puisi - meninggalkan, tinggal, lalu ditinggalkan

*****
Dulu, rumahmu kau tinggalkan
segala kenangan masa kecil kau simpan
semua keraguan kau tampik dan kau abaikan
pada angin segenap kerinduanmu kau titipkan.

Kemudian, bersama kami engkau tinggal
Merajut kenangan demi kenangan
Memicu tawa yang berderai-derai
Menjadi sahabat, menjalin persaudaraan.

Lalu kali ini giliran kami kau tinggalkan
Jejakmu besok akan tersisa kenangan
Kursi dan mejamu jadi saksi kebersamaan
Tawa dan candamu akan selalu dirindukan.

Tapi ya
semua soal meninggalkan, tinggal, lalu ditinggalkan.

Tak perlu bersedih, ucapmu pada suatu sore yang muram
Semua perihal gerak
Air yang diam hanya genangan, yang kotor lalu bau busuk
Peluru yang tak pernah ditembakkan hanya akan jadi amunisi buruk.

Demikian pula engkau
Teruslah bergerak dan menjemput impian
Memulai bangunan besar, yang selalu kau impikan
Dan kau menyebut itu, bangunan cinta dan kasih sayang

Bila lelah dan letih mulai kau rasakan
kau selalu tahu tempat pulang.
Di sinilah engkau kan kami sambut
dan kami suguhi impian dan harapan yang pernah kita rajut


*16 Desember 2020 - Melepas kepergian teman yang akan menikah



puisi - berebut kursi dan nasi

puisi - berebut kursi dan nasi

ada yang berebut kursi,
menjual ayah, ibu, nenek, kakek, dan bibi
gelar-gelar yang berderet,
atau menukarnya dengan sesuap nasi.

ada yang menjual narasi
mengutip potongan ayat-ayat suci
sibuk posting sana-sini
tanpa perlu satu pun yang dipahami.

ada yang beradu argumentasi
menggelar buku dan kitab referensi
kutipan tokoh kanan atau kiri
tanpa perlu harus memeras otak sendiri.

sementara aku dan kau hanya berebut butiran nasi
dengan ayam yang bangun sangat pagi
itu pun sudah basi, dan wajib pula kita syukuri;
duh Tuhan, apakah surga sudah ada di depan?


puisi - bersauh tapi jauh

selamat menempuh hidup baru, ucapmu.
selamat menempuh hidup baru juga, ucapku.

kuharap aku tersenyum saat kau menyelamatiku,
dan kau pun tersenyum, manis, seperti selalu.

kau memang tersenyum, manis,
tapi aku tertawa, miris.

ada dua sampan yang berlayar jauh 
tapi berbeda tempat berlabuh.

mungkin benar, sebagian cinta harus dikubur
sebagian harapan harus jatuh tersungkur.

semoga kelak pada kita tumbuh daun, akar, lalu mekar
agar tak ada rasa sesal dan tak perlu ada perbandingan.

selamat atas hidup baru yang kan kau tempuh,
semoga pada penerimaan yang baik hatimu bersauh.
 



malang, 1 november 2020

sendu, dan kamu yang satu

sendu, dan kamu yang satu

hidupku rangkaian sepi dan sendiri
di tengah hantaman kecewa
di antara tumpukan nestapa
disesaki muram dan durja

lalu kau tiba-tiba bercerita
dengan senyum yang tak pernah ditahan
dengan tawa yang berderai
dengan tangguh yang kau tampak-tampakkan

apakah kisahmu bersayap
yang membuat kesedihanku lenyap
yang membuat sepi hariku meriah
yang membuat sedih jiwaku musnah?

apakah tawamu obat
yang membuat badan dan jiwaku kuat
berjuang berat pun terasa ringan
menapaki hari keras pun terasa lunak?

apakah kau itu jawaban
atas doa yang tak pernah keluar mulut
atas jaring harap yang tak lelah kurajut
atas permintaan yang rasanya muluk-muluk?

terima kasih telah bertahun-tahun menemaniku
tertawa atas leluconku yang tak lucu
mendengar ceritaku yang hanya itu-itu
mendampingi hidupku yang ya hanya begitu.

rasanya hidupku itu ya hanya berkisar tentangmu



kau, dan kenangan yang kau tinggalkan

bukannya tak ikhlaskan kepergian

bukannya tak relakan kehilangan

bukannya tak terima ketetapan takdir

bukannya tak mampu lanjutkan langkah.


terlalu mendadak kau pergi

terlalu samar untuk bisa dimengerti

terlalu berat untuk ditanggung hati

terlalu aneh untuk benar-benar terjadi.


masih segar ingatanku saat kita bersitatap

di antara dua kaki kau menyelinap

kau ikut hadir saat kami berkumpul dan bercerita

atau berebut potongan ayam di meja makan.


masih segar aroma tubuhmu yang menguar

antara pesing, dan sampo, bau tanah,

yang makin lama makin kurindukan

ingin kuendus sekali lagi.


masih menempel bulu-bulumu di karpet hijau

saat engkau bergelut antara lucu, nakal, atau marah,

yang entah mengapa tak kunjung bisa kuhapus dari ingatan

ingin kuajak main sekali lagi.



mungkin, kini engkau menunggu di gerbang surga

saat kami datang, kau kan berteriak kegirangan

dan kita masuk bersama, bermain di sana.


misho, hadirmu memang tak lama

kenanganmu akan bertahan selamanya.

ya, selamanya






MISHO, you'll be forever missed

saat kau maju perlahan 

kau enyahkan ketakutan dan kecemasan

kau tekan keinginan untuk lari tunggang langgang

lalu kau izinkan jari tanganku menyentuh wajahmu.


saat itu, misho, beragam kemungkinan terbuka

ada jiwa yang menyala

ada ikatan yang terbentuk seketika

ada hubungan yang tak bisa dijelaskan kata.


hati kerasku menguap perlahan

menjadi serpihan-serpihan kecil

terbang tersapu angin seperti bunga dandelion kering

yang hinggap lalu menciptakan kehidupan baru.


kau hiasi hari dengan canda dan tawa

kadang gigitan menggoda

kadang tatapan memelas yang penuh harap

kadang teriakan yang entah maksudmu apa.


kemudian kau pergi seketika pada suatu sore yang basah

meninggalkan semua kenangan di sudut-sudut rumah

di atas meja saat kau tertidur lelah

di atas karpet saat kau mengajak bermain bersama.


mengapa kau tak menungguku dulu?

mengizinkan jari tanganku menyusup di sela-sela kulitmu?

mengusap air matamu yang mengalir deras saat kutinggal kemarin sore?

membelai lembut kepalamu hingga tertidur pulas seperti Senin lalu?


Tuhan lebih menyayangimu, sepertinya

menyiapkan untukmu tempat bermain.


terima kasih atas setiap pagi saat engkau menyapa,

atas setiap cinta yang kau beri tanpa sedikit pun berharap.

MISHO, you know, you'll be forever missed






luka

luka

pain

will soon fade away

when it already

forced you to learn

about an acceptance

--

luka

akan perlahan sirna

saat sudah tuntas

memaksamu belajar

menerima

keadaanku, ketiadaanmu

keadaanku, ketiadaanmu

-----

apa yang awan rasakan

saat cintanya pada hujan

membuatnya sirna?


apa yang matahari rasakan

saat cintanya pada bulan

membuatnya menepi perlahan?


apa yang kayu rasakan

saat cintanya pada bara api

membuatnya mengabu?


apa yang kamu rasakan

saat cintamu padanya

memaksamu ikhlas dan menerima?


apakah sebagian ada karena ketiadaan sebagian lainnya?

seperti keadaanku berarti ketiadaan dirimu?




Puisi Ada Apa dengan Cinta 1? Karya Rako Prijanto - Cerita dan Analisisnya

Film Ada Apa dengan Cinta? adalah falah satu film Indonesia yang menandai kebangkitan industri perfilman Indonesia. Setelah sukses menggebrak dengan petualangan Sherina, film ini menjadi tonggak penting pasca era reformasi.

