40 hari, dan masih segar di ingatan

Gimana kabar anak-anak?
Baik-baik saja Bu.
Ibu baik-baik juga kan?
Ibu baik, bapak sehat.

Ahamdulillah.
Ibu juga jaga kesehatan ya.
Maaf belum bisa pulang, corona masih ramai.
Anak-anak juga masih ujian.

Ya, salam saja ke anak-anak.
Ke istrimu juga. Sehat kan, ya?
Ibu gak pengin apa gitu?
Jaga keluarga dan kesehatanmu saja.

Baru kemarin rasanya Bu. 
Masih segar. 
Kita masih bercakap.
Tentang sehat dan menjaga kesehatan

Kukira masih banyak waktu.
Esok hari di ujung telepon masih bisa kudengar lagi suaramu.
Kapan-kapan masih bisa bertemu. Mengulur-ulur waktu.
Dua pekan lagi aku akan pulang ke pangkuanmu.

Lalu tiba-tiba, sudah 40 hari.
Suaramu masih terngiang, jernih.
Senyummu melekat di ujung mata, abadi.
Pengorbananmu mengakar kuat di jiwa, bersemi.

Aku berjanji, Bu,
mencintaimu di setiap hela,
menyayangimu di setiap doa,
membawamu di setiap langkah.

Photo by Goutham Krishna on Unsplash




jejakmu ibu

bila pun kulipatgandakan nyawa sejuta kali
dan kupersembahkan untuk mengganti
secuil perhatian yang kau beri
itu takkan pernah memadai.

terima kasih ya Bu, sudah menemani
belajar percaya dan meyakini
walau lemah anakmu ini
hanya kurang yang ia miliki.

terima kasih sudah ada
mengajari makna
memberikan cinta
walau tanpa banyak berkata.

terima kasih sudah menjadi terang
menjadi tempatku pulang
baik saat kalah maupun gagal
baik saat terjatuh maupun terjengkang.

terima kasih sudah mengajariku kuat
bahwa pisau tajam karena diasah
bahwa bata berguna setelah ditata
bahwa jiwa kuat karena ditempa banyak rasa.

dan aku masih terus akan menabung rindu
dan kupecahkan saat nanti kita bertemu.

A Mother/Ibu - Photo by J W on Unsplash


Manusia Bertelur Emas

Pada suatu pelatihan di sebuah internal perusahaan, seorang narasumber berbicara tentang make your employees happy and they will make your clients happy. Artinya, bahagiakan para karyawanmu agar mereka membahagiakan para klien. Intinya, kebahagiaan karyawan adalah kunci untuk menjaga kelangsungan bisnis.
Dalam kesempatan lain, Vala Afshaar menulis "start from employee experience before customer experience". Artinya, mirip-mirip dengan istilah di atas. Kebahagiaan karyawan dan orang yang bekerja dengan kita harus didahulukan.
Jadi, menurut si pembicara tersebut, salah satu tugas utama manajemen adalah memastikan para karyawannya bahagia. Dengan begitu, para karyawannya akan melayani dan menunaikan tugas dengan sangat senang.
Cerita ini mengingatkan saya pada cerita tentang kisah telur emas, yang konon berasal dari zaman Yunani.

Kisah Telur Emas

Pada suatu masa, hiduplah sepasang suami istri yang miskin. Meskipun begitu, mereka berpikir untuk mencari usaha. Mereka pun membeli seekor ayam betina. Karena ayam betina itu salah satu harta paling berharga, mereka merawatnya secara sangat baik. 
Suatu ketika, pasutri tersebut ingin membelikan pakan untuk si ayam betina. Sayangnya, tak ada sepeser uang pun untuk membeli pakan. Mereka sedih, tetapi apa yang harus dilakukan.
“Aku akan coba bertelur agar mereka bisa membeli pakan” pikir si ayam betina setelah sehari sebelumnya kawin dengan salah satu ayam jantan. 
Hari itu, si ayam betina memutuskan bertelur. Ternyata, telur bukan sembarang telur, tetapi telur emas. Pada pagi hari saat memeriksa kadang, mereka kaget bukan kepalang. Setelah berterima kasih pada si ayam, keduanya berangkat untuk menjual telur emas tersebut.
Mereka mendapatkan banyak uang dari telur emas tersebut. Mereka menghabiskan uang itu untuk kebutuhan hidup mereka dan pakan.
Melihat majikannya senang, si ayam betina ikutan senang. Hampir setiap hari ia bertelur.
Pasutri itu pun menjadi kaya raya. Mereka tak perlu susah-susah mencari uang. Stok makanan mereka melimpah dan lezat.
“Semua kekayaan ini berkat telur emas ayam kita. Dia wajib bertelur tiap pagi. Ya, agar kita tak melarat lagi,” ucap sang istri.
Kian hari, mereka kian boros. Mereka menghambur-hamburkan uang yang diperoleh dari telur emas. Namun, mereka lupa memperhatikan ayam betina mereka. Ayam itu jarang diberi pakan.
“Kalian tak tahu diuntung. Aku bertelur emas setiap hari. Namun, kalian hamburkan. Kalian juga lupa padaku” dengus si ayam betina yang jengkel. “Besok kuputuskan, tak mau bertelur lagi” sambungnya.
Keesokan harinya, si ayam betina benar-benar tak bertelur. Begitu pun setelahnya. Pasutri itu cemas. Uang mereka juga kian menipis. Yupz, lebih besar pasak daripada tiang.
Pasutri itu pun kembali miskin. Mereka pun marah dan kesal.
"Tugasmu itu bertelur setiap hari agar kami tak miskin lagi!” dengus sang suami.
“Dasar ayam bodoh,” umpat sang istri dengan nada tinggi.
“Kita potong saja ayam itu. Pasti banyak telur emasnya di dalamnya” balas suaminya.
Mata sang istri berbinar setelah bersepakat untuk menyembelih ayam tersebut. Ternyata tak ada telur emas di dalamnya. Mereka tentu saja sangat kecewa. Setelah si ayam mati, mereka tak bisa berharap lagi. Itu semua karena ketamakan dan lupa membalas jasa.
Photo by Bofu Shaw on Unsplash
Hikmah
Kisah ini sering sekali diceritakan setiap kali ada sesi tentang manajemen sumber daya manusia. SDM bervariasi. Ada SDM yang kinerjanya sangat bagus, tetapi bekerja di bawah radar. Ada SDM yang kinerjanya biasa saja, tetapi sangat lihai menunjukkan seakan-akan hasil kerjanya jempolan. Ada SDM yang kinerjanya di bawah standar tetapi pintar mengambil hati.
Tugas manajemen adalah mengidentifikasi orang-orang tersebut. Tujuannya, SDM bisa memberikan pakan dan gizi yang seimbang kepada SDM bertelur emas. 

