Jatuh Cinta

Jatuh Cinta

Sejatinya kita sama: Sama-sama jatuh cinta. Bedanya: aku jatuh cinta pada Jokowi – JK, engkau jatuh cinta pada pihak sana: Prabowo – Hatta. Tak salah, kita sama-sama jatuh cinta. Cinta tak pernah sekalipun salah. Aih, jadi teringat film India.

Yang mungkin salah hanya: cara kita mencintainya. Tapi itu toh konsekuensi jatuh cinta: jatuh, buta, menggunakan kacamata kuda, lalu mencoba mencinta dengan segala realitanya, dan akhirnya kecewa atau bahagia untuk selama-lamanya. Namanya juga orang jatuh: penilaiannya mesti terpengaruh jatuh itu. Salah-salah dalam menilai cinta baru lazim terjadi.
Mengapa Masih Joko?

Mengapa Masih Joko?

Saya adalah pendukung Pak Jokowi-JK, dan saya masih belum menentukan pilihan hingga saat terakhir. Dalam beberapa kesempatan, ada beberapa teman berkampanye di FB yang meminta saya beralih pilihan. Pada akhirnya saya memilih SETIA dengan pilihan saya. Untuk sementara ini, minimal.

sumber: http://bit.ly/1xkh5oa
sumber: http://bit.ly/1xkh5oa
Saya tahu Jokowi diserang banyak kampanye gelap, dan saya tidak menemukan alasan-alasan yang fundamental untuk mengubah pilihan tersebut. Setidaknya hingga sekarang. Beberapa proses penelusuran dengan bantuan Mbak Google membawa saya memantapkan hati pada Pak Jokowi - JK.

Pilu*

Pilu*

Meski berat tak bisa kutanggung, malu tak bisa kupikul, lelah tak bisa buang, aku akan terus berjalan. Menyusuri hari-hari sepi. Jalan-jalan sunyi. Menilisik lagi kisah-kisah lalu, menatanya, lalu menyimpannya dalam memori hati. Ah biarkanlah dia ada di sana selamanya, tanpa harus aku lupa, tanpa harus aku abai, tanpa aku harus ratapi.

Bagaimana pun dia pernah menjadi bagian terindahmu, hatiku menabahkan.


Tapi dia kini bahagia dengan orang lain, otakku menentang. Hari-harinya bersamamu kini sudah menguap entah kemana, lanjutnya. Engkau kini tinggal bayangan semu di masa lalu. Tak pantas diingatnya. Lalu mengapa engkau datang pula hari ini, hanya menambah sesak di hati.

Saat-saat terakhir
Tak apa, yang penting aku hadir hari ini. Toh cinta tak harus selalu bersama. Toh cinta pada akhirnya harus terpisah jua. Toh kebersamaan pada akhirnya berujung pada perpisahan pula. Setidaknya dia pernah begitu dekat denganku. Menemani hari-hariku. Melengkapi sebagian perjalanan hidupku.

Tapi kalau bisa, tidak hari ini. Tidak dengan cara seperti ini.

Memang harus aku akui, perpisahan dengan cara ini memilukan. Mengiris hatiku sedemikian dalam, hingga mengingatnya saja aku sudah merasa sakit. Di depan mataku, dia direbut.

Ya, aku memang tidak tepat berada di bawah terop saat itu, tetapi di sebelah kanan terop. Tepat di beranda rumah sang calon pengantin. Posisiku di pojok. Wajahku sendu, andai kau ingin tahu. Hatiku remuk redam. Aku memang sudah melepasnya. Merelakannya semenjak dulu, bahkan semenjak pertama kali bertemu.
Tiga Serangkai

Tiga Serangkai

Sore itu keduanya datang ke rumahku di Probolinggo, tepat di saat aku sedang terbaring lemas. Tak berdaya sama sekali. Padahal, beberapa jam kemudian keluarga calon istriku akan datang untuk acara khitbah sebagai balasan sebulan sebelumnya keluargaku sudah mengunjungi keluarga Jombang.

Aku sakit di saat yang kurang pas, dan untungnya Faiz serta Abidin datang di saat yang pas. Rancangan mutakhir Allah mempertemukan kami bertiga dalam pertemuan dan persahabatan yang unik. Termasuk sore itu. Sebuah sore Minggu dalam suatu Oktober 2006 lalu.

Keajaiban (Edisi Ultah-nya Pak Sugeng)

Mataku mulai perih malam itu. Semalaman, mata ini tak mampu kupejamkan. Masih kuingat dingin malam yang mulai menusuk-nusuk tulang. Parahnya, gerimis semakin melengkapi suasana muram dan tegang yang menyelimutiku.