Film besutan sutradara ternama Rudi Soedjarwo ini menjadi film terlaris kala itu. Lagu yang dibawa Melly Goeslaw meledak. Pasangan Rangga dan Cinta menjadi legenda di benak-benak anak muda kala itu.

Salah satu yang unik dalam film ini dimasukkannya puisi ke dalam penguatan karakter Cinta dan Rangga.

Untuk Cinta sendiri, dia membacakan puisi di bawah ini:     

Aku Ingin Bersama Selamanya

Ketika tunas ini tumbuh
Serupa tubuh yang mengakar
Setiap nafas yang terhembus adalah kata
Angan, debur dan emosi
Bersatu dalam jubah terpautan
Tangan kita terikat
Lidah kita menyatu
Maka apa terucap adalah sabda pendita ratu
Ahh.. di luar itu pasir di luar itu debu
Hanya angin meniup saja
Lalu terbang hilang tak ada
Tapi kita tetap menari
Menari cuma kita yang tahu
Jiwa ini tandu maka duduk saja
Maka akan kita bawa
Semua
Karena..
Kita..
Adalah..
SATU

Puisi “Aku Ingin Bersama Selamanya” di atas mengambil tema tentang persahabatan. Di film Ada Apa dengan Cinta, puisi ini diciptakan tokoh Cinta karena terinspirasi persahabatannya dengan empat orang. Puisi “Aku Ingin Bersama Semalamya” ini dibacakan Cinta di hadapan mereka dengan iringan petikan gitar. Puisi ini menggambarkan betapa cinta sangat menyayangi sahabat-sahabatnya dan ingin selalu bersama dengan sahabat-sahabatnya di saat senang maupun susah.

Puisi kedua adalah puisi yang mungkin paling fenomenal di film ini. Judulnya Tentang Seseorang. Puisi yang ditulis Rangga ini memenangkan lomba puisi di majalah dinding sekolah.

Yuk kita simak.  

Tentang Seseorang

Kulari ke hutan kemudian menyanyiku
Kulari ke pantai kemudian teriakku
Sepi… sepi dan sendiri aku benci

Ingin bingar aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat
Enyah saja engkau pekat
Seperti berjelaga jika kusendiri

Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang ditembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai

Ada dua cara untuk menikmati puisi ini. Bisa dengan membacanya perlahan dan kita akan disuguhi deretan kata-kata indah. Cara kedua adalah mendengarkan Dian Sastro membacakannya di kafe. Cara apa pun yang dipilih, kita bisa menikmatinya dengan maksimal. Tentu, bila kita suka puisi. Bila tak suka, cara apa pun takkan bisa membuat hati kita bergeming.

Terkait maknanya, semua orang bisa punya makna berbeda, yang tergantung dari banyak faktor. Menurut saya pribadi, puisi Tentang Seseorang ini juga bisa bermakna ganda, bercerita centang "seseorang" atau "orang lain" atau bercerita tentang "seseorang" tapi yang dimaksud adalah si "aku".

Mari kita bahas penafsiran untuk makna pertama. Jadi, si aku ini mengalami kesepian yang akut. Saking sepinya, dia sampai menyanyi di hutan atau berteriak di pantai. Si aku juga juga merasakan penat dan seakan hidup di alam yang pekat, yang ingin dia hindari. Si aku lalu punya ide untuk mencari perhatian, yaitu memecahkan gelas atau mengaduh hingga gaduh. Atau menggoyangkan lonceng hingga terdera. Namun, tokoh si aku dalam puisi ragu "Atau aku harus lari ke hutan belok ke pantai". Oleh karena itulah, si aku butuh seseorang.

Penafsiran kedua adalah "Seseorang" yang dimaksud ini adalah si aku.

Lumayan asyik juga, kan?

Puisi ketiga dan terakhir adalah puisi yang juga menjadi judul dari film ini. Yuk kita simak.

Ada Apa Dengan Cinta?

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga
dalam mata seorang hawa

Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja

Puisi ini ditulis oleh Rangga dan diberikan oleh Cinta ketika Rangga akan pergi ke Amerika. Puisi ini bertemakan tentang cinta antara dua orang yang saling mencintai tetapi belum sempat terwujud indah. Dimulai dari gambaran pahit tentang seorang perempuan, yaitu seorang ibu. Di film ini, diceritakan bahwa ibu Rangga pergi karena "cinta" lalu meninggalkan Rangga bersama sang ayah. Mungkin karena alasan ini, karakter Rangga digambarkan sebagai orang yang dingin. Ketus. Sinis. Caranya berkomunikasi melalui puisi, yang juga tak banyak dipahami orang lain.

Namun, sosok dingin ini membuat Cinta penasaran lalu jatuh cinta. Si Rangga, yang juga sebenarnya suka, tak mudah tergoda. Sisi kelam dan trauma yang menggelayut di hatinya membuatnya tak mudah percaya kata cinta dan Cinta. 

Dia tetap melihat secercah harapan pada cinta dan sosok Cinta. Oleh karenanya, ia akan tetap kembali pada suatu purnama untuk mempertanyakan kembali cinta dan sosok Cinta.

Dan akhirnya si Rangga berangkat ke New York, meninggalkan Cinta di Indonesia.

Film ini akhirnya berlanjut beberapa tahun setelahnya, tepatnya 15 tahun berselang atau tahun 2017. Sebagaimana ciri khas film AADC sebelumnya, puisi masih kental menghiasi setiap film. Di film kelanjutannya, puisi-puisi Rangga tak lagi ditulis oleh Rako, tetapi oleh Aan Mansyur, yang bisa diklik di sini.

Bedah Buku Insight from EFL Classroom: dari iPhone hingga Blackpink, BTS, dan Ben Anderson

Sabtu sore kemarin cukup meriah. Tepat pukul 15-15, tanggal 10-10-20-20, acara bedah buku berjudul Insight from EFL Classroom dimulai. Acara menarik berpadu dengan kombinasi angka yang cantik. Asyik, bukan?

Hadir sebagai moderator, Mbak Rias, alumni S2 Prodi Bahasa Inggris. Pembedah utamanya adalah Bapak Edi Dwi Riyanto, Ph.D, dosen FIB Universitas Airlangga Surabaya. Sebagai tuan rumah, Bapak Dr Estu Widodo menjadi pembicara pembuka. Beliau saat ini menjabat Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Inggris, Direktorat Pascasarjana UMM  sekaligus editor buku antologi yang akan dibedah ini.

Saya sendiri? Ya figuran lha tepatnya wkwk. Penyemarak acara.

Memang, suatu kehormatan dan kebanggaan saat diundang sebagai salah satu pembedah oleh Prodi tempat saya menimba ilmu. Namun, yang tidak banyak diketahui, keterkejutan dan kebingungan memenuhi seluruh relung otak sejak undangan itu.

Sejak lulus dari program S1 Pendidikan Bahasa Inggris Unisma, waktu saya lebih banyak habis untuk menerjemah. Namun, saat dihubungi Pak Estu, Kaprodi saat ini sekaligus dosen saya saat 4 semester menempuh proses belajar di UMM, saya hanya bisa menjawab “iya, siap”.  Saya anak desa yang sama, yang dididik dengan prinsip tawadlu dan patuh kepada guru. “Jika gurumu memintamu loncat ke sumur, loncatlah. Kebarokahan ilmu itu di situ”.

Kebingungan itu makin menjadi saat saya dikirimi draf buku. Ternyata sebagian penulisnya adalah dosen-dosen saya sendiri. Dilema berkecamuk di dada. Bagaimana saya bisa membahas tulisan guru-guru saya sendiri? Kecemasan saya bertambah manakala saya tahu bahwa pembicara satunya adalah akademisi berpengalaman yang bergelar doktor dari salah satu universitas di Australia.  Maka, kebingungan dan kecemasan sempurna mengusik malam-malam saya.

Lalu, pada suatu malam saat mata tak bisa terpejam, terlintas ajaran-ajaran para dosen. Ya, saya dididik di UMM untuk momen seperti ini. Momen ketika saya harus menghadapi ketakutan dan kecemasan. Momen ketika saya harus menjadi diri sendiri. Yup, saya harus yakin pada diri sendiri.