Saat Tuhan Menguji Kata-Katamu

Leo Tolstoy pernah menulis salah satu cerpen yang sangat terkenal, dengan judul "God Sees the Truth, but Waits". Artinya kira-kira "Tuhan Maha Tahu, tetapi Menunggu." Beberapa orang merasa bahwa yang dimaksud Leo Tolstoy bukan harfiah. Bukan berarti bahwa Tuhan itu sukanya menunggu dan tidak melakukan apa-apa. Maksudnya kira-kira, Tuhan bekerja secara misterius. Tuhan menunggu. Menunggu kita berubah. Menunggu kita bertindak. Menunggu kita menyadari.

Begitu pula sehari setelah aku menulis tentang Sebatang Kara Tapi Tak Lantas Menderita. Kukira hanya tulisan biasa saja. Toh, hanya dari lagu yang kebetulan terdengar sepulang dari Batu. Ternyata Tuhan menunggu, tapi tak lama.

Jadi ceritanya: Selasa pagi itu, aku harus mengantarkan Kafka ke pinggir jalan untuk kemudian naik angkot ke sekolahnya. Tak ada yang aneh atau terasa berbeda. Semuanya normal saja. Kami juga bercakap seperti biasa.

Sepulang dari jalan raya, ada kucing yang terlihat linglung di tengah jalan masuk gang menuju rumah. Matanya sembab. Jalannya agak sempoyongan. Saat kulewati, kucing tiga warna itu hendak menyeberang jalan. Sontak, aku pun mengerem motor, menurunkan standar, lalu turun dari sepeda untuk meminggirkan kucing tersebut. Mencoba menyelamatkannya agar tidak tertabrak saat menyeberang perempatan yang pagi itu agak ramai.

Saat kutarik ke pinggir jalan, suaranya lemah seakan memohon-mohon untuk dipertemukan dengan sang induk. Mata kami bersirobok dan ia menatapku dengan melas. Sejurus kemudian, dia mengikuti langkahku dan berlindung di bawah sepeda motor. Karena tak bisa memajukan sepeda motor, kupinggirkan lagi kucing itu.

Setelah itu, kubetot gas sepeda motor agar bisa segera pulang. Sial, mata sembabnya terlintas di pikiran. Suara lirihnya terngiang-ngiang di telinga. Ingatanku lalu membawa ke tulisan tentang sebatang kara. Apakah pantas makhluk sekecil itu dibiarkan tak berdaya lalu mati sebatang kara? 

Sesampainya di rumah, kuberi tahu istri yang sedang masak tentang kucing kecil yang berjalan sempoyongan di jalan masuk gang. Sontak, istriku yang pecinta kucing langsung mengambil baju dan berjalan menuju lokasi kucing.

Beberapa menit kemudian, seperti sudah kuduga dia memeluk dan memangku makhluk kecil itu. Mata istriku ikut-ikutan sembab saat melihat kucing yang terlihat kehilangan daya. Ia mengelus kucing tersebut dengan penuh rasa iba. 

“Ayo kita adopsi kucing ini” katanya sambil menatapku untuk meminta persetujuan. Melihatku yang tak menunjukkan rasa keberatan, “Kita kasih nama kucing ini Mochi”. 

Menurutku, mengadopsi kucing mungil ini langkah yang paling pas. Aku juga tidak tega melihat kucing imut itu kedinginan. Keena lalu mengambil handuk untuk membantu menghangatkan kucing mungil itu. Beberapa menit setelah diselimuti handuk, ia terlihat lebih nyaman dan matanya lebih cerah.


Keena dan istriku lalu berangkat ke sekolah masing-masing. Siangnya, Kafka yang pulang dari sekolah kaget karena mendengar suara kucing. Wajahnya langsung semringah, katanya. 

Sepulangku dari kantor, kami  sekeluarga kembali berkumpul malam itu untuk melihat mochi.  

“Kita bawa ke dokter hewan saja ya” usul istriku. “Kita tidak akan mampu merawat kucing yang masih kecil dan semestinya dirawat oleh induknya ini.”

Tak ada yang setuju dengan usul itu. Karena Mochi sudah terlihat lebih sehat setelah kami beri makan creamy treat. Lebih bugar. Namun, ada satu masalah yang tak kunjung tuntas: baunya sangat tidak enak. Bau kecut, bau tanah, bau kotoran, dan bau urin bercampur. Amboi betul.

Di antara kabar baik dan kabar buruk itu, harapan kami hanya satu: Mochi bertahan hidup. Dan ia berhasil hidup sampai hari Sabtu. Empat hari. Pada hari Minggu pagi, kami putuskan untuk memandikannya biar baunya tak terlalu menusuk hidung.  

Namun, dari situ masalahnya muncul. Saat kumandikan, Mochi terlihat sempoyongan. Ia tak bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Beberapa saat kemudian, kami memutuskan untuk membawanya ke klinik dokter hewan.

Sesampainya di sana, dokter hewan perempuan berjilbab hitam dan berbaju biru keluar dari kamar. Ia lalu meminta kami membawa mochi ke meja periksa.  

Suara sang dokter langsung berubah parau seakan menahan tangis. Matanya ikut-ikutan sembab.  Setelah memeriksa suhu mochi yang ternyata 33 derajat dari semestinya 38 derajat, Mochi dihangatkan di suatu oven khusus kucing. Tujuannya, suhunya kembali normal.

“Kucingnya ini masih terlalu kecil, jadi belum punya imun. Kecil kemungkinan untuk bisa bertahan hidup, tapi kita berusaha ya.” Dari tatapannya, kami bisa membaca bahwa ia hanya berusaha menghibur. Ia tidak yakin Mochi akan bertahan hidup. 

mochi dihangatkan

Pukul 5 sore, masuklah pesan WA dari klinik dokter hewan tersebut. Mochi dikabarkan meninggal dunia.  Sambil mengucapkan turut berduka cita, mereka menyampaikan bahwa mochi bisa diambil hari itu.

Istriku terus saja terisak. Begitu pun Keena, anak kedua.  Begitu juga Kafka yang sesenggukan. Ia yang paling dekat dengan Mochi, yang diajaknya menemani saat ia belajar. Hanya aku yang tidak menangis. Bukan karena tidak sedih, tetapi harus ada orang yang berpikir logis dan mencari cara untuk membawa Mochi pulang.

Aku pun mengajak Kafka untuk menjemput jasad Mochi. Sepanjang perjalanan, kami berdua terdiam. Waktu terasa memuai saat engkau diselimuti duka.  Terasa ada lubang besar di hati tapi tidak tahu apa. Terasa ada yang hilang tapi engkau tak paham. 

Sepulangnya dari klinik, kami membuat lubang makam untuk mochi. Kami tidak ingin lama-lama membiarkannya terbungkus kain.  Kami ingin ia segera kembali ke tanah dan menyatu dengan alam.

Kematian Mochi menyadarkanku bahwa takkan ada yang bisa menunda atau mempercepat laju kematian. 

Aku juga tersadar telah melakukan kesalahan. Aku tidak mencari di internet tentang pada usia berapa kucing bisa dimandikan.

Namun, yang terjadi, terjadilah. Penyesalan takkan mengubah apa-apa.

