit di senja hari?

I had the swirl and ache
From sprays of honeysuckle
That when they’re gathered shake
Dew on the knuckle.
Aku pusing, aku radang
Terkena semprotan kamperfuli
Saat kuambil, dia tergetar
Embun di buku jari.

I craved strong sweets, but those
Seemed strong when I was young;
The petal of the rose
It was that stung.
Kuingin manis yang kuat, tapi ternyata
Tampak kuat saat aku muda;
Kelopak bunga mawar itu
Begitu menyengat.

Now no joy but lacks salt
That is not dashed with pain
And weariness and fault;
I crave the stain
Tak ada ceria tanpa asin garam
Yang tak diterpa perih mendalam
Serta keletihan dan kekeliruan;
Kuingin tanda

Of tears, the aftermark
Of almost too much love,
The sweet of bitter bark
And burning clove.
Dari aliran air mata, tanda lahir
Dari hampir terlalu banyak cinta,
Rasa manis kulit yang pahit
Dan cakar yang membakar.

When stiff and sore and scarred
I take away my hand
From leaning on it hard
In grass and sand,
Saat kaku dan sakit dan luka membekas
Kujauhkan tanganku
Agar tak bersandar dengan kuat
Pada rumput dan hamparan pasir,

The hurt is not enough:
I long for weight and strength
To feel the earth as rough
To all my length.
Sakitnya tak cukup:
Kuingin lebih berat dan kuat
Hingga kurasakan dentuman tanah
Hingga seluruhku.

Gimana terjemahannya? Eh, puisinya? Bagus kan!
Bunga kamperfuli

Tak seterkenal The Road Not Taken atau Fire and Ice. Tapi puisi ini, entah mengapa, langsung menarik hati saya. Memesona pada pandangan pertama.

Mari kita bahas satu per satu. Pelan-pelan saja agar kita bisa menyelaminya. Menggunakan tema alam dalam penjabarannya, puisi ini menggunakan rima ABAB, CDCD, dan seterusnya. Puisi ini masuk kategori iambic. Penggunaan rima ini tergolong ketat. Tak ada satu pun yang keluar dari pola rima yang sudah ditetapkan di awal. Saat membaca puisi ini dalam bahasa Inggris, kita bisa merasakan betapa puisi ini sangat ritmis. Terdengar enak di telinga. Bila kita baca, tak akan membuat pembacanya terengah-engah karena barisnya juga pendek-pendek.

Selain itu, Pak Robert Frost menggunakan seluruh pancaindra. Mulai dari penglihatan, pengecap, pembau, pendengar hingga perasa, semua digunakan dalam puisi ini. Untuk indra perasa misalnya, terdapat baris "stiff and sore and scarred".

Sekarang yuk kita bahas tentang maknanya. Puisi ini membahas tentang bagaimana cinta berubah dari tahun ke tahun. Dari masa ke masa. Dari era ke era. Untuk merefleksikan proses perubahan itu, puisi ini memenggal kisahnya menjadi dua bagian. Kisah masa lalu dan kisah saat ini.

Itulah mengapa di awal-awal puisi, Robert Frost menggunakan bentuk past tense (masa lampau), lalu kemudian bentuk kalimatnya berubah menjadi present tense (masa kini).

Awal-awal, puisi membukanya dengan kalimat masa lampau yang indah, Love at the lips was touch. Yang dimaksud cinta pada sentuhan ini tentu adalah ciuman. Dari ciuman yang manis lalu si aku "lived on air (hidup seakan-akan di awang-awang" saking banyaknya.

Apakah keindahannya sampai di situ? Belum. Ada musk, grapevine springs, ada pula honeysuckle yang digunakan oleh si penulis puisi untuk menceritakan betapa cinta begitu indah pada mulanya.

Ada peralihan kemudian pada baris "It was that stung". Cinta yang awalnya indah berubah. Ternyata rasa manis yang kuat itu hanya terasa pada saat si penulis masih muda usia. Ternyata cinta yang dianalogikan kelopak mawar itu menyengat. Ekstrak madu yang membawa serta "racunnya".

Kisah yang indah-indah itu lalu berubah. Sekarang setiap kali ada joy atau kegembiraan, mesti ada "salt" yang menyertai. Tak lagi selalu manis. Setiap kisah cinta yang indah selalu disertai rasa perih, terdera rasa letih, dan dibebani kekeliruan demi kekeliruan.

Kok seperti kisah orang menikah atau pacaran awal-awal ya? Pertama bertemu, dunia serasa surga yang dikapling hanya berdua. Tak ada orang lain. Senyum ramah dan sapaan indah menghiasi hari-hari. Puisi dan kata cinta bertebaran. Setiap kali menoleh, rasanya dia selalu ada.