Terpaksa aku harus pindah tempat, mencari suaka dari hujan yang tak bersimpati dan berempati atas sepasang anak manusia yang sedang menunggu kelahiran buah cintanya. Menjadi kasta paling rendah di rumah sakit umum selalu mengundang cerita miris nan romantis, yang sering kali menguji, lalu meneguhkan diri yang sedang terkena kesusahan. Di selasar jalan rumah sakit yang kering, kami berebut tempat untuk merebahkan lelah yang sedari siang tadi menggempur sejadi-jadinya.

Jadi, saat pagi menjelang seperti ini kami, para penunggu pasien di depan kamar bersalin kelas tiga di rumah sakit umum, tak bisa menyambutnya dengan gagap gempita. Selain karena malamnya kami tak bisa tidur nyenyak, kami jadi tidak punya tempat untuk menghilangkan penat. Bila pagi itu kami masih tertidur, satpol PP akan datang, membangunkan kami.

Aku masih ingat pagi itu. Dompet mulai menipis. Untuk makan pun beribu pertimbangan digunakan. Kalau aku beli makan di dalam rumah sakit, harganya menjadi sangat mahal. Bagaimana kalo pada akhirnya kami tidak bisa membayar biaya rumah sakit, cemasku sambil menatap dompet yang anehnya tak bereaksi apa-apa. Padahal kami tidak punya barang yang bisa digadaikan, atau dijual. Kalau beli makan di luar rumah sakit, yang memang lebih murah, aku harus berisiko membawa barang persiapan kelahiran itu, satu tas penuh. Beratnya bukan main. Selain itu, bagaimana jika ada panggilan dari para perawat yang membutuhkan tindakan dan keputusan segera.

Untungnya ada seorang yang sempat berkenalan denganku. Pardi namanya. Dia menunggui kakaknya, yang diminta bidan di desanya untuk melahirkan di rumah sakit. "Berisiko kalo melahirkan normal, sedang kakak iparku sedang kerja di Kalimantan" ceritanya. Jadilah kami akrab dalam sekejap. Dia pun setuju untuk menjagakan tasku, dan memberitahuku bila ada panggilan.
Saat berjalan hendak keluar rumah sakit, tak disangka aku bertemu dengan Pak Sugeng.

“Mau kemana, Ton” sapa Beliau.

“Mau sarapan Pak” jawabku sambil bersalaman. Aku terus terang terkejut bertemu beliau. Apa beliau sedang mengunjungi orang lain, tapi kebetulan berpapasan denganku. Beliau lalu bercerita memang bermaksud mengunjungiku dan menjenguk istri.

“Ayo masuk lagi. Aku tahu warung yang enak di dalam.” Kami pun kembali masuk, sambil berbincang santai tentang kondisi istriku.

Beliau pun memintaku memesan sendiri. Dengan pertimbangan harga, aku memilih pecel. Bila aku harus membayarnya sendiri, aku masih bisa menghemat untuk persiapan membayar biaya rumah sakit, pikirku.

Beliau memesan dua sekaligus, satu untuk beliau sendiri, dan tambahan satu lagi untukku.

“Mungkin dari tadi malam kamu belum makan. Ini kamu dua saja. Nanti aku yang bayar” ujar beliau sambil menyodorkan nasi pecel tambahan itu. “Sudah nggak usah sungkan-sungkan.”

Kami bicara santai saat itu. Berbicara tentang keadaan kantor, keadaan istriku. Beliau pun bercerita tentang kelahiran anak-anak beliau. “Meskipun banyak orang yang meragukan pelayanan rumah sakit umum, aku selalu percaya. Anakku semuanya dilahirkan di rumah sakit umum” ujar beliau meyakinkanku.

“Semua dokter terbaik di kota Malang ini ngumpulnya di sini. Jadi, nggak usah khawatir akan terjadi apa-apa. Nggak ada rumah sakit lain yang ahlinya lebih pintar dari dokter di sini” kisah beliau, seakan mengerti semua kekhawatiranku, kecemasan yang berhari-hari ini menghinggapiku.

Setelah acara makan itu selesai, beliau ingin melihat kondisi istriku. Di dalam kamar rumah sakit umum kelas tiga yang isinya bisa mencapai puluhan orang itu, beliau hanya bertanya-tanya kondisi kepada istriku yang terbaring. Istriku menitikkan air mata, tak menyangka sama sekali orang yang baru dikenalnya datang dan hadir memberi dukungan di saat awal. Ya, begitulah hidup kadang mengajari kami. Kadang yang kami harapkan kedatangannya malah tidak datang, dan sering kali sebaliknya.