“Setidaknya kita membiarkan Mochi punya keluarga menjelang akhir hidupnya. Kita tidak membiarkan ia menderita dan sebatang kara” suaraku kalah lantang dari suara tangis mereka bertiga.

“Kita juga membawanya ke dokter hewan yang artinya kita peduli dan sayang”

Apakah ini karma karena aku menulis tentang sebatang kara? Apakah karma juga dari tulisan? Atau inikah cara Allah menguji kata-kataku bahwa kita tidak boleh membiarkan siapa pun sebatang kara?




Sebagian Teman kan Musibah?

Hujan rintik mengawali pagi yang temaram oleh matahari yang tertutup awan gelap. Fajar bersembunyi di balik gunung Semeru di sisi timur. Di sudut selatan rumah, tak terlihat rombongan burung pipit yang biasanya terbang rendah. Kupu-kupu dengan sayap-sayap menawan yang tak terlihat sejak kemarin tak juga menampakkan batang hidungnya. Rasa-rasanya mendung Malang membuat orang-orang, bahkan hewan-hewan, tak mau beranjak dari peraduannya.

Tidak semua kehadiran kawan membuat kita bersyukur, kan? Beberapa menjengkelkan. Sebagian kayak angin lalu saja. Tak banyak dihiraukan.   

Itu komentar salah seorang teman setelah membaca Hadirmu Hadiah Terbaik Bagiku, yang membuatku kaget pagi itu. Pembahasannya sudah berat sekali. Ia lalu bercerita pengalamannya. Karena suatu tugas, ia mengajari orang lain, sebutlah namanya Kipli, prosedur menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Anggaplah tugas perencanaan. Ia sudah lama mengajarinya dengan segenap tenaga dan perhatian. Ia betul-betul maksimal hingga rasanya stok kesabarannya mulai menipis dan hampir saja habis.

Mungkin kehadirannya juga hadiah. Hadiah dari Tuhan agar kita belajar mengasah kemampuan sabar, ujarku sambil tertawa. Jadi, biar item nilai kesabaran kita di rapor tidak kosong.

Bisa jadi, balasnya sambil tertawa. Atau kita jadi bersyukur, kita tidak sebebal itu, lanjutnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Kadang kehadiran teman itu membuat kita bersyukur... dan kadang bersabar. Cuman kita saja yang tidak sabar, ucap seorang ustadz pada suatu ketika sambil menyunggingkan senyum.

Dan kemudian pada khutbah Jumat siang kali ini, sang khotib di Masjid Muhajirin Perumahan Joyogrand juga menyampaikan pesan serupa. Kata beliau, kita dari kecil sudah diajari dan belajar tentang dua hal: syukur dan sabar. 

Saat SMP, pelajarannya juga sama: syukur dan sabar. Saat sudah punya anak pun, pelajarannya kembali dua hal tadi itu: syukur dan sabar. Cuman, lanjut sang Ustadz, tingkatan syukur dan sabar kita jadi berbeda.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Pada awalnya, kukira syukur dan sabar itu juga sikap pasif. Setelah kita diberi sesuatu, kita lalu memilih untuk bersyukur atau bersabar, sesuai sikap default kita. Model mental kita. Setelah hidup sekian tahun, rasanya syukur dan sabar ini rasanya juga sikap aktif.

Misalnya, kita bisa menjadi teman yang selalu membantu dan hadir saat teman kita terpuruk. Dan kita hadir dan ikut bahagia saat teman kita beruntung. Artinya, kita menjadi sarana bagi teman kita tersebut untuk bersyukur dengan kehadiran kita. Di sisi ini, kita jadi SYUKUR. Atau kita bisa jadi SABAR. Misalnya, saat berjanji untuk datang, kita ingkar. Atau kita bercerita buruk-buruknya orang tersebut kepada orang lain. Atau menyumpahi teman kita saat terpuruk.

Nah, saat teman saya patah hati dulu, saya bilang "SYUKURIN" sambil tertawa terbahak-bahak. Kalau begitu, saya itu jadi SYUKUR atau SABAR? #entahlah

Hadirmu Hadiah Terbaik Bagiku

Setelah meneruskan tulisan tentang Biarkan Matahari Tembus Lubang Hatimu, Faiz menulis di WhatsApp:

Jamanku patah hati, Abidin mengajakku berkeliling naik angkot biru. Entah kemana. Aku tak ada semangat. Dia tetap memaksaku.

Saat kami kuliah, memang Abidin paling dewasa. Paling bisa membaca dan ngemong teman-temannya. Termasuk saat Faiz patah hati. Momen patah hati tak pernah mudah bagi siapa pun. Saat itu, kita cenderung terdorong untuk mengurung diri. Mengasihani diri sendiri. 

Dan Abidin bisa membaca itu semua, dan mengajak Faiz berkeliling. Itu memang takkan menyembuhkan hati yang kadung patah dan terserak. Tak bisa mengembalikan jiwa yang tersesat. Tak bisa membangun rasa percaya yang kadung ambruk. Namun, kita jadi punya panduan. Kita seakan melihat cahaya temaram, yang akan memandu kita kembali. Kita jadi tidak merasa sendiri. Serasa ada harapan yang muncul dan menyeruak. 

Bila dirangkum, itulah artinya teman. Memahami dirimu tanpa kau perlu banyak bercerita. Hadir dengan satu alasan. Bahwa dia itu teman kita. Dan mengulurkan tangan saat kau butuh bantuan. Meminjamkan telinga saat kau butuh orang yang bisa mendengarkan. 

Ingatan itu juga membawaku pada suatu momen pertunangan dulu. Tanpa kutahu sebelumnya, Abidin dan Faiz datang bersepeda motor dari Malang. Aku yang sedang sakit pun dipijat oleh Faiz lalu dibawa ke bidan desa oleh Abidin. Sejenak kemudian, Hadaruddin jauh-jauh dari Malang dan sampai ke rumah dengan memesan ojek dari Jabung. Kehadiran selalu berkesan. Kau boleh tidak membawa apa-apa. Selama engkau hadir dengan segenap tulus jiwa, engkau sudah menjadi hadiah terbaik. 

Bahwa betul sakit tidak akan sembuh dengan kita hadir. Bahwa hati yang patah takkan lantas kembali utuh. Namun, kehadiran akan menjadi nyala. Kehadiran akan selalu menjadi hadiah terindah bagi para penerimanya.

Photo by Kira auf der Heide on Unsplash

Namun, kita tidak bisa mengendalikan atau menentukan atau meminta agar teman-teman kita hadir pada momen-momen tergelap kita. Pada saat kita sebatang kara. Mereka punya kehidupan mereka sendiri. Punya ritmenya sendiri. Punya jalur yang harus mereka tempuh sendiri. Kadang seberapa pun mereka ingin hadir, situasi dan waktu menjadi penghalang.

Di dalam kendali kita adalah bagaimana kita menjadi sahabat bagi diri sendiri. Menjadi teman dan sahabat terbaik bagi orang-orang sekitar. Hadir dalam momen bahagia. Hadir dalam momen duka. Dan menjadikan kehadiran kita hadiah, yang orang lain syukuri...     