Hari-hari berlalu, pertikaian kecil mulai hadir. Kata-kata mulai tak ramah. Sikap mulai goyah. Kemarahan sedikit demi sedikit mulai terpicu. Ada yang karena telat tidak balas WA, ada yang karena mengklik like untuk postingan mantan, dan beragam aktivitas kecil tak berguna lain. Ada yang karena pertengkaran besar akibat salah satu berkhianat.

Lalu apa klimaks yang ditawarkan puisi ini? Saat rasa sakit tidak cukup kuat, orang yang kecewa akan berharap rasa sakit yang lebih besar. Lebih berat. Bahkan kematian, seperti yang dijelaskan di baris "To feel the earth as rough". Ya, hanya kematian yang diharapkan saat cinta sudah begitu mengecewakan.

Kisah-kisah seperti diceritakan dalam puisi ini toh juga muncul dalam kisah-kisah klasik cinta yang tercatat sejarah. Romeo dan Juliet misalnya. Atau Anthony dan Cleopatra.

Saat Anthony tiada, si Cleopatra juga menghabisi sendiri nyawanya.

Larut dalam "Kenangan" - Sebuah Puisi Joko Pinurbo

Setelah menulis warisan, ada satu sosok yang kebetulan agak membuat penasaran lama. Joko Pinurbo namanya. Beliau adalah seorang penyair. Penulis puisi. Entah mengapa namanya tiba-tiba muncul.

Setelah mencari-cari puisinya di Google, dapatlah kumpulan puisi yang diterbitkan di Kompas pada 5 Maret 2016. Dari semua puisi itu, yang menarik perhatianku adalah puisi berjudul kenangan.

Di bawah ini adalah puisinya.

Kenangan
Oleh JOKO PINURBO

Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang cukurmu. Ia memangkas
rambutmu dengan sangat hati-hati
agar gunting cukurnya tidak melukai keluguanmu.

Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang baksomu. Ia membuat
baksomu dengan sepenuh hati seakan-akan kau
mau menikmati jamuan terakhirmu.

Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang fotomu. Ia memotretmu
dengan sangat cermat dan teliti agar mendapatkan
gambar terbaik tentang bukan-dirimu.

Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang bencimu. Ia membencimu
dengan lebih untuk menunjukkan
bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang.

(Jokpin, 2016)

Ada kaitan erat antara tulisan tentang warisan bagi anak cucu itu dengan puisi kenangan ini. Puisi ini bercerita tentang kita yang hanya akan menjadi kenangan. Kenangan yang tersisa bagi tukang cukur, tukang bakso, tukang foto, dan tukang benci. Tukang cinta? Tentu juga iya.

Ya, pada suatu saat kita hanya akan menjadi K.E.N.A.N.G.A.N.

Menjadi sejarah. Kenangan yang menjelma sebagai warisan tak berwujud. Entah itu kelam atau kelabu, atau putih. Atau kita malah tidak meninggalkan jejak sama sekali. Dilupakan. Hanya menjadi entah.

Apakah apa pun yang kita lakukan akan diingat sebagai kenangan oleh orang lain? Kita tak pernah tahu. Diingat sebagai kenangan bukan kewenangan kita. Bisa kita pengaruhi tetapi tidak dapat kita putuskan apakah kita akan diingat atau tidak.

Kita hanya bisa meninggalkan jejak-jejak yang positif agar kita dikenang dengan baik. Masalah dikenang atau tidak bukan tergantung kita. Tergantung orang lain yang mempersepsinya. Mengingatnya.

Tak salah lagi, tugas kita ya meninggalkan jejak. Berbuat baik. Menebar keramahan. Menegakkan kesopanan. Entah itu akan diingat atau tidak sudah bukan urusan kita.

Di situlah pentingnya konsep ikhlas dalam berperilaku dan berbuat. Menurut KBBI, ikhlas adalah bersih hati atau tulus hati. Singkatnya, ya berbuat tanpa berharap balasan, bahkan sekadar diingat.

Ada satu konsep aneh, tapi mengena terkait konsep ikhlas ini.

Dalam suatu pengajian yang dipandu KH Marzuki Mustamar, beliau bercerita. Bila tidak salah ingat, menurut beliau ikhlas saat berbuat itu mirip membuang kotoran pada pagi hari. Ketika keluar ya sudah tidak usah diingat-ingat. Tidak perlu diingat teksturnya. Dikenang baunya #ehh.

