Seorang teman baru bercerita betapa ia senang ditanya kondisi saat sedang terbaring sakit. Baginya, itu tak menerobos batas privasi yang ia tetapkan.
Malah, lebih
kepada sebentuk kepedulian.
Orang
peduli tentang kehadirannya. Ia punya makna.
Ternyata
betul dugaan kita semua, kepedulian sekecil apa pun selalu berguna.
Bahkan bila
kepedulian itu dalam bentuk kebencian.
Diabaikan
dan tidak dihiraukan selalu lebih sakit. Rasa sakit karena
diabaikan dan dianggap tidak ada sering kali lebih menyakitkan dibandingkan
dibenci.
Ketika seseorang dibenci, itu setidaknya
menunjukkan ada perhatian atau emosi yang diarahkan kepada mereka. Namun,
diabaikan membuat seseorang merasa tidak terlihat, tidak berharga, dan tidak
dianggap penting.
Ada sekitar empat penjelasan.
Pertama, rasa tidak
diakui. Ketika diabaikan, seseorang merasa identitas dan keberadaannya tidak dihargai. Akibatnya bisa berubah menjadi luka emosional yang dalam.
Kedua, kehilangan
koneksi. Sebagai makhluk
sosial, kita butuh interaksi dengan orang lain. Ketika
diabaikan, seseorang kehilangan rasa keterhubungan itu. Akibatnya rasa sepi dan sendiri.
Ketiga, meningkatkan rasa tak percaya diri. Diabaikan
sering kali membuat seseorang meragukan makna diri,
bertanya-tanya apakah mereka cukup baik atau layak.
Keempat, efek psikologis
yang dalam. Penelitian
menunjukkan bahwa rasa diabaikan memengaruhi otak dengan cara yang sama seperti
rasa sakit fisik. Artinya, dampak emosional pengabaian itu begitu serius.
Thus, bila ingin menyiksa seseorang, cukup
abaikan saja. Itulah hukuman terkejam yang bisa kita berikan. Bila masih peduli,
kita tunjukkan kepedulian.
Sayangnya,
kita sekarang lebih senang menerimanya, bukan sebaliknya. Memberikannya meski seminimal tersenyum...