 

Biarkan Matahari Tembus Lubang Hatimu

Setelah menulis Sebatang Kara tapi Tak Lantas Menderita, kulihat lagi sound track film Dear Evan Hansenn. Puas melihat dan mendengar lagunya, sebagaimana biasanya, kulihat lagi berbagai komentar. Ada satu komentar yang menarik perhatian. Komentar tersebut ditulis Sophia:

Hi. I’m a 13 year old girl and I feel lost. I started developing symptoms of depression and social anxiety at the beginning of 2019, due to my sister’s suicide attempts. It developed, until I eventually started to experience thoughts of suicide. I want to disappear, but when I’m on that edge - I keep getting reminded that I’m not alone in this, even though my mind always tricks me into believing that nobody cares about me. But, deep down, I know they do. You’re not alone, none of us are. Whoever you are - I love you.

Update: I finally asked for help and will start therapy as well as taking medication! It took me almost 3 years to ask for help, but it is so worth it! Also, thank you for all of the lovely replies, they’ve really helped me keep going! :)

Bila diterjemahkan, kira-kira begini terjemahannya:

Halo. Saya seorang gadis yang berusia 13 tahun dan merasa tersesat. Saya mulai merasakan gejala depresi dan kecemasan sosial pada awal 2019 karena saudari saya mencoba bunuh diri. Gejala itu terus memburuk hingga muncul pikiran-pikiran untuk bunuh diri. Saya ingin menghilang. Saat berada di tepi itu, saya terus diingatkan bahwa saya tidak sendirian. Namun, pikiran selalu memperdaya dan mendorong untuk percaya bahwa tidak ada yang peduli terhadap diri  saya. Jauh di lubuk hati, saya tahu mereka peduli dan sayang. Anda tidak sendiri, tidak ada satu pun orang yang sendirian. Siapa pun kamu, aku mencintaimu.

Kabar terbaru: Saya akhirnya meminta bantuan dan memulai sesi terapi serta minum obat! Butuh hampir 3 tahun untuk meminta bantuan. Jelas, bantuan itu sangat berharga! Selain itu, terima kasih atas semua balasan yang indah. Balasan kalian benar-benar membantu saya untuk terus maju! :)

Gejala seperti ini unik karena setiap orang merasakan campuran pikiran yang berbeda-beda, dan bervariasi antara satu orang dengan orang lain. Unik, tetapi banyak orang mengalaminya. Cuman, tidak banyak yang secara terang-terangan mengakuinya dan menuliskan di depan publik.

Dalam lagu yang ditulis indah ini, penyelesaiannya ditulis dengan sangat sederhana. Membiarkan sinar matahari menembus pori-pori hati.

Yuk, kita lihat cuplikan liriknya di bawah ini:

Even when the dark comes crashing through
When you need a friend to carry you
And when you're broken on the ground
You will be found

So let the sun come streaming in
'Cause you'll reach up and you'll rise again
Lift your head and look around

Bahkan jika kegelapan menerjang
Jika kau butuh sahabat untuk membuatmu bangkit
Dan jika kau terjerembab 
Kau akan ditemukan

Biarkan sinar matahari menembus masuk
Karena akan kau gapai dan bangkit lagi
Dongakkan kepala dan lihat sekeliling

Caranya pun ditulis dengan sangat simpel. Membiarkan sinar matahari menembus pori-pori hati. Kadang, yang sulit dari orang yang mengalami masalah kesendirian dan kesepian, sepengalaman saya, adalah menutup diri dari orang lain. Tidak ada yang tahu. Dia mengelilingi dirinya dengan asumsi-asumsi, yang kadang tak berdasar. Pikiran-pikiran sendiri kadang jadi bui, yang justru menghambat masuknya sinar matahari.

Di situlah peran seorang sahabat. Seorang kawan. Seorang teman. Seorang rekan. Seorang saudara. Dan orang tua. Mereka perlu membuka batu kecil di tembok-tembok batu yang dipasang dengan sangat kuat oleh orang yang kesepian. Batu kecil itu akan membuat sinar matahari masuk. Dan orang yang kesepian perlu membiarkan cahaya matahari masuk melalui lubang-lubang hati yang sudah terbuka. Dan pada waktunya, keduanya bisa perlahan mendobrak bersama tembok-tembok mental tersebut.

Pada akhirnya, kita hanya manusia. Yang membedakan dengan hewan, kemampuan kita berkomunikasi, menjalin emosi, dan membentuk hubungan kuat. Pada akhirnya, kita perlu menjahit semua memori itu agar kuat menentang badai. Agar kesepian tak perlu merongrong harta kita yang paling berharga: kemanusiaan, hubungan, harapan, masa depan, dan...

Aku pun pernah merasakan momen-momen gelap ketika seakan harus terus-menerus membuktikan diri. Terus menerus memanfaatkan mekanisme pertahanan diri. Untunglah, ketika itu dipertemukan dengan orang-orang hebat.

Photo by Chang Duong on Unsplash

Saat pertama ke Malang, aku dipertemukan dengan Nur Abidin, yang selalu baik hati dan tulus membantuku bangkit ketika sedang jatuh. Dipertemukan dengan Faiz, yang selalu mendorongku untuk jadi lebih baik daripada kemarin. Dipertemukan dengan Yahya, yang selalu mengajariku bahwa kita bisa berjuang keras sekaligus tertawa lepas. Dipertemukan dengan Hadaruddin, yang tekadnya sekokoh baja. Dipertemukan dengan Fidi, yang selalu siap mendengar keluh kesah dan membuatku merasa tidak sendirian.

With you, I am always found... thank you

 

 

 

Sebatang Kara tapi Tak Lantas Menderita

Dalam perjalanan pulang dari Batu pada Ahad (28 Nov) ini, terdengar suatu lagu merdu dari radio. Dari suara khasnya, bisa ditebak bahwa itu suara emas Sam Smith. Setelah sampai di rumah, kuputuskan mencari lirik lengkapnya. 

Ternyata, lagu itu berjudul You'll be found dari OST Dear Evan Hansen. Lihat cuplikan liriknya di bawah ini.   

Have you ever felt like nobody was there?
Have you ever felt forgotten in the middle of nowhere?
Have you ever felt like you could disappear?
Like you could fall, and no one would hear? 

Bila diterjemahkan, kira-kira begini:

Pernahkah kau merasa sebatang kara?
Pernahkah kau merasa terlupakan di tengah belantara?
Pernahkah kau merasa sebaiknya lenyap saja?
Semisal, kau terjatuh dan tak ada siapa pun yang mendengarnya? 

http://www.impawards.com/2021/dear_evan_hansen_ver4.html

Setelah melihat trailer film musikal tersebut, lagu yang mengiringinya menyeretku ke masa lalu. Sebagai anak introvert sekaligus yatim, ada sisi di diri ini yang merasa seperti bagian dari lagu itu. Selain itu, rasanya aku ini berbeda. Seperti selalu jadi seorang misfit.