Ringkasnya, apa pun yang kita lakukan, besar atau kecil, yang tersisa hanya jejak-jejak kenangan. Dan yang tersisa dari kita ketika meninggal ya kenangan-kenangan itu.

Dan kenangan yang tercatat di atas sana mudah-mudahan tidak terlalu banyak merahnya.

Saat Mati, Apa Warisanku?

Saat nanti ajal menjemput, apa yang kan kutinggalkan sebagai warisan bagi anak cucu?

Itulah pertanyaan yang tiba-tiba datang berulang di pikiranku. Terngiang-ngiang. Rasa-rasanya pertanyaan itu mengawang di langit-langit kamar, di udara yang kuhirup, pada tetesan hujan yang membasahi kulit.
Warisan

Warisan yang kumaksud tentu bukan tanah, sawah, dan benda-benda lain. Tapi lebih pada benda tak berwujud yang tak lekang zaman. Selalu dapat dibawa. Seperti cerita kebaikan misalnya. Atau teladan yang diikuti oleh anak-anak kita. Atau doa-doa yang dengannya anak dan cucu selalu mendapatkan petunjuk saat tersesat di belantara dunia.

Pertanyaan ini mengingatkanku pada suatu sore yang cerah di gubuk bambu di tengah sawah. Seseorang menyapaku yang sedang tidur-tiduran seusai lelah menyiram tembakau. Kami terlibat percakapan asyik. Tentang tembakau. Tentang semangka yang ditanamnya. Dan dia bercerita mengenal almarhum ayah.

Baginya, ayahku sosok yang sangat hangat. Bersahabat dan suka membantu. Aku hanya bisa mendengarkan tentu. Sosok almarhum ayah hanya bisa kukenal dari cerita-cerita mulut ke mulut. Tak pernah kulihat langsung. Toh itu tak menghalangi ayahku itu untuk mengenalkan dirinya melalui cerita bersambung dari satu orang ke orang lain. Dari satu penuturan ke penuturan lain.

Warisan itu yang minimal ingin kutinggalkan. Tak mungkin aku hidup selamanya. Kematian pasti datang, entah itu kapan. Masalahnya, apakah aku akan meninggalkan kisah-kisah yang sama seperti ayahku itu?

Itu yang menjadi pertanyaanku, dan rasa-rasanya itu harus pula menjadi visi hidup. Meninggalkan "kebaikan" bagi generasi penerus.

Itu pula yang membuatku terus menulis, entah akan ada yang membaca atau tidak. Entah ada yang memahaminya atau tidak. Ya betul, agar ada yang diwariskan.

Mungkin saat kedua anakku sudah besar, mereka tidak akan mendengar kisah tentang ayahnya. Sebab, mungkin mereka melanglang buana. Meretas jalan kehidupan mereka sendiri di atas bumi. Tugasku ya meninggalkan sebanyak mungkin memori atau kenangan baik.

Untuk sementara, itulah yang dapat kupikirkan.

Hiduplah Hari Ini Saja

Hiduplah Hari Ini Saja - Dalam sebuah talkshow radio Jumat pagi kemarin (21 Juli 2017), pengisi acara memilih topik yang sangat bagus. Setidaknya menurutku. Tema yang dipilih adalah "Hiduplah Hari Ini Saja" atau dalam bahasa Inggrisnya "Just Live for Today".

Awalnya, aku tidak mendengar serius siaran pagi kali itu. Sebab, dari topiknya saja sudah bisa tebak. Ini akan biasa-biasa saja. Setiap hari bukannya kita sudah hidup. Kita sudah bernapas, dan melakukan sesuatu. Ada yang bekerja. Ada yang nonton TV. Ada yang juga bercengkerama bersama keluarga. Ada juga yang galau. Tapi bukankah semua orang sudah menjalani hidupnya masing-masing, pikirku.

Namun, lambat laun siaran pagi itu menyadarkanku. Masih banyak orang yang terperangkap masa lalu. Jerat manis atau pahit masa lalu masih membebani langkah. Akhirnya, dia memang hidup secara fisik hari ini (today), tetapi secara jiwa dan emosi dia terperangkap kehidupan kemarin (past).

Ada yang terlalu bangga dengan masa lalu sehingga lalai untuk menciptakan kebanggaan hari ini. Ada yang terlalu emosional dengan kenangan masa lampau sehingga lupa untuk menciptakan kenangan di masa kini. Ada juga yang terlalu takut masa depan sehingga tidak bisa menikmati hari ini.

Ternyata hidup hari ini saja tidak mudah.

