Mataku mulai perih malam itu. Semalaman, mata ini tak mampu kupejamkan. Masih kuingat dingin malam yang mulai menusuk-nusuk tulang. Parahnya, gerimis semakin melengkapi suasana muram dan tegang yang menyelimutiku.
Terpaksa aku harus pindah tempat, mencari suaka dari hujan yang tak bersimpati dan berempati atas sepasang anak manusia yang sedang menunggu kelahiran buah cintanya. Menjadi kasta paling rendah di rumah sakit umum selalu mengundang cerita miris nan romantis, yang sering kali menguji, lalu meneguhkan diri yang sedang terkena kesusahan. Di selasar jalan rumah sakit yang kering, kami berebut tempat untuk merebahkan lelah yang sedari siang tadi menggempur sejadi-jadinya.
Jadi, saat pagi menjelang seperti ini kami, para penunggu pasien di depan kamar bersalin kelas tiga di rumah sakit umum, tak bisa menyambutnya dengan gagap gempita. Selain karena malamnya kami tak bisa tidur nyenyak, kami jadi tidak punya tempat untuk menghilangkan penat. Bila pagi itu kami masih tertidur, satpol PP akan datang, membangunkan kami.
Aku masih ingat pagi itu. Dompet mulai menipis. Untuk makan pun beribu pertimbangan digunakan. Kalau aku beli makan di dalam rumah sakit, harganya menjadi sangat mahal. Bagaimana kalo pada akhirnya kami tidak bisa membayar biaya rumah sakit, cemasku sambil menatap dompet yang anehnya tak bereaksi apa-apa. Padahal kami tidak punya barang yang bisa digadaikan, atau dijual. Kalau beli makan di luar rumah sakit, yang memang lebih murah, aku harus berisiko membawa barang persiapan kelahiran itu, satu tas penuh. Beratnya bukan main. Selain itu, bagaimana jika ada panggilan dari para perawat yang membutuhkan tindakan dan keputusan segera.
Untungnya ada seorang yang sempat berkenalan denganku. Pardi namanya. Dia menunggui kakaknya, yang diminta bidan di desanya untuk melahirkan di rumah sakit. "Berisiko kalo melahirkan normal, sedang kakak iparku sedang kerja di Kalimantan" ceritanya. Jadilah kami akrab dalam sekejap. Dia pun setuju untuk menjagakan tasku, dan memberitahuku bila ada panggilan.
Saat berjalan hendak keluar rumah sakit, tak disangka aku bertemu dengan Pak Sugeng.
“Mau kemana, Ton” sapa Beliau.
“Mau sarapan Pak” jawabku sambil bersalaman. Aku terus terang terkejut bertemu beliau. Apa beliau sedang mengunjungi orang lain, tapi kebetulan berpapasan denganku. Beliau lalu bercerita memang bermaksud mengunjungiku dan menjenguk istri.
“Ayo masuk lagi. Aku tahu warung yang enak di dalam.” Kami pun kembali masuk, sambil berbincang santai tentang kondisi istriku.
Beliau pun memintaku memesan sendiri. Dengan pertimbangan harga, aku memilih pecel. Bila aku harus membayarnya sendiri, aku masih bisa menghemat untuk persiapan membayar biaya rumah sakit, pikirku.
Beliau memesan dua sekaligus, satu untuk beliau sendiri, dan tambahan satu lagi untukku.
“Mungkin dari tadi malam kamu belum makan. Ini kamu dua saja. Nanti aku yang bayar” ujar beliau sambil menyodorkan nasi pecel tambahan itu. “Sudah nggak usah sungkan-sungkan.”
Kami bicara santai saat itu. Berbicara tentang keadaan kantor, keadaan istriku. Beliau pun bercerita tentang kelahiran anak-anak beliau. “Meskipun banyak orang yang meragukan pelayanan rumah sakit umum, aku selalu percaya. Anakku semuanya dilahirkan di rumah sakit umum” ujar beliau meyakinkanku.
“Semua dokter terbaik di kota Malang ini ngumpulnya di sini. Jadi, nggak usah khawatir akan terjadi apa-apa. Nggak ada rumah sakit lain yang ahlinya lebih pintar dari dokter di sini” kisah beliau, seakan mengerti semua kekhawatiranku, kecemasan yang berhari-hari ini menghinggapiku.
Setelah acara makan itu selesai, beliau ingin melihat kondisi istriku. Di dalam kamar rumah sakit umum kelas tiga yang isinya bisa mencapai puluhan orang itu, beliau hanya bertanya-tanya kondisi kepada istriku yang terbaring. Istriku menitikkan air mata, tak menyangka sama sekali orang yang baru dikenalnya datang dan hadir memberi dukungan di saat awal. Ya, begitulah hidup kadang mengajari kami. Kadang yang kami harapkan kedatangannya malah tidak datang, dan sering kali sebaliknya.
Beliau hanya meminta istriku untuk sabar, dan jangan tegang. Itu saja. Tidak banyak beliau memberi nasihat. Beliau sepertinya tahu dari pengalaman, nasihat bagi orang-orang yang tegang dan kesakitan tidak banyak membantu. Dukungan tulus dan kehadiran secara langsung lebih banyak berguna meneguhkan jiwa yang sedang terguncang kecemasan dan kekhawatiran.
Dua hari kemudian beliau datang lagi. Seperti halnya hari pertama berkunjung, beliau langsung mengajakku ke warung di dalam salah satu paviliun. Setelah perutku tak lagi banyak menuntut, beliau lalu menjenguk istriku, dan bertanya tentang kondisi bayi kami. Beliau lalu bertanya tentang biaya yang harus kami bayarkan, dan bagaimana kami akan membayarnya.