Beberapa orang mengistimewakan karena status anak yatim itu. Di sisi lain, di keluarga sendiri, aku selalu tersisih. Tak ada satu tindakan pun yang benar. Semuanya keliru. Tak ada satu prestasi pun yang cukup diapresiasi. Semuanya remeh. Pernah, aku menempati ranking 1, dan rasanya seperti tidak ada apa-apa. Semuanya berjalan seperti biasanya. Aku tak cukup disayangi seberapa besar upayaku untuk membuat bangga orang tua. Aku terjebak dalam asumsi pikiran itu sendiri lama sekali.

Bertahun-tahun aku terjebak dalam asumsi semacam itu. Kondisi itu menciptakan seorang bocah yang selalu menerapkan mekanisme pertahanan diri. Baginya, setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan dari gempuran-gempuran. Setiap hari adalah beban pertempuran yang harus dijalani dan diselesaikan. Meskipun memiliki banyak teman, si bocah kecil bernama "aku" itu tak pernah bisa benar-benar percaya orang lain. Trust issues. Bahkan kepada keluarganya sendiri. Benar kata orang, you're your worst enemy. Kamu sendiri itu musuhmu paling keji.

Baru beberapa tahun setelah itu aku paham. Bukan karena keluarga tak sadar dan tak menghargai, tetapi begitulah cara komunikasi yang diturunkan dari kakek-nenek, yang juga diwariskan dari kakek-nenek. Kami tak pandai menunjukkan perasaan. Kami tak pandai mengomunikasikan apresiasi. Kami lebih sibuk dengan asumsi-asumsi dan pikiran-pikiran sendiri. Kami ingin dibaca dan dipahami tanpa perlu menyampaikan apa-apa.

Kutahu bahwa sebenarnya mereka bangga dengan semua hal yang kulakukan. Dengan kebangkitan dari keterpurukan yang dalam. Namun, dengan cara yang tak bisa kupahami.

Tahu dari mana? 

Kukira tak ada seorang pun yang tahu tentang beberapa prestasi yang pernah kuraih. Ternyata, beberapa orang lain sudah tahu. Bapak-ibu sering bercerita kepada orang lain tentang anak-anaknya dengan mata berbinar. Mereka bangga, tapi kesulitan mengomunikasikannya kepada anak-anaknya. Tak apa-apa. Itu bukan salah mereka. Bapak-ibu juga seperti aku, yang hidup dengan asumsinya sendiri-sendiri.

Dan semua itu kusadari lebih jauh setelah menjadi seorang ayah. Menjadi orang tua membuatku menyadari hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Kesadaran itu terus membaik dan membuatku terus menyadari semua kesalahan-kesalahan asumsi. Membuatku memaafkan diri sendiri dan memaafkan orang-orang yang menurutku pernah bersalah. 

Pada akhirnya, kita semua manusia. Seberapa besar pun keluarga dan seberapa banyak pun teman, pada suatu masa, kita akan tetap sebatang kara. Kita sendirian saja: menghadapi semua. Kita akan tersenyum saat sendirian waktu itu. Sebab, kita tahu bahwa kita cukup dengan diri sendiri. Bersama Semesta.

Kita sendirian, tetapi tak lantas kesepian. Kita sebarang kara, tetapi tak lantas menderita. Dan kuncinya: merasa cukup dengan diri kita. 

Seperti lagu itu "You'll be found." Kau akan ditemukan, bukan oleh orang lain. Kadang oleh diri sendiri... Dan kita akan memeluk diri sendiri yang pernah terluka sambil berkata "Terima kasih telah berjuang. Terima kasih telah terus berusaha." And we will be found...

Pilih Melompat Saja atau Mati Perlahan?

Beberapa hari lalu saat beranjangsana ke rumah seorang sahabat, Nur Abidin, yang sekaligus CEO Thursina IIBS, sekolah Islam terkemuka di Indonesia, kami terlibat percakapan intens tentang disrupsi. Disrupsi adalah kondisi di mana solusi lama tak lagi efektif, mahal, dan kurang memuaskan dan digantikan solusi baru yang mendobrak prinsip-prinsip lama.

Toko konvensional digantikan oleh Tokopedia, Shopee, dll. Taksi umum dan ojek yang layanannya kurang memuaskan dan biayanya tidak pasti digantikan Gojek. Toko tiket digantikan Traveloka, Tiket.com, dll sebagainya.

Setiap industri lambat laun akan terkena gelombang disrupsi seiring perkembangan teknologi. Artinya, perubahan niscaya akan melanda, baik kita suka maupun tidak. Agar tetap relevan dengan perkembangan dunia, kita juga perlu berubah. Perlu melompat ke dalam gelombang perubahan.  

Situasi yang terus berubah dan penuh ketidakpastian membawa ingatan ke obrolan lain dengan seorang konsultan pemasaran. Ia menyebut kondisi ini sebagai burning platform.

Apa itu Burning Platform?

Frasa "burning platform/platform membara" muncul dari suatu kisah tentang terbakarnya suatu platform pengeboran minyak lepas pantai pada tanggal 6 Juli 1988. Pada hari itu, anjungan minyak Piper Alpha di North Sea meledak dan memicu kebakaran dahsyat yang merenggut 167 nyawa. Jumlah kematian ini terbesar dalam kecelakaan lepas pantai. 

Penyebabnya: kurangnya perhatian yang sebenarnya dapat dihindari. Sistem sederhana yang telah bekerja baik selama satu dekade ternyata mengalami kegagalan fungsi. Ledakan itu sangat dahsyat. Api melesat hampir 92 meter ke atas udara. Nyala apinya bisa dilihat dari jarak sekitar 10 KM.

Saat ledakan terjadi, para pekerja mengunci diri di sebuah ruangan di salah satu bagian anjungan. Harapan mereka: api akan padam dengan sendirinya sebelum mencapai ruangan itu atau sistem darurat akan menyelamatkan mereka. Saat tersadar bahwa rencana itu tidak akan berhasil, tiga orang berjalan ke tepi platform lalu melihat ke bawah ke laut. Bulu kuduk mereka berdiri melihat air yang sangat dingin dan keras.

Ada dua pilihan yang bisa mereka ambil: 1. Tetap berada di platform itu dan berharap saja yang terbaik. 2. Lompat ke laut dan mengambil risiko mengalami kematian akibat hipotermia.

Setelah berdiskusi, dua orang memilih melompat. Meskipun cedera parah, keduanya berhasil bertahan hidup setelah diselamatkan oleh operasi penyelamatan di tepi pantai. Pria yang memutuskan tetap di berada peron meninggal akibat terbakar karena helikopter yang akan menyelamatkannya tidak tepat waktu.

Bagi dua orang yang hidup itu, pilihannya adalah melompat atau terbakar di dalam bara api. Mereka lebih memilih keputusan "mungkin mati" daripada "pasti mati". Mereka tidak yakin sebenarnya bahwa melompat itu tindakan benar. Namun, mereka tahu bahwa tetap di platform itu salah karena platform sedang membara. Bagi yang tidak melompat, ia pikir itu ide cemerlang. Sebab, ia yakin bisa keluar hidup-hidup dan ada orang yang akan menyelamatkannya. Ternyata tidak ada.