Tidak sesederhana kalimatnya. Penerapannya sulit bukan main. Bila berbicara semudah membalik telapak tangan, melakukan apa yang kita bicarakan sesulit membalik telapak kaki. Coba balik telapak kaki sekarang. Bisa?

Sulit memang. Tapi bisa. Caranya kita tiduran sambil mengangkat kaki ke atas menghadap langit, hehe

Namun, terlepas dari kesulitan itu, toh kita harus tetap menjalani hidup hari ini, sembari merancang masa depan. Seberapa pun sulitnya, kita harus tetap belajar. Memaksa diri keluar dari belenggu itu. Bekalnya, ya masa lalu.

Bagaimana caranya? Mungkin ada yang bertanya begitu. Caranya ya ayo kita cari sendiri-sendiri. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri untuk hidup hari ini. Ada yang menerjemah. Ada yang menulis. Ada yang belajar.


Site: QuotesNew.com

Aku sendiri pun sudah mencoba memulainya.

Ya, dengan menulis ini. Sudah lama aku tidak menulis karena terjebak kemalasan akibat merasa "sukses" di masa lalu. Terjerat kisah manis era lampau. Akhirnya, kuputuskan untuk mulai hidup hari ini.

Gimana denganmu? Sudahkah engkau hidup hari ini, kawan?


menghidupkan, bukan mematikan

menghidupkan, bukan mematikan

aku mencintaimu seperti cinta vokal pada konsonan
yang membuatnya bersuara

aku mencintaimu seperti cinta huruf pada kata
yang membuatnya terbaca

aku mencintaimu seperti cinta kata pada kalimat
yang membuatnya bermakna

aku mencintaimu seperti cinta kalimat pada paragraf
 yang membuatnya tersusun indah

aku mencintaimu seperti cinta paragraf pada teks
yang membuatnya paripurna

karena cintaku menghidupkan, bukan mematikan



malang, jumat 19 mei 2017

Arti Lirik Lagu Father & Son oleh Cat Stevens, Boyzone, Ronan Keating serta Analisisnya

Arti Lirik Lagu Father & Son oleh Cat Stevens, Boyzone, Ronan Keating serta Analisisnya


Kukira lagu ini bercerita secara monolog. Si ayah menyanyikan lagu untuk anaknya. Tentang prinsip hidup. Tentang tidak terlalu buru-buru. Tentang tidak menuruti hasrat darah muda yang biasanya menggebu-gebu.

Aku salah. 

Salah besar. Lagu ini berisi percakapan ayah dan anak. Ayah dan anak saja, meskipun ada tiga pronomina yang digunakan "I" si ayah, "you" si anak, dan "he" si ayah karena si anak tak berani memanggil ayahnya dengan "you".

Konon lagu ini ditulis pada saat perang Vietnam vs Amerika sedang hebat-hebatnya. Banyak anak yang minta izin kepada orang tua untuk menjadi tentara, tetapi banyak orang tua yang melarang. Dan lagu ini merangkumnya begitu indah.

Yuk, kita baca saja lirik lagu Father and Son, serta terjemahannya di bawah ini.

It's not time to make a change
Bukan saatnya berubah
Just relax, take it easy
Santai saja, nikmatilah
You're still young, that's your fault
Kau masih muda, itu saja salahmu
There's so much you have to know
Ada banyak yang harus kau tahu
Find a girl, settle down
Temukanlah seorang gadis, tinggallah
If you want you can marry
Jika kau mau kau boleh menikah
Look at me, I am old
Lihatlah aku, aku tua
But I'm happy
Tapi aku bahagia

I was once like you are now
Aku dulu pernah sepertimu saat ini
And I know that it's not easy
Dan memang tak mudah
To be calm when you've found
Untuk tenang saat kau temukan
Something going on
Ada yang terjadi
But take your time, think a lot
Tapi santai saja, berpikirlah terus
Think of everything you've got
Pikirkan segala yang kau punya
For you will still be here tomorrow
Karena kau kan tetap di sini esok hari
But your dreams may not
Tapi mimpimu mungkin takkan ada

How can I try to explain
Bagaimana mungkin kucoba jelaskan
When I do he turns away again
Saat kulakukan, dia berpaling lagi
And it's always been the same
Dan selalu saja begitu
Same old story
Kisah usang yang sama
From the moment I could talk
Dari saat aku bisa bicara
I was ordered to listen
Aku disuruh untuk mendengar
Now there's a way and I know
Kini ada jalan dan kutahu
That I have to go away
Bahwa aku harus pergi
I know I have to go
Kutahu aku harus pergi