“Kalo perlu aku hutangkan dari teman-temanku, aku gadaikan mobilku, untuk membantumu” ucap beliau meneguhkanku yang tampaknya sedari awal sudah tahu bahwa aku tidak punya uang. Menggadaikan mobil itu sungguh hanya hiperbola. Aku yakin beliau tidak perlu menggadaikan mobil. Tapi kata-kata itu meneguhkan kami, terutama aku sebagai kepala rumah tangga yang harus menanggung biayanya.
Pada saat itu, kebetulan saat itu kami sudah pindah dari kelas tiga ke kelas dua. Berdasarkan saran dari para perawat yang merawat istriku, ada baiknya kami naik kelas. Kelas tiga kurang representatif, ucap salah satu dari mereka. Kurang representatif itu kata halus untuk pelayanan yang kurang bersahabat dan dalam beberapa hal menjurus ke kasar.
Akhirnya, tujuh hari berlalu kami sudah boleh pulang. Berita baiknya, kami akan tidur di rumah lagi. Di ranjang yang sudah tak sabar menyambut kami. Tidak lagi aku merebahkan diri di keramik dingin yang kadang menusuk-menusuk tulang belakang. Tidak lagi tidurku terganggu oleh deru mesin pengangkut pasien. Tapi berita buruknya, uangku tinggal dua setengah juta, itupun dua jutanya aku dapatkan dari pinjaman keluarga Probolinggo. Sementara menurut perawat yang bertugas kira-kira biayanya akan menghabiskan sekitar enam juta. “Amannya enam sampai tujuh lah Mas” ujar salah satu perawat.
Pagi itu sekitar jam tujuh, aku harus menelepon Pak Sugeng. Meskipun sungkan dan malu, aku memberanikan diri. Ya, demi istri dan bayiku tercinta.
Setelah mendengarkan ceritaku, beliau berkenan menutup kekurangannya. “Santai, aku siapkan uangnya. Sekarang urus dulu administrasinya. Nanti aku menyusul ke Bank Jatim di dalam rumah sakit itu pas kamu mau bayar” pungkas beliau.
Dari wartel hingga bagian administrasi rumah sakit, aku berdoa setulus-tulusnya sembari menyusuri berkeramik itu. Dalam momen tegang itu, warna putih keramik dan lalu lalang orang tak lagi menentramkan. Ya Allah, mudahkanlah urusan kami ini. Aku serahkan semuanya kepada-Mu, bisikku di dalam hati pagi itu.
“Bu, saya mau bayar atas nama Yulia Dian Nafisah, dan Anak Kafka Abdurrahman” ucapku kepada petugas, seorang ibu paruh baya yang usianya sekira empat puluh tahunan. Beliau menata dokumen itu, dan terkejut. Ternyata di dokumen itu kami tercatat masih sebagai pasien kelas tiga.
“Wah salah ini. Istri dan anaknya mas kan di kelas dua, di sini kok masih kelas tiga ya” ucapnya sambil menata ulang, dan mengecek ulang angka-angka yang tercantum. “Ini juga dokternya yang merawat kok dokter spesialis. Padahal, yang diminta kan dokter umum” pungkas beliau seakan tidak percaya.
“Ya sudah nggak apa-apa Mas. Bayar sesuai ini saja.” Sejenak kemudian beliau menyerahkan dokumen pembayaran.
Di situ tertera dengan jelas, kami hanya harus membayar sejumlah Rp. 2.352.000,00. Saking bahagia dan tegangnya, aku segerakan menuju ke kasir Bank Jatim. Selesai membayar, aku bertemu Pak Sugeng yang bingung mencariku sedari tadi.
Kuceritakan keajaiban itu, dan beliau sama terkejutnya denganku. Sesampainya di kamar, aku langsung sujud syukur. Bersyukur atas keajaiban dan rezeki besar tak terduga yang diberikan-Nya pagi itu. Selain itu, aku bersyukur dipertemukan dengan Pak Sugeng, yang entah mengapa selalu ada dan hadir tepat di saat aku berada dalam masa-masa sulit. Pada masa kelahiran itu, dan pada saat ujian dahsyat yang mencoba mengguncang bahtera kapal keluarga kami beberapa bulan lampau.
Saat kami dianugerahi rezeki tak terduga dan saat keajaiban itu menyapa kami adalah suatu pagi pada hari Sabtu tanggal 8 Maret 2008, tepat di hari beliau hadir ke dunia. Sepertinya Pak Sugeng diciptakan untuk menjadi perantara penghadir keajaiban, pemberi ketenangan, dan penghilang kecemasan. Dan mudah-mudahan selalu begitu sampai nanti-nanti.
Pagi itu dan pagi ini, aku dan keluarga berdoa di dalam hati mudah-mudahan Allah menganugerahi beliau usia yang panjang, yang barokah, yang dipenuhi dengan keberkahan-keberkahan, ibadah-ibadah ilahiah, serta ibadah sosial.
Terima kasih ya Allah, Engkau menghadirkannya di dunia pada tanggal ini, 8 Maret beberapa tahun lalu. Selamat ulang tahun Pak Sugeng. Pada ulang tahun kali ini, bukan kami ternyata yang memberimu banyak hadiah, malah engkau yang memberi kami banyak hadiah.
Malang, 8 Maret 2014
courtesy of rsusaifulanwar