Photo by Andy Watkins on Unsplash

Konkretnya?

Anggaplah organisasi kita berada di platform membara tersebut. Apa yang perlu kita lakukan? Pertama, menurut hemat saya, kita harus menganalisis dulu apa yang harus dan sebaiknya dilakukan untuk mencegah agar bisnis kita tidak mati terbakar. Kedua, mengomunikasikan hasil analisis dan keputusan. Tujuannya: semua anggota tim harus dibuat sama-sama paham bahwa platform kita sedang terbakar. Harapannya, keputusan organisasi bisa dipahami oleh sebagian besar orang.

Bila keputusannya adalah lompat dari platform dan menaiki gelombang, kita perlu membawa perlengkapan yang diperlukan untuk memastikan kita tidak mati sebelum terselamatkan gelombang atau ditemukan petugas.

Dalam konteks organisasi, kita perlu menguatkan dan membangun kapasitas organisasi agar fondasi organisasi tetap kuat meskipun nanti akan melompat menuju perubahan baru tersebut.

Selanjutnya, kita tinggal menaiki gelombang serta sambil mencari peluang. Harapannya, kita bisa tiba di pesisir dengan selamat. Dengan kapasitas organisasi yang telah kuat karena telah ditempa gelombang ganas lautan lepas, organisasi kita bisa lebih kuat menyongsong perubahan.

Apa pun perubahan dan sebesar apa pun kekuatannya, organisasi bisa tetap kuat dan tidak karam bila orang-orangnya menuju arah yang sama. Itulah pentingnya #teamwork, #superteam, dan #leadership...

SuperTeam itu Harus Super

Beberapa waktu lalu, saya sempat bertemu seorang konsultan ISO asal Surabaya. Perawakannya tegak dan berbaju rapi khas konsultan. Bahasa Indonesianya bercampur bahasa Jawa Suroboyo-an, yang ya antik itu. Pak David namanya.

"Tugas ini siapa yang mengerjakan?" dia menatap tajam sambil melihat tugas yang sedang kami kerjakan.

"Semua orang Pak"

"Semua orang?" intonasinya lebih serius, lalu menyeringai.

"Ya, budaya kami memang gotong royong Pak"

"Gotong royong itu bagus. Tapi bisa jadi tidak efektif. Untuk organisasi modern, kurang efektif itu Pak" jawabnya.

"Itu mirip dengan "Story of Somebody".

"Story of Somebody di luar sana, maksudnya Pak?"

"Bukan" sergahnya tegas lalu menunjukkan cerita di bawah ini.

Story of Somebody

This is a story about four people named Everybody, Somebody, Anybody and Nobody. There was an important job to be done and Everybody was sure that Somebody would do it. Anybody could have done it, but Nobody did it. Somebody got angry about that, because it was Everybody’s job. Everybody thought Anybody could do it, but Nobody realized that Everybody wouldn’t do it. It ended up that Everybody blamed Somebody when Nobody did what Anybody could have.

Saya pun mencoba menerjemahkan cerita ini ke dalam bahasa Indonesia.

Inilah kisah tentang empat orang. Masing-masing bernama: Setiap-orang, Seseorang, Sembarang-orang, dan Tak-seorang-pun. Ada tugas penting yang perlu dituntaskan dan Setiap-orang yakin Seseorang akan melakukannya. Sembarang-orang bisa melakukannya, tetapi Tak-seorang-pun melakukannya. Seseorang marah akibat kondisi itu karena itu memang tugas Setiap-orang. Setiap-orang merasa bahwa Sembarang-orang bisa melakukannya. Namun, Tak-seorang-pun sadar bahwa Setiap-orang tidak akan melakukannya. Akhirnya, Setiap-orang menyalahkan Seseorang saat Tak-seorang-pun melakukan apa yang semestinya bisa dilakukan Sembarang-Orang.

Apa maksud cerita ini?

CMIIW, cerita ini mengingatkan para manajer atau orang-orang di organisasi bahwa gotong royong itu kadang tidak efektif diterapkan di dalam organisasi, baik itu organisasi laba, nirlaba, maupun sosial.

Apa sebab?

Karena tidak ada pembagian tugas yang jelas, sehingga "Setiap-orang yakin Seseorang akan melakukannya." Namun, tidak ada yang melakukan tugas itu. Tugas itu terbengkalai dan akhirnya semua orang saling mencari kambing hitam.

Solusi?

Harus ada pembagian tugas yang jelas. Harus ada spesifikasi tugas alias planning, harus ada sumber daya (organizing), harus ada proses dan deadline penyelesaian tugas (actuating), dan harus ada pengawasan dan evaluasi atas efektivitas tugas yang dikerjakan (controlling).

Hehehehe, saya jadi merasa tersindir sendiri. 


Photo by Josh Calabrese on Unsplash

Jadi, SuperTeam pun harus jelas pembagian tugasnya agar superteam harus tetap super. Super dalam perencanaan, super dalam pengorganisasian, super dalam eksekusi, dan super dalam pengawasan.

 

 


kenanganmu di dalam hatiku, abadi

Saat pulang kembali ke Malang pagi ini, maaf Bu, aku terburu-buru sekali. Aku tak sempat berpamitan kepadamu. Air mataku tak lagi bisa kutahan. Hendak tumpah rasanya. Tak bisa kuperlihatkan air mataku yang membanjir kepada Kiki dan Prapto, serta Bapak. Aku tak bisa melihat mereka sedih melihatku dilingkupi kegelapan. Diratapi muram.

Rasanya, aku kehilangan arah Bu. Aku tersesat. Aku melanglang jauh, lalu kini tak tahu harus pulang ke mana.

Saat berada di dapur sebelum berangkat, engkau masih kulihat sedang menyalakan api tungku dan membuatku minuman hangat. Aku melihatmu menanak nasi dan menyiapkan lauk agar aku tak lapar saat dalam perjalanan pulang, seperti biasanya.

“Bawao nasi juga” perintahmu. “Kenapa harus terburu-buru pulang. Belum tuntas rasanya bertemu dan berbincang” kau tanyakan lagi benarkah aku hendak pulang sekarang.

“Aku akan kembali ke sini lagi Bu.” Jawabku. “Anak-anak harus sekolah dan aku juga harus bekerja. Nanti aku akan menginap lebih lama.”

Dan aku telah menginap lebih lama, 10 malam, Bu. Namun, engkau sudah tidur dan terlelap. Engkau sudah berbahagia. Engkau tersenyum. Aku bahagia atas kebahagiaanmu, tetapi aku rindu suaramu. Rindu kehadiranmu. Rindu perhatianmu. Rindu masakanmu. Dan rindu semua hal tentangmu.

Kau tahu, Bu. Rasanya, hatiku dipenuhi sesal karena tak banyak menghabiskan waktu bersamamu. Mendengarkan cerita-ceritamu yang meluncur deras. Banyak sekali pertanyaan yang sudah kusiapkan, tapi tak sempat kutanyakan. Kini, aku tak tahu harus bertanya kepada siapa lagi. Suara siapa lagi yang harus kudengarkan.