Beliau hanya meminta istriku untuk sabar, dan jangan tegang. Itu saja. Tidak banyak beliau memberi nasihat. Beliau sepertinya tahu dari pengalaman, nasihat bagi orang-orang yang tegang dan kesakitan tidak banyak membantu. Dukungan tulus dan kehadiran secara langsung lebih banyak berguna meneguhkan jiwa yang sedang terguncang kecemasan dan kekhawatiran.

Dua hari kemudian beliau datang lagi. Seperti halnya hari pertama berkunjung, beliau langsung mengajakku ke warung di dalam salah satu paviliun. Setelah perutku tak lagi banyak menuntut, beliau lalu menjenguk istriku, dan bertanya tentang kondisi bayi kami. Beliau lalu bertanya tentang biaya yang harus kami bayarkan, dan bagaimana kami akan membayarnya.

“Kalo perlu aku hutangkan dari teman-temanku, aku gadaikan mobilku, untuk membantumu” ucap beliau meneguhkanku yang tampaknya sedari awal sudah tahu bahwa aku tidak punya uang. Menggadaikan mobil itu sungguh hanya hiperbola. Aku yakin beliau tidak perlu menggadaikan mobil. Tapi kata-kata itu meneguhkan kami, terutama aku sebagai kepala rumah tangga yang harus menanggung biayanya.

Pada saat itu, kebetulan saat itu kami sudah pindah dari kelas tiga ke kelas dua. Berdasarkan saran dari para perawat yang merawat istriku, ada baiknya kami naik kelas. Kelas tiga kurang representatif, ucap salah satu dari mereka. Kurang representatif itu kata halus untuk pelayanan yang kurang bersahabat dan dalam beberapa hal menjurus ke kasar.

Akhirnya, tujuh hari berlalu kami sudah boleh pulang. Berita baiknya, kami akan tidur di rumah lagi. Di ranjang yang sudah tak sabar menyambut kami. Tidak lagi aku merebahkan diri di keramik dingin yang kadang menusuk-menusuk tulang belakang. Tidak lagi tidurku terganggu oleh deru mesin pengangkut pasien. Tapi berita buruknya, uangku tinggal dua setengah juta, itupun dua jutanya aku dapatkan dari pinjaman keluarga Probolinggo. Sementara menurut perawat yang bertugas kira-kira biayanya akan menghabiskan sekitar enam juta. “Amannya enam sampai tujuh lah Mas” ujar salah satu perawat.

Pagi itu sekitar jam tujuh, aku harus menelepon Pak Sugeng. Meskipun sungkan dan malu, aku memberanikan diri. Ya, demi istri dan bayiku tercinta.

Setelah mendengarkan ceritaku, beliau berkenan menutup kekurangannya. “Santai, aku siapkan uangnya. Sekarang urus dulu administrasinya. Nanti aku menyusul ke Bank Jatim di dalam rumah sakit itu pas kamu mau bayar” pungkas beliau.

Dari wartel hingga bagian administrasi rumah sakit, aku berdoa setulus-tulusnya sembari menyusuri berkeramik itu. Dalam momen tegang itu, warna putih keramik dan lalu lalang orang tak lagi menentramkan. Ya Allah, mudahkanlah urusan kami ini. Aku serahkan semuanya kepada-Mu, bisikku di dalam hati pagi itu.

“Bu, saya mau bayar atas nama Yulia Dian Nafisah, dan Anak Kafka Abdurrahman” ucapku kepada petugas, seorang ibu paruh baya yang usianya sekira empat puluh tahunan. Beliau menata dokumen itu, dan terkejut. Ternyata di dokumen itu kami tercatat masih sebagai pasien kelas tiga.

“Wah salah ini. Istri dan anaknya mas kan di kelas dua, di sini kok masih kelas tiga ya” ucapnya sambil menata ulang, dan mengecek ulang angka-angka yang tercantum. “Ini juga dokternya yang merawat kok dokter spesialis. Padahal, yang diminta kan dokter umum” pungkas beliau seakan tidak percaya.

“Ya sudah nggak apa-apa Mas. Bayar sesuai ini saja.” Sejenak kemudian beliau menyerahkan dokumen pembayaran.

Di situ tertera dengan jelas, kami hanya harus membayar sejumlah Rp. 2.352.000,00. Saking bahagia dan tegangnya, aku segerakan menuju ke kasir Bank Jatim. Selesai membayar, aku bertemu Pak Sugeng yang bingung mencariku sedari tadi.