Saat tiba giliran saya berbicara pada Sabtu sore itu, tayangan gambar di bawah menjadi pembuka.

Sebagian terlihat terkejut, sebagaimana yang terlihat di layar Zoom. “Apa kaitannya iPhone jadul dengan buku yang akan dibedah?” Untuk mengenyahkan rasa penasaran mereka, saya bertanya. Hape apa yang saya tampilkan dan apa yang membuat orang membeli hape di atas itu?

Suasana hening. Tak ada satu pun yang menjawab. Saya pun gusar.

Baru saya sadar ternyata mereka semua “muted” alias speakernya mati. Oalah. Saya pun berpura-pura menebak pikiran mereka bahwa biasanya orang membeli iPhone karena mereknya. Karena terlihat canggih. Atau pemiliknya terlihat makmur alias kaya. Jawaban itu semua betul. Namun, jawaban yang paling tepat adalah pengalaman pengguna atau user experience (UX).

Begitu juga konsep yang diusung buku ini, simpul saya kemudian. Buku ini mencoba menyajikan reader experience (RX). Bukan hanya isi buku, tetapi keseluruhan pengalaman yang akan diperoleh pembaca.

Saya mulai dari sisi luar.

-   Sampul Elegan. Seperti buku-buku serupa yang diterbitkan oleh para penerbit dari luar negeri. Elegan. Penuh warna tetapi tidak berlebih-lebihan.

-   Font Menawan. Pilihan font-nya tidak menyakiti mata.

-   Jarak Memadai. Jarak antarkata dan antarbaris juga pas. Tidak terlalu lebar. Tidak terlalu sempit.

-   Tata Letak Rapi. Tata letak antar satu tulisan dan tulisan lain juga rapi.

-   Ketebalan Pas. Jumlah halamannya kurang sedikit dari 300 halaman. Tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis.

Bagaimana dengan isinya?

-   Topik beragam & menarik. Saya mengambil tiga contoh tulisan/artikel di bawah ini.

1.    Exploring Microsoft Word Features Relevant for English Language Teaching.  Dalam artikel ini, terdapat banyak tips teknis yang berguna sekali tidak hanya bagi guru atau dosen, tetapi juga bagi mahasiswa manakala mereka menulis tugas atau skripsi atau tesis. Ada fitur spell-checking misalnya. Atau fitur “comment” atau “track changes”. Apa gunanya? Baca sendiri hehe.

2.    Imagined and Practiced Identity of English Learners in the Indonesian Context. Dalam artikel ini, ada unsur kebaruan yang diusung. Buku ini mengambil nafas “Sociocultural Turn in SLA.” Sebagaimana disitir dalam buku tebal berjudul The Study of Second Language Acquisition karya Rod Ellis, studi tentang SLA tidak lagi melulu berkisar Cognitivism tetapi beralih ke konteks sosial budaya. Dalam artikel ini, dibahaslah kaitan antara Practiced Identity, Imagined Identity, Investment, dan Motivation. Menariknya, konsep imagined identity ini mengambil inspirasi dari karya Ben Anderson, Imagined Communities. Yang lebih menarik lagi, Ben Anderson sendiri adalah Indonesianis yang mengabdi di Cornell. Sebagai informasi, Ben Anderson ini meninggal di Batu, Malang.

3.    Shaping Early Children Science Development through Discovery Learning as Brain-based Activities. Dalam artikel yang ditulis seorang doktor pakar EYL di UMM ini, dibahas penggabungan antara pembelajaran sains dan bahasa Inggris. Artikel ini mengingatkan kita pada tren terbaru dalam pembejaran bahasa, yaitu CLIL (Content and Language Integrated Learning). Sederhananya, pembelajaran sains bisa disampaikan dengan bahasa Inggris sehingga siswa bisa belajar sains sekaligus bahasa Inggris. Menarik, bukan?

-       Dilengkapi biografi. Setiap tulisan di buku ini langsung dilengkapi biografi penulis dan latar belakang pendidikan serta minatnya dalam bidang penelitian. Ini penting untuk artikel ilmiah. Di era yang memungkinkan setiap orang bicara apa saja tanpa perlu latar belakang, buku ini menjadi semacam jaminan bahwa isi buku ini bukan hoax. Penulisnya kredibel, begitu pula tulisannya. Di era post-truth dan death of expertise, faktor ini menjadi penting agar hanya orang yang memiliki pengetahuan dan kewenangan yang membuat pernyataan-pernyataan ilmiah. Dengan cara ini, kita menghindari carut-marut dunia sosial yang dipenuhi hoax dan kabar burung yang tak terverifikasi.

Lalu Apa yang Bisa Disempurnakan ke Depan?

Menurut saya, keragaman topik yang menjadi kekuatan itu bisa juga berbalik menjadi kelemahan. Jadi, keragaman tersebut memakan “korban”. Misalnya, tips praktis, hasil penelitian, kajian pustaka, esai argumentatif, dan esai naratif berpadu di satu buku ini. Akhirnya, spirit atau ikatan yang ingin dijalin oleh buku ini jadi kurang jelas. Tata cara penulisan pun beragam, misalnya, hasil penelitian ditulis dalam bentuk past tense dan sebagian present tense. Selain itu, beberapa artikel dilengkapi abstrak, sebagian malah tidak.

Saya pun usul. Bagaimana jika buku ini membahas suatu topik secara runtun. Sebagai benchmark, buku antologi yang disunting Anne Burns dan Jack C. Richards, yang berjudul Cambridge Guide to Second Language Teacher Education bisa dijadikan contoh. Di situ, dikupas tuntas dan runtut tentang Part I Issues and Approaches in teacher education, lalu Part II Investigating Teachers and Learners in the Classroom, Part III The Practicum, Part IV Supervision, Part V Self-Observation in Teacher Development, dan terakhir, Part VI Case Study.

Apakah usul saya diterima? Tentu saya tidak tahu. Yang saya yakin, usul apa pun akan dipertimbangkan sebagai bahan masukan dan perbaikan.

PR Bersama

Saya pun di akhir acara menyuarakan suatu concern tentang tren penelitian dan tulisan terkait pembelajaran bahasa Inggris. Menurut saya pribadi, kebanyakan penelitian dan tulisan hanya berkisar urusan epistimologi. Artinya, yang diteliti dan dikaji hanya “bagaimana bahasa Inggris bisa kita kuasai”. Yang kita ulik kemudian hanya urusan strategi belajar, strategi pembelajaran, motivasi, minat, penguasaan, keterbacaan, kemampuan, dll sebagainya.

Yang kita lupakan adalah sisi ontologi dan aksiologi. Ontologi, sebagaimana saya diajari oleh Pak Ajang Budiman di UMM, mengupas tentang hakikat. Artinya, hakikat bahasa Inggris itu sendiri. Di berbagai kesempatan, kita, atau apa hanya saya sendiri ya, tidak pernah tahu apakah bahasa Inggris yang kita ajarkan adalah  bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris UK, atau bahasa Inggris Afrika Selatan. Beda misalnya dengan pembelajar dari Singapura, yang tahu dari awal bahwa mereka belajar Singlish atau Singapore English. Artinya, perlu ada kejelasan yang didasarkan pada penelitian atau politik bahasa.

Kita juga tidak banyak tahu sebenarnya bahasa Inggris ini akan kita gunakan untuk apa. Sebab, need analysis yang dilakukan kebanyakan terkait profesi di masa depan. Bukan terkait nilai-nilai filosofis kebangsaan. Semisal apakah bahasa Inggris yang kita pelajari digunakan untuk menyebarkan paham ideologi Pancasila ke seluruh dunia. Atau, jangan-jangan kita belajar bahasa Inggris hanya untuk memahami lirik Ice Cream yang dinyanyikan Blackpink dan Selena Gomes. Atau sebenarnya para siswa kita belajar bahasa Inggris hanya untuk memahami pidato RM, leader dari boyband BTS di PBB.

Entahlah.