Saat pulang tadi pagi, rasanya hatiku dipenuhi berbagai pertanyaan dan perasaan aneh. Tak bisa kujabarkan dan tak bisa kujelaskan. Perasaanku berkecamuk. Rasa bersalah itu menyakitkan Bu.

Saat ayah dulu tidak ada, aku tak begitu merasakan dampaknya. Engkau melingkupi dan melindungiku dengan kedua sayapmu. Engkau tahan semua rasa sakit dan kebingungan. Engkau terima semua kepahitan.

Dan pagi ini Bu, sepanjang jalan, air mataku tumpah dan tak berhenti mengalir. Dadaku sesak. Pikiranku penuh, Bu. Bayangan tentangmu mengalir seperti air bah, dan rasanya aku ingin hanyut saja bersama kenangan-kenangan itu.

“Siapa tahu akan bertemu denganmu di hilir sana?” ujarku di dalam hati.

Segera kuenyahkan pikiran-pikiran itu. Engkau takkan senang, kuyakin. Engkau mendidikku bukan sebagai orang yang mudah kalah. Engkau mengajariku tentang keteguhan karang, tentang menahan rasa sakit, dan tentang berbagi rasa suka.

Engkau mengajariku harapan. Engkau mengajariku berjuang. Engkau mengajariku mencintai dengan tulus dan gagah berani.

Dan cukuplah kenangan tentangmu menyinari jalanku menerjang jurang gelap kesedihan. Dan menjaga kedua adik, sebagaimana pesan-pesanmu.

Aku mencintaimu Bu... dan akan terus hidup dengan semua kenangan baik tentangmu.

 

 


kutemukan dirimu di mana-mana

kutemukan dirimu di mana-mana

kini engkau pergi
tapi kutemukanmu di mana-mana,

di rumah tetangga tempatmu sesekali merebahkan badan
dan berbincang setelah lelah bekerja seharian;

di tengah riuh suara ayam yang engkau beri pakan,
saat pagi datang atau sore menjelang.

kini engkau lenyap
tapi kutemukanmu di mana-mana,

di butiran air mata yang menguap karena kutahan,
di genangan kenangan yang kujalin dan kurajut perlahan.

di dalam hati orang-orang yang masih terkenang,
ujar mereka, ibumu tak pernah merepotkan dan tak pernah jadi beban.

kini aku tak harus pulang ke mana-mana,
karena di hatiku engkau bersemayam.

tidurlah Bu, tidurlah dalam keabadian,
aku akan merindukanmu melebihi yang sudah-sudah.

tidurlah Bu, tidurlah dalam tenang,
kita dulu berdua saja, dan kini engkau sudah bersama mereka.

mampirlah sejenak di hatiku,
sentuh agar hatiku bisa setulus dan setenang dirimu.

kini engkau pergi
tapi kutemukanmu di mana-mana.


Kado Terbaik bagi Seorang Teman

Saat sepuluh hari lalu, Mas Dwi menyampaikan undangan pernikahan yang indah melalui situs web, senyumku langsung tersungging. Hati semringah dengan kabar bahagia dari salah satu teman baik semasa kuliah S2 di UMM ini. Sudah beberapa tahun, Mas Dwi menjalin hubungan dengan Lita. Dan ketika pada akhirnya pernikahan ini akan dilangsungkan, tak ada kata selain bahagia yang mengiringi.

Ternyata, teman sekelas lain juga dihubungi melalui jalur pribadi. Satu per satu.

Meskipun kemudian kami berkumpul dalam satu grup WA untuk membahas apakah teman-teman akan hadir dan bagaimana caranya, sebagian besar ternyata berhalangan.

Bisa dimaklumi. Setelah lulus dari UMM tahun 2019, kami otomatis terpencar dengan mimpi masing-masing yang perlu ditunaikan. Kehidupan masing-masing yang harus dijalani.

Sebagian besar ingin menitipkan kado bila ada salah seorang yang akan ke sana. Masalahnya, siapa yang akan ke sana?

Kemungkinan besar: Tidak ada.

Kado Terindah

Ketika Mbak Herlin bertanya, apakah ada jalur pribadi untuk mengirim kado. Mas Dwi membalas singkat “Yaah padahal pengen kalean dateng biar reoni skalian.” Tidak ada balasan lain lagi.

Kalimat ini mengingatkanku pada frasa bahasa Inggris ““Your presence is the best gift you can give me.”

Singkat dan padat. Seakan-akan Mas Dwi hendak bilang “Kado itu penting, tapi yang terpenting adalah kado kehadiran, terutama untuk momen ini. Momen pernikahan ini. Kado ini tak ada penggantinya.”

Kalimat itu menusuk inti jantung. Terbayang kemudian adegan-adegan kocak saat kami makan tahu telur dengan terburu-buru di belakang kampus dulu karena khawatir ketinggalan mata kuliah. Meskipun pedas dan panas, kami percepat makannya.

Setelah balik ke kelas, ternyata dosen kami tidak datang. Dan kami tertawa terbahak-bahak.

Dan dia ingin kami hadir semua. Hadir dengan semua kenangan itu. Bercanda seperti dulu. Berfoto-foto gak karu-karuan seperti dulu. Di lift, di tepi sungai, di tepi danau, di lokasi seminar, atau bahkan di warung.

Dia ingin kami HADIR.

Dan pagi ini, kutegaskan tekad dan komitmen untuk datang dan hadir pada acara pernikahannya.  

Google Maps Saja

Bagaimana cara menuju Bapra Pasmar 2 di Sidoarjo, venue pernikahan keduanya?

Google Maps saja, pikirku.

Semuanya terasa mulus sampai saat mau keluar dari rumah. Ada truk penyedot Tinja berwarna hijau menghalangi sehingga mobil kami tidak bisa lewat. Dua puluh menit rasanya kami harus menunggu sambil sesekali harus mencium bau semerbak yang terbawa angin pagi. Duh.

Setelah truk menyingkir, kami pun lewat. Sudah pukul 10 dan kami masih di rumah, sementara acara pernikahan dimulai pukul 10 dan diakhiri pukul 13.

Kami pun bergegas menuju pintu tol Lawang menuju pintu Tol Krian dengan berbekal petunjuk suara dan gambar dari Google Maps. Namun, Maps di hape ternyata nonaktif. Karena tak kunjung bersuara, kuikuti saja arus kendaraan. Dan kami tersesat. Kami bingung karena masuk ke perumahan pondok jati. 

Khawatir juga ada polisi yang menilang kami. Ternyata tidak.

Setelah bertanya jalan dan berganti menggunakan tablet istri, si Mbak Google bersuara lagi. Dan perjalanan kami lancar. Ada pelajaran yang kami petik: Kami hanya perlu percaya pada niat baik, dan jalan akan dibukakan oleh yang Maha Kuasa, via Google Maps.