Kuceritakan keajaiban itu, dan beliau sama terkejutnya denganku. Sesampainya di kamar, aku langsung sujud syukur. Bersyukur atas keajaiban dan rezeki besar tak terduga yang diberikan-Nya pagi itu. Selain itu, aku bersyukur dipertemukan dengan Pak Sugeng, yang entah mengapa selalu ada dan hadir tepat di saat aku berada dalam masa-masa sulit. Pada masa kelahiran itu, dan pada saat ujian dahsyat yang mencoba mengguncang bahtera kapal keluarga kami beberapa bulan lampau.

Saat kami dianugerahi rezeki tak terduga dan saat keajaiban itu menyapa kami adalah suatu pagi pada hari Sabtu tanggal 8 Maret 2008, tepat di hari beliau hadir ke dunia. Sepertinya Pak Sugeng diciptakan untuk menjadi perantara penghadir keajaiban, pemberi ketenangan, dan penghilang kecemasan. Dan mudah-mudahan selalu begitu sampai nanti-nanti.

Pagi itu dan pagi ini, aku dan keluarga berdoa di dalam hati mudah-mudahan Allah menganugerahi beliau usia yang panjang, yang barokah, yang dipenuhi dengan keberkahan-keberkahan, ibadah-ibadah ilahiah, serta ibadah sosial.

Terima kasih ya Allah, Engkau menghadirkannya di dunia pada tanggal ini, 8 Maret beberapa tahun lalu. Selamat ulang tahun Pak Sugeng. Pada ulang tahun kali ini, bukan kami ternyata yang memberimu banyak hadiah, malah engkau yang memberi kami banyak hadiah.

Malang, 8 Maret 2014
courtesy of rsusaifulanwar

The Only One I-One

The Only One I-One

Mengenalnya di penghujung tahun 2012 lalu, kami tak mengira akan mengenalnya sejauh ini. Sebanyak saat ini. Pada sore hari ketika dia datang untuk ikut tes masuk ke lembaga kecil kami, tatapan matanya yang tajam, mimik wajah serius nan tegang, dan kaca mata yang dikenakannya menguatkan citra bahwa kami akan menghadapi manusia serius lain dari Jombang, yang tidak akan nyaman diajak bercanda. Garing.

[caption id="attachment_88" align="alignleft" width="300"]Mak, aku ulangtahun Mak. Mak, aku ulangtahun Mak.[/caption]

Entah mengapa, akhirnya dia bisa lulus tes masuk yang diberikan Singgih. Hari pertama kesan itu tidak luntur. Dia teguh dengan mimik serius itu. Beberapa hari berikutnya, suasana perlahan mencair. Selalu menjawab setiap kali ditanya, kami tahu juga saat itu bahwa dia tidak setegang wajah yang dia tampilkan di awal bertemu.
Tamu

Tamu

Dalam dua bulan ini, kami kedatangan banyak sekali tamu. Kadang hanya satu mobil, kadang hanya satu orang, jalan kaki pula. Kadang dua mobil, pernah satu mobil elf, dan paling banyak empat mobil sekaligus. Disusul kemarin, sekitar dua puluhan sepeda motor menyerbu rumah. Empat puluhan orang.

ImageKadang kami senang bukan kepalang, terutama bila tamu tersebut sudah kami tunggu-tunggu lama.
Maaf, aku kalah...

Maaf, aku kalah...

Tangisnya pecah, membelah kekhawatiran dan kecemasanku yang sedari tadi membuncah. Pelukannya kepada ibunda semakin lama semakin erat, dia seperti tidak siap dan tidak ingin menghadapi dunia. Terutama tidak ingin menatapku. Kutunggu sejenak. Kutarik tangannya yang enggan melepaskan pelukan. Tapi aku harus menariknya dari kerumunan agar rasa sesaknya berangsur hilang.

“Kenapa Mas nangis” tanyaku kemudian.
Bukan Kue Biasa

Bukan Kue Biasa

“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun” mengalun di belakangku. “Panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia. Serta mulia. Serta mulia” terus terdengar. Semakin lama, semakin nyaring.

Diam tanpa bergerak, aku sendiri masih berkonsentrasi. Membelakangi teman-teman yang berdiri sambil mengiringi kue, aku tersenyum simpul. Hatiku bahagia tentunya. Tak terkira.
SMS Penuh Kejutan

SMS Penuh Kejutan

SMS dari nomor resmi BCA Finance yang terurai penuh indahnya “Direksi & Karyawan BCA Finance mengucapkan Selamat Ulang Tahun, panjang umur, sehat & sukses selalu untuk Anda. Terima kasih telah menjadi bagian dari BCA Finance” menggugah alam sadarku.