Setelah itu, saya membahas kemungkinan keteririsan antara konsep Taksonomi Bloom dengan Teologi Alma’un khas Muhammadiyah. Namun, kapan-kapan saja kita bahas. Sudah terlalu panjang tulisan ini.

Sebagai penutup, moto yang disampaikan Steve Jobs dalam acara kelulusan di Stanford University saya tampilkan.

Artinya, ya silakan cari sendiri di Google hehe..

Sekali lagi, saya ucapkan selamat kepada Pak Estu Widodo dan Prodi Magister Pendidikan Bahasa Inggris yang sudah berhasil melakukan langkah konkret dengan menerbitkan buku ini. Selanjutnya, mudah-mudahan buku ini terus disempurnakan sebagaimana iPhone, yang sekarang sudah iPhone 11. Dan para alumni, para mahasiswa, para penulis, dan para editor, seperti kata Pak Steve Jobs tadi, stay hungry and stay foolish.

Kesimpulannya, buku ini layak dibeli, dipelajari, dan dikoleksi?

Sangat. Layak sekali. Buku ini bagus tampilan fisiknya, demikian juga keragaman isinya. Dan keluasan ilmu yang dituangkan para penulisnya.

Puisi Love's Philosophy - Percy Bysshe Shelley - Terjemahan dan Analisisnya

Sebelumnya, saya pernah mengulas salah satu puisi terkenal, yang berjudul Ozymandias karya Percy Bysshe Shelley. Pada kesempatan kali ini, saya ingin membahas puisi oleh penulis yang sama, tetapi beda topiknya. Bila Ozymandias berkisah tentang sejarah, Love's Philosophy lebih bernuansa romantis. 

Yuk kita baca dulu puisi berjudul Love's Philosophy ini.

The fountains mingle with the river
And the rivers with the ocean,
The winds of Heaven mix forever
With a sweet emotion;
Nothing in the world is single,
All things by a law divine
In one spirit meet and mingle -
Why not I with thine?

See the mountains kiss high Heaven
And the waves clasp one another;
No sister-flower would be forgiven
If it disdained its brother;
And the sunlight clasps the earth,
And the moonbeams kiss the sea -
What are all these kissings worth
If thou kiss not me?

Berikut adalah terjemahannya:

Mata air bercengkerama dengan sungai
lalu sungai-sungai dengan samudera
Angin Surgawi berpadu abadi
dengan perasaan yang manis;
Tak ada satu pun di dunia ini tercipta sendiri
Semua hal diatur takdir Ilahi
Bertemu dan menyatu -
Mengapa denganmu aku tak mampu?

Lihatlah pegunungan mencium mesra Surga
dan ombak-ombak saling bergulung manja
Bunga betina takkan pernah dimaafkan
jika mencemooh si saudara jantannya
Dan sinar mentari memeluk bumi
Dan cahaya rembulan mencium lautan
Apa gunanya ciuman-ciuman itu
Jika kau tak menciumku?

Air Terjun Tumpak Sewu - Lumajang
Yuk kita bahas dulu struktur luar puisi Love's Philosophy ini. Puisi ini terdiri atas 2 bait/stanza yang masing-masing memiliki delapan baris. Sementara itu, rima yang digunakan adalah ABAB CDCD.

Untuk bahasa yang digunakan, ada dua majaz yang mencolok. Pertama, pertanyaan retoris. Pertanyaan retoris bertujuan untuk meminta penjelasan atau kejelasan, bukan jawaban. Dalam puisi ini, si penulis mengajukan pertanyaan retoris di akhir masing-masing bait. Contohnya “Why not I with thine?” yang saya terjemahan menjadi "Mengapa denganmu aku tak mampu?"

Kedua adalah personifikasi. Personifikasi berarti memasangkan karakteristik khas manusia ke benda yang tidak bergerak atau bergerak. Contohnya “The fountains mingle with the river” atau "Mata air bercengkerama dengan sungai" serta  “Seee The Mountains kiss high heaven” atau  "Lihatlah pegunungan mencium mesra Surga". Mata air atau fountain dan pegunungan atau mountains diberi karakteristik seperti manusia, yaitu bercengkerama dan mencium.

Setelah kita membahas aspek teknis, mari kita bahas aspek maknanya sekarang. Apakah ada makna mendalam dari puisi yang berjudul Philosophy atau Filsafat ini?

Kata filsafat sendiri selalu mengaitkan pikiran kita dengan hal-hal yang rumit, yang hanya bisa dipahami oleh para kutu buku dan pemikir serius. Kata filsafat biasanya membuat dahi kita berkerut. Lalu bagaimana dengan puisi ini?

Ternyata puisi ini tidak mendalam, dalam artian tidak membahas hal-hal yang menyangkut ontologi, epistimologi, atau aksiologi. Puisi ini ternyata adalah gombalan dari seorang pecinta terhadap orang yang dicintainya. Dia memanfaatkan citraan alam untuk menyampaikan argumentasinya bahwa semuanya terdiri atas dua hal yang pada akhirnya menjadi tunggal. Mata air bercengkarama dengan sungai, mengapa dia tidak bisa.

Puisi ini bila disingkat menjadi satu kalimat dalam bahasa Indonesia masa kini mungkin:
Truk saja gandengan, kok kita tidak?

Karena Love's Philosophy tidak filsafat-filsafat banget bila dipahami sebagai gombalan-gombalan saja, ya kita terjemahkan saja menjadi Gombal Mukiyo.

Gimana setuju?

alfabet

aku itu A
hampir ada di setiap kata
menciptakan bermiliar kalimat, ungkapan jiwa

aku itu B
ikhlas menjadi yang kedua
sekadar ada pun tak apa, asal berguna

aku itu C
jalan ninjaku menjadi cukup & ceria
tak pernah berharap, tak pernah pula kecewa

aku itu D
menyertai derap langkah
menyerap setiap keluh kesah

.....

aku itu Z
terakhir tak harus kesepian
karena jarangku pun diperhatikan dan dirindukan

 



Perjuangan Menimba Ilmu

Perjuangan Menimba Ilmu

Seperti hari-hari biasanya, Azam memulai hari dengan membantu sang ibu mencuci baju, membersihkan kamar, merapikan seprai, atau memasak. Setelah rutinitas itu selesai, Azam lalu pergi bermain.

Namun, hari itu ada pemandangan berbeda. Saat tengah asyik bermain, ia melihat seorang anak lelaki yang tampak kewalahan. Keringatnya mengucur deras dari dahi dan membasahi kaos t-shirt berwarna putih yang bergambar garuda Pancasila. Napasnya tersengal-sengal. Wajahnya terlihat pucat pasi.

Tak tega, Azam pun bergegas untuk mendekati anak tersebut dan berpamitan kepada teman-temannya yang sedang bermain sepakbola. Setelah melihat sejenak, ternyata rantai sepedanya terputus. Karena terselip di antara roda gigi belakang, sepedanya pun berat saat dituntun. Meskipun sudah mencoba memperbaiki, masalahnya tak kunjung teratasi malah cenderung tambah parah.

Ari pun bilang agar sepeda tersebut tetap dituntun saja. Mendengar itu, Azzam pun berkata bahwa akan membantu mendorong sepeda tersebut.

“Oya, namaku Azam, namamu siapa?” sapa Azam yang lupa sedari tadi tidak memperkenalkan diri.

“Oo Azam. Namaku Ari.” balasnya sambil menjabat tangan yang dijulurkan oleh Ari. Ari tersenyum. Meskipun napasnya masih tersengal, dia terlihat lega sekali. “Terima kasih ya.”

“Iya, sama-sama. Omong omong rumahmu di mana Ari?”

“Tepat sebelum perempatan itu”

“Oh, kamu anak baru yang menempati rumah besar itu ya?”

“Iya aku baru pindah dari Lawang. Sejujurnya, aku belum sempat berkenalan dengan anak-anak di sini. Malu” Ari mengelap peluh yang menetes dari dahi dengan kaos putih. Kaosnya pun jadi berwarna kekuning-kuningan. Ia lalu bercerita bahwa ia pindah ke Singosari karena rumah lamanya harus dihancurkan karena proyek jalan tol yang melintasi Lawang. Karena belum punya teman, Ari lantas sering bersepeda sendirian.