I was once like you are now
Aku dulu pernah sepertimu saat ini
And I know that it's not easy
Dan aku tahu memang tak mudah
To be calm when you've found
Untuk bersikap tenang saat kau temukan
Something going on
Sesuatu terjadi
But take your time, think a lot
Tapi santai saja, berpikirlah terus
Think of everything you've got
Pikirkan segala yang kau punya
For you will still be here tomorrow
Karena kau kan tetap di sini esok hari
But your dreams may not
Tapi mimpimu mungkin takkan ada

All the times that I've cried
Semua waktuku menangis
Keeping all the things I know inside
Menyimpan semua yang kutahu di dalam hati
And it's hard, but it's harder
Dan memang sulit, tapi lebih sulit
To ignore it
Tuk mengabaikannya
If they were right I'd agree
Jika mereka benar, aku kan setuju
But it's them they know, not me
Tapi hanya kenal diri mereka, bukan diriku
Now there's a way and I know
Kini ada jalan dan aku tahu
That I have to go away
Bahwa aku harus pergi
I know I have to go
Kutahu aku harus pergi

Itu dia terjemahan lagu Father and Son-nya.

BAGUS kan terjemahannya? Eh isinya (hehe).


Pesan Parenting

Lagu ini bercerita tentang ayah yang konservatif. Dalam bahasa kekiniannya, ayah yang kolot. Dia ingin anaknya ikut jejaknya saja. Tidak perlu aneh-aneh. Itu bisa kita saksikan di larik pertama.

It's not time to make a change
Bukan saatnya berubah
Just relax, take it easy
Santai saja, nikmatilah
You're still young, that's your fault
Kau masih muda, itu saja salahmu
There's so much you have to know
Ada banyak yang harus kau tahu
Find a girl, settle down
Temukanlah seorang gadis, tinggallah
If you want you can marry
Jika kau mau kau boleh menikah
Look at me, I am old
Lihatlah aku, aku tua
But I'm happy
Tapi aku bahagia

Bila saya bahasakan dengan sederhana, kira-kira begini isinya.

"Nggak usah berubah nak. Santai saja. Nikmati yang ada. Kamu itu masih muda. Masih banyak yang perlu kau pelajari. Nanti, cari gadis cantik, lalu menikahlah. Aku dulu ya begitu. Lalu lihat aku sekarang "Tua memang, tapi bahagia".

Si ayah lantas melanjutkan nasihatnya di bait kedua.

I was once like you are now
Aku dulu pernah sepertimu saat ini
And I know that it's not easy
Dan memang tak mudah
To be calm when you've found
Untuk tenang saat kau temukan
Something going on
Ada yang terjadi
But take your time, think a lot
Tapi santai saja, berpikirlah terus
Think of everything you've got
Pikirkan segala yang kau punya
For you will still be here tomorrow
Karena kau kan tetap di sini esok hari
But your dreams may not
Tapi mimpimu mungkin takkan ada

Aku dulu seperti kamu. Tak tenang. Grusa-grusu. Santai saja, pikirkan dulu. Jangan kau perturutkan darah mudamu.

Sampai di sini si ayah terlihat bijak, tapi si anak lantas menjawab.

Ya, yah. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskannya. Setiap kali kucoba, ayah selalu berpaling. Dari dulu aku diminta mendengar saja. Padahal, aku sudah bisa bicara. Aku sudah bisa berpikir.

Lalu dibalas oleh si ayah dengan bait kedua. Pesan yang sama. Sudah ikuti jejak ayah saja. Ayah sudah pernah mengalaminya. Buktinya, ayah bahagia sekarang.

Namun, si anak yang memiliki darah muda yang bergejolak tak bisa diam. Dia merasa mendapatkan panggilan untuk berubah. Zaman sudah berubah, dan dia juga berubah. Si anak lantas pergi mengejar keinginannya.

Sebagai seorang ayah (yang berusaha menjadi baik), ini pembelajaran penting bagi saya. Anak hidup di zamannya sendiri. Kita hanya bisa mengarahkan. Tidak bisa memaksa anak mengikuti jalan hidup kita.

Sebab, anak kita bukan milik kita. Dia adalah milik Tuhan yang dikirimkan pada zamannya sendiri, bukan zaman kita.

Lagu ini mengingatkan saya pada puisi Anakmu bukan anakmu, karya Kahlil Gibran.

Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki ikiran mereka sendiri

Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka,
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu

Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan

Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan ia meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh

Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.

Makjleb bukan?

"Cintailah anak seperti cinta busur pada anak panah yang membuatnya melesat"


Untuk lagu serupa, klik Tears in Heaven oleh Eric Clapton.