Hampir tak pernah terbersit dalam pikiranku akan mendapatkan ucapan ulang tahun dari BCA Finance. Demikian juga akan mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari Alfamart.

“Selamat ulang tahun Pak. Semoga panjang umur dan sehat selalu” ucapnya dengan penuh ketulusan. Atau dengan penuh penghafalan. Susah kita mengetahuinya.

Aku bingung. Melihat ke orang di belakangku, dan ternyata tidak ada siapa-siapa.

“Maaf, siapa yang ulang tahun Mbak?”

“Bapak. Begitu di data kami”

“Ah mungkin salah masukkan data Mbak. Bagaimana pun, terima kasih ya.” pungkasku, sambil tersenyum bingung.

Untuk kasus Alfamart ini, kasir yang melayaniku menyampaikan selamat ulang tahun pada tanggal yang salah.

Aku heran, hubunganku dengan kedua institusi besar ini hanya pelanggan dan pemberi langganan. Tidak lebih dari itu. Menariknya, seperti halnya kedua perusahaan ini, banyak perusahaan lain sekarang berusaha melangkah lebih jauh seperti ini, tidak sekadar produsen dan konsumen. Menerobos ke sekat-sekat yang dari dahulu kala tidak pernah terlalu dipedulikan. Berusaha hadir pada momen terpenting seseorang. Menjadi salah satu bagian terpenting di dalam kehidupan orang tersebut.

Dengan kata lain, mereka seakan ingin mengatakan: kami tidak hanya menjual produk dan layanan, tapi kami menjual pengalaman. Menjual kedekatan. Menjual kehadiran pada momen spesial Anda. Menjual kesan. Menjual kenangan. Bila produk menjadi kenangan, yang tersisa adalah kesetiaan pada produsen/produk yang digunakan. Bila kesetiaan sudah tercipta, penjualan produk akan melambung dan berkesinambung.

Mereka ingin menjadikan kita spesial, hanya dengan mengingat dan memberikan ucapan itu. Meskipun sederhana, tapi akan selalu kita ingat.

Selain itu, mereka menghadirkan satu hal yang tak kalah pentingnya, yaitu unsur kejutan. Karena tidak pernah menyangka dan mengharapkannya, ucapan itu dan akhirnya memori yang timbul karenanya akan lebih lekang di ingatan seseorang. Bagaimana kita tidak terkejut, memikirkan mereka pun kita hampir tidak pernah. Tapi mungkin itulah unsur dasar dari kebatinan manusia, yang selalu kita rindukan. Upaya kejutan dan unsur-unsur penyertanya.

Aku kira, hal yang sama juga berlaku dalam hubungan personal. Kita akan lekang di ingatan orang lain, ketika kita berusaha menjadikan orang tersebut dekat. Menjadikannya spesial. Menjadikannya luar biasa. Menjadikannya penting. Menganggapnya tidak tergantikan. Membantunya dan menjaganya sepenuh hati.

Dengan semua upaya itu, kita akan memenangkan hati orang. Bila kita sudah memenangkan hati, maka orang tersebut juga akan memberikan hatinya kepada kita. Dengan memenangkan hati orang, kita mungkin juga akan memenangkan perhatian Tuhan. Bila kita tulus tentunya.

Itulah sedikit pelajaran yang aku petik hari ini. Semoga pelajaran ini terus melekat, dan bisa aku terapkan. Meskipun tidak mudah, aku akan mencoba berusaha.

Malang 10 Januari 2014

Kado terindahku

Kado terindahku

“Maafkan aku” ucapnya sambil datang menyongsongku, lalu memelukku. Di pelupuk matanya, terlihat kesedihan yang cukup mendalam. Kutarik badannya sebentar, dan kutatap dia. Dia balas memelukku lebih erat.

“Maaf, aku tidak bisa membelikan ayah hadiah” ujarnya lirih. Suaranya berat. Ah, sontak saja mataku sembab pelan-pelan.

“Tidak apa-apa, Nak. Bagiku kebahagianmu sudah menjadi hadiah terbaik bagi ayah” balasku.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Hari ini memang ulang tahunku. Dan aku tidak pernah berharap mendapatkan ucapan itu, apalagi hadiah, terutama karena usianya belum genap 6 tahun.