“Kalau kamu mau, besok aku temani berkenalan dengan teman-teman di sini. Mereka asyik-asyik anaknya.”

“Alhamdulillah, terima kasih ya. Oh kita sudah sampai di rumah.” Ari lantas membuka gerbang besar berwarna cokelat. Karena kesulitan mendorong, Azzam pun ikut membantu. Sepeda lalu dimasukkan ke teras luas yang berwarna abu-abu. Meskipun ingin melihat dengan seksama tamannya Ari, Azzam sungkan sehingga dia memalingkan muka.

“Terima kasih sudah membantu ya, Azzam.”

“Ya, sama-sama Ri”

Azam lalu bergegas pulang karena terdengar suara azan dzuhur dari masjid Annur. Di jalan, Azzam tersenyum. Ia teringat nasihat ayah dan ibunya untuk selalu ringan tangan.

Sesampainya di rumah, dia menceritakan kejadian itu kepada sang ibu.

**

Keesokan harinya, sesuai janji, Azam menuju ke rumah Ari. Di sepanjang jalan, Azzam terlihat bingung. Dia bingung tentang bagaimana ya caranya memanggil Ari.

Sesampainya di rumah Ari, Azzam mengetuk pintu gerbang. Namun, bukannya terdengar kencang, tangannya malah sakit karena pintu gerbangnya sangat tebal. Azzam lalu mondar-mandir di depan gerbang.

Untungnya, lima menit kemudian, ada sepeda motor yang mendekat. Si pengendara sepeda motor lalu bertanya kepada Azzam sedang mencari siapa. Ternyata si pengendara adalah kakaknya Ari.

Ari pun dipanggil oleh kakaknya. Setelah itu mereka berangkat ke pos kamling, tempat berkumpulnya anak-anak Jl Masjid Barat.

“Assalamualaikum” ucap Ari saat mendekati pos kamling.

“Waalaikum salam” balas mereka serempak.

“Ini Ari, teman-teman”

“Salam kenal semuanya.” ucap Ari.

Mereka lalu bersalaman sambil memperkenalkan nama masing-masing. Mereka pun berangkat main di sawah. Setelah berpeluh-peluh di sawah, mereka mandi di kali yang ada di samping masjid.

Saat adzan duhur berkumandang, mereka saling berpamitan. Azam dan Ari pulang bersama sambil membahas betapa seru petualangan mereka barusan. Ari juga bercerita bahwa besok ia tidak bisa main besok pagi meskipun tidak bersekolah. Sebab, pertemuan tatap muka diganti dengan pembelajaran daring dan semua tugas diberikan melalui hape.

**

Azam bingung dan pusing mendengar cerita Ari. Daring. Pembelajaran jarak jauh. Hape. Dia sulit mencerna kata-kata itu. Bukannya tidak tahu, Azam hanya bingung karena keluarganya tidak ada yang punya hape.

Azam sendiri hidup pas-pasan bersama sang ayah yang bekerja serabutan. Ibunya ibu rumah tangga biasa. Sepanjang malam Azam bimbang. Bila memberi tahu orang tuanya, ia khawatir membuat mereka bingung. Tapi bila tidak memberi tahu, mereka juga akan bertanya-tanya karena Azam tidak berangkat sekolah. Pikiran yang berjolak dan hati yang gundah tetap saja kalah oleh rasa lelah. Azam pun tertidur.

**

Seusai sholat subuh, Azam berketetapan hati untuk menyampaikan apa yang terjadi. Namun, sebelum ia sempat berkata-kata, sang ayah menanyai

“Zam, kamu kok wajahnya bingung begitu to le?”

“Ya Pak, sejak semalam nggak bisa tidur?

“Kenapa”

“Hari ini sekolah online Pak. Sekolah online artinya make hape. Kita kan nggak punya Pak?” ucapnya sambil menundukkan wajah yang lesu.

Mendengar itu, sang ayah mengatakan bahwa akan mengusahakan. Azam tahu bahwa itu sekadar menghibur. Jangankan hape, untuk makan saja, kadang mereka kesulitan.

Beberapa saat berselang, ibunya memanggil. Ia tidak lagi bernafsu makan atau minum. Di benaknya, dia hanya berpikir bagaimana caranya sekolah online. Hape pun tak punya. Terbayang kemudian cita-citanya untuk menjadi dokter. Bagaimana ia bisa menjadi dokter, sekolah daring pun dia tidak bisa.

Setelah makan dan berpamitan kepada sang ibu, dia keluar mencari teman-temannya. Tentu saja tidak ada sama sekali karena mereka belajar online. Dia pun sendirian di pos kamling.

Beberapa waktu kemudian, ada sepeda motor yang lewat. Terdengar ada yang memanggil namanya. Ternyata Ari.

“Zam kamu kenapa kok sendirian di situ” ujar Ari yang mendekatinya setelah turun dari sepeda motor ayahnya.

“Aku bingung Ri. Hari ini mulai sekolah online dan kami sekeluarga nggak punya hape”

“Jadi, kamu nggak bisa belajar online?”

Azam tertunduk lesu. Wajahnya terlihat gusar. Sorot matanya kosong.

Ari lalu bergegas ke arah sang ayah, lalu kembali mendatangi Azam.

“Gimana kalo kamu ke rumahku aja Zam. Kata ayah, kamu boleh make hapeku satunya. Ada satu hapeku yang sudah gak kepake”

“Wah beneran ini? Aku nggak mengganggu kan Ri”

“Iya beneran.” Ari menatap kedua mata kawan yang baru dikenalnya dua hari itu. “Kata ayah boleh kok. Malah ayah yang nyuruh” lanjut Ari.

“Ayo sekarang ke rumah” ajak Ari sambil menarik tangan Azam.

Azam lalu mengajak Ari untuk pulang dulu untuk berpamitan dengan ibunya sekaligus mengambil buku.

Azam sebenarnya malu saat memasuki pelataran rumah besar Ari. Namun, Ari keukeh. Ibunya Ari lalu menyambut mereka berdua dengan senyum. Ari dan Azam mencium tangan beliau.

**

Azam lega bisa bersekolah. Ari pun tak kalah bahagia karena bisa membalas kebaikan hati Azam.

*Oleh Kafka Abdurrahman Haryadi

Dear K - Jadilah Semut (Amplop 2)

Dear K,

Belajar online pada masa pandemi Covid-19 ini benar-benar pengalaman baru yang tak pernah diantisipasi siapa pun. Kau tidak siap. Ayah pun begitu. Bukan hanya bagi kita, semua orang pun begitu. Tak selalu berjalan mulus. Tak selalu lancar. Kadang semangatmu ambyar perlahan.

Pada satu hari, motivasimu sedang rendah-rendahnya, dan pekerjaan ayah sedang banyak-banyaknya. Kombinasi itu jelas buruk untuk mengawali hari kita berdua yang masih panjang. Namun, toh kita juga berhasil mengatasinya. Bersama-sama. Kita berhasil mencari jalan tengah agar tak ada salah satu dari kita yang menjadi “pihak kalah.”

Ayah senang hari ini engkau mendapat tugas membaca cerita tentang semut dan burung. Berikut nukilan ceritanya.

Pada suatu pagi yang basah karena hujan, semut menikmati pemandangan hutan yang segar dengan riang gembira. Tak jauh dari sana, ia mendengar suara aliran air sungai, yang entah mengapa menarik hatinya. Merasa penasaran, ia pun bergegas menuju asal suara. Saat berada di atas salah satu ranting pohon, semut bersenandung riang, si semut takjub dengan keindahan pemandangan dan sekaligus suara aliran air. "Segar sekali sepertinya air sungai di bawah ini" gumamnya dalam hati.

Ia lalu turun dari batang pohon dan menuju tepian sungai. Karena kurang berhati-hati, ia terpeleset. "Pluk" dan ia pun tercebur ke sungai. Derasnya arus sungai menyeret tubuhnya yang mungil.