Bapra Pasmar

Sesampainya di gedung pernikahan di Bapra Pasmar, suara band pengiring mengalun merdu. Terlihat di kejauhan sana Mas Dwi menabuh drum dan didampingi sang mempelai. Kulambaikan tangan berkali-kali tapi rupanya tak terlihat.

Akhirnya, kami sekeluarga menikmati suguhan yang disediakan. Sambil makan, terdengar Mas Dwi yang menyanyi bersama sang mempelai. Suasana penuh kebahagiaan menguar dari wajah keduanya dan keluarga yang ikut berbahagia. Suasana yang mudah-mudahan bertahan sampai lama. Sampai tua dan nyawa tiada.

Kulambaikan tangan lagi sambil membuka masker. Wajahnya semringah saat melihatku. Senyum tersungging lebar. Rasanya, Mas Dwi hendak loncat dari pelaminan untuk menyambut kami. Bila tak ada orang yang mengantre untuk berfoto, rasanya dia akan langsung loncat.

Setelah mengantre untuk berfoto, akhirnya kami maju dan bersalaman.

“Sendirian Pak Anton?”

“Mau sendirian atau bareng-bareng, aku hadir Mas. Tak bawa istri dan anak-anakku sebagai pengganti teman-teman sekelas.”

Kami pun berfoto.

Kebahagiaan itu menular. Kami tersenyum dan berdendang kidung cinta sepanjang perjalanan pulang. Ada komitmen yang terukir. Ada janji yang terpatri. Dan ada kebahagiaan yang meluber ke mana-mana.

Doa kami, sebagaimana doa teman-teman kelas yang lain:

“Semoga keluarga Mas Dwi dan Mbak Lita sakinah, mawaddah wa rahmah. Menjadi tim yang kompak sambil menyongsong masa depan” Aamin.

Sabtu di Antara Jalan-Jalan Baru dan Buku-Buku Tua

 Malang Saat Bu Poedji, dosen semasa kuliah S2 di UMM, mengabarkan tentang buku yang perlu diambil Sabtu pagi hari ini, aku langsung mengajak istri ke sana. Sayangnya, ia tak bisa. Ada urusan sekolah yang harus diselesaikan.

Untunglah, Keena, anak perempuanku, berkenan menemani ayahnya. Bila diingat-ingat, sudah lama aku tidak mengajaknya jalan-jalan bersepeda motor. Mencari jalan-jalan baru, yang belum pernah kami susuri.

Sudah jadi kebiasaan dari dulu, aku mengajaknya mencoba melewati jalan-jalan baru. Memasuki gang-gang yang tidak pernah kami masuki. Sering juga, kami masuk gang buntu. Kami pun harus memutar balik. Kami toh senyum-senyum saja karena sudah terbiasa tersesat.

Harapanku, saat beranjak dewasa, dia membawa ingatan itu. Ingatan tentang jalan-jalan yang kami lalui. Tentang gang-gang buntu yang membuat kami memutar arah. Bahwa tak ada salahnya mencoba melakukan baru. Bila gagal, cukup putar kendaraan dan cari jalan baru.

Saat jarum jam menunjukkan angka delapan, kami pun berangkat dari rumah. Keena mengusulkan untuk melewati jalan alternatif. Kami pun melewati jalur tikus Tumapel-Tasikmadu. Sepanjang perjalanan, ia bercerita banyak hal, yang sayangnya terdengar lamat saja di telinga. Karena terhalang helm dan suara lalu lintas, telinga kurang peka.

Beberapa menit berselang, kami sampai di rumah Bu Poedji.

Kami pun bertegur sapa. Singkat cerita, suami Bu Poedji ternyata saudara sepupu suami teman kerjaku dulu. Jadinya, obrolan kami tersambung. Tersambung ke Singosari. Tersambung ke Lamongan dan tersambung ke mana-mana.

Satu jam lebih rasanya kami saling bertukar cerita. Entahlah, terasa cepat saja.

Jalan-Jalan Baru

Sepulang dari rumah Bu Poedji, kami pun melewati jalan Raya Dermo. Keena terperangah karena belum pernah lewat sana.

Pernah, jawabku. Hanya, sekarang jalannya lebih lebar saja. Makanya terlihat seperti jalan yang belum pernah sampeyan lewati.

Ooo iya, ya.

Kalau jalan ini pernah?

Never, jawabnya dalam bahasa Inggris.

Pernah, ini jalan Tirto Taruno, jawabku.

Never.

Beberapa meter setelahnya ia ingat jalan itu setelah melihat gedung besar sekolah Thursina.

Oh itu Thursina ya yah, tanyanya untuk mengonfirmasi.

Betul, ucapku.

Dia pun tertawa dan takjub sendiri. Ia lalu berdendang sepanjang perjalanan. Entah lagu apa. Aku hanya mendengar sekilas.

Toko Buku Bekas

Karena masih terlalu pagi untuk makan siang atau pulang, aku usulkan untuk menuju toko buku.

Setuju, sahutnya. Wajahnya pasti semringah. Sayang, tak bisa kulihat karena tertutup helm.

Toko buku baru atau bekas?

Masa buku bekas?

Ya nggak apa-apa. Kadang kita menemukan buku bagus di toko buku bekas.

Toko buku baru saja.

Tapi toko buku bekas lebih murah.

Oke kita coba saja ya, jawabnya. Mungkin ia luluh mendengarku sedikit ngotot.

Aku pun mengarahkan sepeda motor menuju toko buku Wilis.

Setelah memarkir sepeda motor, kami menuju toko buku pojok kanan depan. Sang penjual cekatan menawarinya majalah Bobo.

Ia pun tertarik mengambil lalu membaca satu majalah Bobo. Tak tahu apa yang membuatnya tertarik. Mungkin, ia teringat cerita bahwa dulu ibunya sering membaca majalah Bobo ketika kecil.

Melihat Keena asyik membaca majalah Bobo, sang bapak penjual menggunakan trik upselling.

Toko Buku Wilis
Toko Buku Wilis

Nah, bapak punya banyak koleksi majalah Bobo, ucapnya. Ia lalu membuka bungkusan kresek yang berisi mungkin seratusan majalah Bobo. Mata Keena berbinar. Senyumnya tersungging tipis.

Di depan toko, terdengar suara serak seorang pemuda yang membaca puisi. Terdengar familiar di telinga. Rupanya, sang bapak penjual menyetel puisi-puisi populer Sapardi Joko Damono di speaker wireless JBL berwarna biru.

Hujan di bulan Juni, yang Fana adalah Waktu, Kuhentikan Hujan... mengalun merdu ditemani bau buku tua, yang khas, tercium hangat tetapi menyengat. Bau itu memicu serangkaian ingatan tentang masa lalu.

Tumpukan buku tua, suasana sepi dan syahdu di deretan toko buku, dan bapak tua yang sibuk merapikan dan menata buku pada hari Sabtu mengingatkanku pada adegan Rangga dan Cinta di film Ada Apa dengan Cinta.

Bedanya, teman kencan bukuku Sabtu siang ini bernama Keena.