“Toloooooooooooooooooong…,” teriak si semut yang panik karena tubuhnya terseret mudah. Sialnya, suara semut terlalu pelan sehingga teredam suara air yang sangat keras.

Di salah satu rating pohon sekitar 500 meter di hilir, seekor burung merpati bertengger asyik menikmati desir angin. Entah digerakkan kekuatan apa, kepalanya menoleh dan matanya tertuju pada sesosok semut yang berjuang menyelamatkan diri di tengah derasnya arus sungai.

“Aku harus menyelamatkannya” pekik si merpati di dalam hati. Si merpati lalu terbang ke tepi sungai dan memungut daun yang jatuh. Ia terbang dan menjatuhkan daun itu di dekat semut. Dengan sekuat tenaga, semut berusaha naik ke daun itu, dan berhasil. Meski sempat terhuyung, si semut akhirnya bisa mencapai daerah pinggiran sungai.

“Terima kasih, ya!” teriak si semut.

Karena suaranya lirih , si merpati tak mendengar dengan jelas lalu terbang sambil tersenyum.

Beberapa minggu berselang, merpati bertengger di salah ranting pohon. Di ketinggian sekitar 15 meter dari tanah, ia bisa melihat pemandangan yang indah sambil menikmati udara yang sejuk.

Ia tak sadar bahwa ada seorang pemburu yang mengarahkan senjatanya ke merpati itu. Si pemburu bergerak perlahan supaya tidak menimbulkan suara. Si merpati tak sadar sedang dalam bahaya.

Saat bersiap menarik pelatuk senjatanya, ia berteriak lantang sekali. Kaget, senjatanya pun lepas dari genggaman. Ternyata, tangannya digigit semut.

Mendengarkan teriakan lantang si pemburu, merpati Iangsung terbang. Ia sadar bahwa ia baru saja lolos dari kematian. Dari kejauhan, ia melihat semut yang melompat dari tangan si pemburu. Sadarlah ia bahwa semut itu telah menyelamatkan hidupnya.

“Terima kasih semut!” teriak merpati sambil terbang menjauh, menghindari si pemburu. Semut pun mendengar kicauan terima kasih si burung. Ia sangat senang karena bisa membalas budi baik merpati.

Dan begitulah cerita itu engkau baca dengan lantang.

Sebagaimana yang diajarkan dan diujikan di buku, pesan moral dari kisah ini adalah kita akan mendapatkan balasan atas kebaikan yang kita lakukan. Sekecil kebaikan itu, kita akan mendapatkan balasannya.

Tak salah memang. Itu benar adanya. Sedikit kebaikan, yang mungkin kau remehkan, bisa jadi kebaikan yang membawamu ke surga.

Namun, bila boleh ayah berpesan, posisikan dirimu sebagai semut saja. Lakukan kebaikan itu karena engkau merasa berutang budi. Atas kebaikan yang pernah dilakukan orang lain, baik kausadari maupun tidak. Atas doa yang dipanjatkan orang lain, entah kau tahu atau tidak. Atas kesehatan yang dianugerahkan Tuhan, pernah kau syukuri atau tidak.

Jadilah semut yang selalu merasa berutang budi dan tak pernah berharap balas budi. Tak mudah, tapi kita harus selalu berusaha...


Memutar Kembali Sang Waktu

 Siang itu, hari Senin yang terik pada 2006 akhir, aku mengantarnya ke suatu sekolah menengah atas swasta yang cukup terkemuka di Singosari. Dengan sepeda motor Astrea Grand hitam lansiran tahun 1995, yang joknya sudah robek karena dicakar kucing, dia harus kuantar untuk mencoba peluang ini.  Ya, hitung-hitung sebagai upaya seorang calon suami yang bertanggung jawab.

Setengah jam rasanya perjalanan dari Dinoyo dan Malang. Cukup lama bagiku, tetapi cepat sekali baginya. Setelah turun dari sepeda motor, dia mengayunkan langkah. Tak lama berselang, dia kembali.

“Aku gak berani. Ayo pulang saja.” tatapnya memelas. Rangkaian keraguan demi keraguan menghiasi sebagian besar raut mukanya.

“Gak berani apanya” jawabku ketus dan agak lantang. Mataku melotot. Tatapanku serius. “Kita sudah jauh-jauh ke sini. Kamu harus masuk. Kalo nggak berani masuk, kamu pulang sendiri saja ke Malang.”

Dari tatapannya, kutahu ia kecewa, takut, cemas, dan gugup. Singkatnya, dia serasa ingin mual. Dia toh tetap masuk melewati gerbang sekolah berwarna hijau itu. Saat berangsur hilang dari pandangan, kuantar dia dengan segenap doa agar dia dikuatkan. Apa pun keputusan yang diterima setelah keluar dari gerbang itu, dia harus bisa menerimanya. Harus ikhlas. Lalu belajar bangkit dan mencoba lagi. Setelah beberapa kali gagal, toh gagal sekali lagi takkan banyak mengusik hati.

Dalam momen menunggu itu, teringat kilasan-kilasan peristiwa selepas kami lulus kuliah sampai detik itu. Takdir memutuskan aku langsung bekerja di kampus tempat kami dulu menimba ilmu. Sementara itu, dia harus mengumpulkan sekira 100 lebih alamat sekolah SD, SMP, dan SMA. Daftar panjang itu lalu disortir menjadi daftar pendek sekolah yang kemungkinan bisa menerima lamaran pekerjaannya. Ya, alasan ekonomislah penyebabnya daftar panjang itu kami sortir. Dengan uang yang tersisa, kami bolak-balik memfotokopi ijazah, membeli amplop, lalu mengirimnya lewat kantor pos.

Jam berdetak, hari berlalu, minggu beringsut, tak juga dia mendapatkan panggilan untuk ikut tes atau wawancara.

Di tengah masa tunggu, dia terus melanjutkan rutinitasnya mengajar bahasa Inggris di salah satu pondok di Singosari. Bila tak ada kesibukan yang betul-betul mendesak, selalu kuluangkan waktu untuk mengantarnya.

Saat kegalauan melanda dan gundah gulana meraja, keluarganya di Jombang mengultimatum agar dia pulang saja dan mencari pekerjaan atau bahkan jodoh di Jombang, bila tidak kunjung mendapatkan pekerjaan di Malang. Ultimatum itu tidak hanya mengejutkan, tapi juga membuatku gentar. Sebab, kami mungkin akan menjalani LDR, yang menurut cerita banyak orang, lebih banyak cerita gagalnya daripada cerita suksesnya.

Dan, kami galau. Sebagai orang yang terlahir pesimis, kurasa hubungan kami di ujung tebing curam saja.

Lolos dari Lubang Jarum

Di tengah-tengah masa tunggu yang penuh ketidakpastian dan mencemaskan itu, dia tersenyum lebar dan wajahnya merona penuh bahagia pada suatu Ahad pagi saat kujemput dari pondok.

“Aku diminta datang besok ke SMAI Singosari” ujarnya saat naik ke sepeda motor.

“Oya, ngapain?”

“Salah satu santri NH bilang ke kepala sekolahnya bahwa dia punya guru bahasa Inggris di Pondok NH, yang sepertinya cocok bila mengajar di SMAI. Lalu, singkat kata si Kepala Sekolah meminta santri putri tersebut untuk menyampaikan kabar baik ini.”

“Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah” ucapku berkali-kali. Di mulut terlebih di hati.

Seandainya bisa kami temui lagi santri putri bernama Tika ini, kami akan terus berterima kasih yang tak terhingga atas bantuannya. Dia tidak hanya menunjukkan jalan, tapi juga memastikan hubungan kami berdua lebih pasti. Lebih jelas tanpa drama LDR, yang mungkin sulit kami lewati.

Beberapa bulan kemudian, aku baru tahu cerita lengkapnya, yang bila direkonstruksi begini.

Tika sangat terinspirasi dengan cara mengajar si guru bahasa Inggris ini. Si guru ini, menurut Tika, tulus. Mendobrak semua aturan kaku tentang hubungan antara guru dan santri putri. Baginya, si guru lebih seperti sahabat atau kakak. Tika tahu betul bahwa si guru sudah lulus kuliah dan sedang mencari pekerjaan, sebab para santri putri dan si guru bahasa Inggris ini kerap bertukar cerita. Sering saling curhat. Tika lalu berinisiatif menemui Kepala Sekolah untuk menanyakan apakah ada lowongan guru bahasa Inggris. Entah bagaimana ceritanya, saat itu, baru saja ada guru perempuan yang mengundurkan diri dari sekolah. Jadi, ada satu posisi guru bahasa Inggris yang lowong. Sang Kepala Sekolah, Bapak Anas, lalu, entah mengapa juga, mengiyakan dan meminta Tika agar si guru bahasa Inggris datang ke sekolah hari Senin untuk wawancara dan menyerahkan berkas-berkas.

Akhir itu Awal

Setelah sekitar 20 menit menunggu, dia keluar dari gerbang dengan seringai bahagia dan tak hentinya tersenyum. Wajah kecewa yang dia tunjukkan saat masuk sirna sama sekali.

“Aku diminta mulai kerja Senin depan” katanya dengan senyum terus mengembang sepanjang perjalanan.

Dan kebahagiaan itu mudah menular sehingga aku pun ikut bahagia tak terkira. Rasanya, sepanjang jalan Singosari – Dinoyo sangat mulus. Wangi bunga melati mengikuti kami. Lingkaran pelangi melengkung indah dan mewarnai perjalanan kami siang itu. Aneh memang, sebab tak ada hujan sehingga pelangi tak mungkin muncul

Setelah periode “bulan madu” itu, kami dihadapkan pada kenyataan bahwa statusnya adalah guru kontrak yayasan. Karena guru kontrak yayasan dan masih baru, jam mengajarnya pun sedikit. Gajinya pun juga tak banyak. Bila dihitung-hitung, rasanya gajinya hanya cukup untuk membayar angkot Dinoyo – Singosari.

Kami pun mencari jalan tengah. Aku mengantarnya agar hemat biaya transportasi. Bila aku sedang tidak ada jadwal mengajar, aku menunggunya di Mushola Waqaf lawas di Jalan Keramat. Sangat sering, aku bisa menyelesaikan satu buku saking lamanya menunggu. Bila bosan menanti, kadang-kadang lalu berpindah ke lapangan Tumapel. Saking lelahnya, tak jarang aku tertidur di atas sepeda yang kudongkrak tengah.

Singkat cerita, kami pun menikah. Masalah ekonomi lalu mengiringi. Membayar kontrakan. Listrik. Iuran. Dan segenap tagihan lain. Rasanya dunia mulai menghimpit. Napas kadang tersengal, bukan karena olah raga, tapi karena beban tagihan.

“Aku berhenti saja ya jadi asisten pengajar ini” ujarku pada suatu hari. Dia terkejut. “Aku kurang berbakat jadi pengajar. Sampeyan yang lebih berbakat. Jadi, kita bagi tugas: aku cari uang, sampeyan cari pahala dari berbagi ilmu. Setiap bulan sampeyan harus transfer pahala, aku transfer duit belanja ya.”

Wajahnya lalu sembab oleh air mata.

“Sampeyan bisa menyentuh banyak hati karena menurutku sampeyan mengajar dari hati dan dengan hati. Kayaknya, Tika memberanikan diri dan menekan rasa gugupnya dan menemui kepala sekolah itu ya karena itu. Karena dia memperjuangkan sampeyan agar bisa terus jadi guru. Karena dia ingin banyak anak yang bangkit dan berani karena terinspirasi sampeyan.”

Alhamdulillah, keputusan kami tepat. Relatif banyak hati berhasil dia sentuh. Sebagian pikiran berhasil dia luruskan. Sebagian jalan ia bantu luruskan. Sebagian suasana dia ceriakan.

Saat kekecewaan menghantam atau kesedihan menerkam, lalu dia terhuyung dan kehilangan pijakan, aku selalu mengulangi cerita ini. Karena ingatan mudah tergerus putaran waktu, kuputuskan menulisnya di sini. Meskipun aku tak tahu, apakah tulisan ini masih ada gunanya.

Pada satu titik terendah, mungkin aku perlu mengajaknya kembali menengok titik awal saat kami memulai. Saat kubonceng dengan sepeda grand hitam lalu sedikit “membentaknya” untuk mendorong agar dia berani mencoba. Saat Tika berani menggedor pintu kepala sekolah padahal dia hanya siswi biasa. Kami perlu mencoba memulai lagi semuanya dari awal. Dari titik saat aku mengantarnya ke pintu gerbang berwarna hijau.



Seperti yang mungkin kau duga, ya kumaksud si guru bahasa Inggris itu Yulia Dian Nafisah.

Dear K - Jadilah Dirimu yang Terbaik (Amplop 1)

Singosari - Hari Ahad sore 30 Agustus 2020 itu, kau berangkat dengan riang. Kau akan melihat teman-temanmu berlomba. Mulai dari lomba kelereng, memasukkan paku ke dalam botol, hingga sepakbola.

Dan kau berkata tidak akan ikut. "Hanya ikut nonton" katamu. Beberapa saat kemudian engkau dijemput teman-temanmu lalu adikmu ikut serta. 

"Ikuto saja Le. Toh nggak ada biayanya" saran ayah.

"Nggak. Mau nonton saja" sergahmu sambil tersenyum lalu turun dan menyusul teman-temanmu, berlari menuju sawah di samping kantor kelurahan.

Meskipun sejatinya ayah dan ibu ingin kamu ikut lomba, kami maklum dan oke-oke saja bila pada akhirnya engkau tidak ikut lomba. Saat kami mendorongmu ikut lomba, itu sebenarnya agar tumbuh rasa percaya dirimu. Agar tumbuh keberanianmu. Agar tumbuh rasamu ingin berusaha. Tak perlu kau menang. Ikut lomba saja kami sudah senang. 

Namun toh itu hidupmu, yang perlu kau jalani dengan riang. Dengan keputusan yang kamu ambil sendiri. Dengan konsekuensi yang kamu tanggung sendiri. Pada akhirnya, ayah dan ibu hanya ingin mendampingi dan mendorongmu mengambil langkah yang mungkin kau ragu. Ayah dan ibu hanya ingin seperti itu. Menjadi pendorong dan menjadi orang yang menerima apa pun keputusanmu pada akhirnya.

Beberapa saat kemudian engkau pulang dengan sama sumringahnya. Wajahmu bersinar bahagia. 

"Aku menang"

"Lomba apa Le?" tanya ibumu sambil tersenyum. "Selamat ya. Sampeyan itu lho bisa."

"Pukul air." Engkau tersenyum lebar dan tertawa.

"Juara berapa"

"Nomor satu Bu."

"Selamat ya Le" kata ayah sambil merentangkan tangan dan memelukmu. Lama sekali dan ayah tidak ingin melepaskannya. Ayah mendekapmu dengan rasa bangga sekaligus bahagia.

Ayah bangga atas kemenanganmu, tapi ayah lebih bangga atas kemauanmu mencoba. Engkau bisa saja menolak dan menolak terus, tapi kau mau mencoba. Mau menerima risiko kegagalan. Mau menanggung rasa malu seandainya gagal. Dan kau melakukan semua dengan riang gembira.

Ayah ingat bahwa ayah dulu juga hanya menang satu lomba, yaitu makan kerupuk. Itu pun juara kedua dari lima peserta hehe... dan pencapaianmu ini jauh lebih baik.

Ayah langsung teringat suatu puisi, yang judulnya jadilah dirimu yang terbaik.

Jika kau tak dapat menjadi pohon meranti di puncak bukit
jadilah semak belukar di lembah,
Jadilah semak belukar yang teranggun di sisi bukit
Kalau bukan rumput, semak belukar pun jadilah

Jika kau tak boleh menjadi rimbun, jadilah rumput
dan hiasilah jalan dimana-mana
Jika kau tak dapat menjadi ikan mas, jadilah ikan sepat
tapi jadilah ikan sepat di dalam paya

Tidak semua dapat menjadi nahkoda,
lainnya harus menjadi awak kapal dan penumpang
Pasti ada sesuatu untuk semua
Karena ada tugas berat, ada tugas ringan
Diantaranya dibuat yang lebih berdekatan

Jika kau tak dapat menjadi bulan, jadilah bintang
Jika kau tak dapat menjadi jagung, jadilah kedelai
Bukan dinilai kau kalah ataupun menang
Jadilah dirimu sendiri yang terbaik   

Tak perlu selalu menjadi pemenang atas segala usaha. Jadilah dirimu yang terbaik, apa pun itu. Sekecil atau sebesar apa pun. Jadilah dirimu yang terbaik, versimu sendiri. Tak perlu selalu jadi yang terdepan dan tertinggi, jadilah orang yang mau mencoba dengan upaya terbaik.

Itu saja, kami sudah bangga.


 

  

mimpi

mimpi

kau datang tanpa kuduga
tiba-tiba tanpa aba-aba
masuk begitu saja, tanpa permisi
tanpa basa-basi

kau bercerita tentang masa lalu kupendam, rasa sakit yang kucoba sembuhkan, kecewa yang kucoba pulihkan, harapan yang sering kali bertepuk sebelah tangan, cita-cita yang tak tercapai.

saat batinku remuk redam
kau tiba malam-malam
mataku terpejam
kesadaranku tenggelam.

kau pergi lagi
sebelum datang mentari pagi
hatiku terobati
jiwaku pun tenang kembali.


oh mimpi, andai seperti itu juga cinta
memberikan pelipur lara
bukan datang lantas menggores luka

kau itu seni

engkau lukisan
yang tak pernah penat kugurat

engkau puisi
yang tak pernah letih kutulis

engkau karya rupa
yang tak pernah lelah kupahat

engkau  cinta
yang tak pernah putus kuharap

engkau adalah...






Arti Lirik Lagu Tears in Heaven by Eric Clapton, serta Ceritanya

Salah satu lagu tentang ayah dan anak adalah father and son yang dinyanyikan oleh Cat Stevens alias Yusuf Islam.

Ada satu lagi lagu ayah dan anak yang cukup legendaris dan klasik. Ya, lagu itu adalah Tears in Heaven yang dinyanyikan sekaligus diciptakan oleh Eric Clapton bersama Will Jennings.

Sebelum kita bahas sejarahnya, baiknya kita lihat lirik dan terjemahannya di bawah ini. 

Would you know my name
Akankah kau kenali namaku
If I saw you in heaven?
Jika kujumpai kau di surga?
Would you feel the same
Akankah perasaanmu sama
If I saw you in heaven?
Jika kujumpai kau di surga?
I must be strong and carry on
Aku harus tegar dan bertahan
’cause I know I don’t belong here in heaven...
Karena kutahu surga bukan tempatku...
 
Would you hold my hand
Akankah kau genggam tanganku
If I saw you in heaven?
Jika kujumpai kau di surga?
Would you help me stand
Akankah kau bantu aku berdiri
If I saw you in heaven?
Jika kujumpai kau di surga?
I’ll find my way through night and day
Kan kutemukan jalan tuk lewati siang dan malam
’cause I know I just can’t stay here in heaven...
Karna kutahu aku tak bisa tinggal di sini, di surga...
 
Time can bring you down, time can bend your knees
Waktu bisa meruntuhkanmu, waktu membuatmu bertekuk lutut
Time can break your heart, have you begging please...begging please
Waktu bisa patahkan hatimu, memaksamu memohon-mohon
 
Beyond the door there’s peace I’m sure
Di luar pintu kuyakin ada kedamaian
And I know there’ll be no more tears in heaven...
Dan kutahu takkan ada lagi air mata di surga...
 
Would you know my name
Akankah kau kenali namaku
If I saw you in heaven?
Jika kujumpai kau di surga?
Would you feel the same
Akankah perasaanmu sama?
If I saw you in heaven?
Jika kujumpai kau di surga?
I must be strong and carry on
Aku harus tegar dan bertahan
’cause I know I don’t belong here in heaven...
Karena kutahu surga bukan tempatku...

Sebagaimana dilansir wikipedia, lagu ini diciptakan oleh Eric menyusul dua kejadian tragis, yaitu meninggalnya sang manajer Stevie Ray Vaughan setelah kecelakaan helikopter dan meninggalnya sang buah hati, Conor Clapton yang jatuh dari jendela apartemen lantai 53 di New York.

Dua kondisi tadi membuat Eric menyepi dan merenung. Setelah selesai dalam periode berkabung, beliau menulis lagu untuk soundtrack film Rush (1991). Lalu ditulislah lagu ini bersama Will Jennings tadi itu. Lagu ini sukses di Amerika dan Kanada, Eropa, serta Asia dan Amerika Selatan.

Menurut Eric dalam penjelasan di Wikipedia, lagu ini menjadi salah satu alat baginya untuk menyembuhkan diri. So, menulis lagu dan menyanyikannya menjadi suatu terapi yang berguna untuk menghilangkan trauma yang bersemayam di dalam dada. Meskipun sangat personal, lagu ini berhasil menyentuh hati banyak orang sehingga sukses mencatatkan berbagai pencapaian.

Lagu ini sebenarnya bersifat imajinatif dan reflektif tentang seorang ayah yang mengunjungi anaknya di surga. Sang ayah lalu bertanya apakah kau akan tetap mengenalku? Apakah perasaanmu sama?
Eric Clapton - Courtesy: Youtube

Sang ayah lalu menyatakan bahwa bagaimana pun dia harus tetap tegar dan move on. Beranjak dari kesedihan sebab dia tahu sang anak sudah bahagia di surga. Memang waktu bisa membuat seseorang kecewa, bertekuk lutut, atau patah hati. Tapi dia tahu bahwa di balik itu semua akan ada kedamaian. Akan ada kerelaan.

Lagu ini mengingatku pada sebuah puisi atau kidung tentang kematian yang diciptakan oleh Imam Syafiie. Saduran puisinya di bawah ini:

saat aku mati 
saat kerandaku
dipapah keluar
kau jangan pernah berpikir 
aku merindukan dunia

jangan menangis
jangan ratapi atau
menyesali
aku tidak sedang jatuh
ke dalam jurang curam

saat kau lihat
jenazahku ditandu
jangan tangisi kepergianku
aku tidak pergi
tapi justru tiba di keabadian cinta

saat kau tinggalkan aku sendiri
di pusara
jangan ucapkan selamat tinggal
ingatlah bahwa makam
hanya seutas tirai
di baliknya tersibak surga

kau hanya akan melihat
aku diturunkan ke liang lahat
lihatlah sekarang aku bangkit
bagaimana bisa ada akhir
saat matahari terbenam atau
bulan menuju peraduan

sepertinya dunia tamat
seakan-akan matahari lenyap
tetapi itu hanya awal dari fajar 
saat kuburan menghimpit 
saat itulah jiwamu terbebaskan

pernahkah kau lihat 
benih jatuh ke tanah
lalu tidak membawa kehidupan baru
mengapa kau ragu
pada sebulir benih bernama manusia itu

pernahkah kau lihat 
timba diturunkan ke sumur 
terkerek dalam kondisi kosong?
lalu mengapa kau ratapi jiwa
saat dia bisa kembali
seperti Yusuf keluar dari sumur?

Saat terakhir kali
kau menutup mulutmu
kata dan jiwa
akan menjadi milik dunia 
tanpa dimensi ruang dan waktu    

Lagu Eric Clapton sejalan dengan puisi ini. Bahwa kita semestinya tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan dan menangisi kematian begitu dalam. Sebab, orang yang meninggal sejatinya lebih bahagia di surga sana. Senyumnya lebih merekah. Tangis tak lagi ada.

Lagu ini seperti halnya kidung kematian di atas mengajarkan bahwa kadang kita tidak boleh terlalu sedih karena bisa jadi orang yang kita tangisi sedang tertawa senang dan bahagia di alam sana. Bayangkan, kita sedih atas kebahagiaan orang, sedikit tragis juga, bukan?