Diari Syukurku #14: Es Teler Steve Jobs

Siang Ahad kemarin, cuaca Singosari benar-benar panas.

Matahari sedang tersenyum paling cerah. Langit sumringah sekali. Awan pun tak sanggup menahan senyumnya. Jadilah, suasana terasa sumuk sekali.

Lanjutannya? Tentu saja, beli es.

Saya pun berinisiatif. Tujuannya: mencari es teler. Konon, ini es teler paling legendaris di Singosari.

Saya cepat bersiap. Jaket hitam saya kenakan. Motor langsung saya nyalakan. Mulut saya rasanya sudah mengunyah es teler dingin itu. Sudah sangat ngiler.

Sesampainya di sana, antrean sudah panjang. Ibu-ibu berjejer rapi.

Saya lantas memesan. Saya sebut pesanan saya kepada si Ibu penjual. Ia tampak sibuk luar biasa.

"Sebentar, Pak ya," balasnya singkat.

Saya duduk menunggu. Sabar. Lima menit kemudian, si Ibu memanggil.

"Es krimnya habis, Pak."

Mendengar itu, saya langsung menjawab. "Tanpa es krim saja tidak apa-apa."

Si Ibu menatap saya. "Kami jualannya Es Teler Es Krim, Pak."

"Jadi, tidak bisa dijual?" tanya saya lagi.

"Iya, Pak. Maaf, ya. Aturannya begitu. Kami hanya jual es teler yang ada es krimnya. Kalau tidak ada, ya berarti tidak bisa kami jual."

Ia menatap saya lamat-lamat. "Maaf, Pak," ucapnya sekali lagi.

"Iya, tidak apa-apa," sahut saya. Padahal, rasa dongkol dan kecewa harus saya tahan.

Saat itu, saya memilih tidak marah. Biarlah hasrat mencicipi es teler ini tertunda. Keinginan yang ditahan seringkali terasa lebih manis saat akhirnya terwujud.

Tapi, ada hal yang lebih menarik.

Ibu ini hanya menjalankan suatu aturan kerat. SOP yang ia tetapkan sendiri. Dan saya salut sekali.

Ini UMKM kecil, tapi punya idealisme produk tinggi. Pikirannya tidak melulu soal uang, duit, dan fulus. Ia rela menolak pembeli—menolak rezeki—hanya karena produknya tidak sesuai spesifikasi.

Saya memang gagal mendapat es teler idaman. Namun, saya justru mendapat pelajaran berharga.

Di tengah persaingan sengit, setiap usaha harus punya pembeda. Pembeda si Ibu penjual adalah kualitas dan spesifikasi produknya. Ia tidak kompromi.

Hal ini mengingatkan saya pada ucapan Steve Jobs: "If you do the right things on the top line, the bottom line will follow."

Lakukan hal yang benar pada kualitas produk (top line), maka keuntungan (bottom line) akan mengikuti. Si Ibu penjual es teler itu adalah bukti nyatanya.

Diari Syukurku #13: Merayakan Ngopi dan Umbi

Semalam, saya mendapat undangan paling santai dan paling berharga: ngopi bareng tetangga di kampung.

Kami berempat duduk melingkar di pendopo pondok sambil ditemani aroma pekat kopi Arjuno yang baru diseduh yang berpadu manis legit ubi Cilembu yang hangat mengepul. Ini adalah perjamuan yang sangat sederhana, tapi kaya rasa.

Di tengah kesederhanaan suguhan itu, obrolan kami mengalir tanpa batas. Kami bahas keamanan kampung, lalu meloncat cepat ke kabar terbaru dunia sepak bola. Tidak ada agenda, tidak ada yang terburu-buru. Hanya percakapan gayeng dari hati ke hati. Tak terasa waktu merayap, dan selepas kopi tandas, kami lanjut berkeliling kampung untuk ronda. Malam itu, semua berjalan aman, tenang, dan damai.

Mungkin, jika diceritakan, momen ini terdengar biasa saja, bahkan nyaris tidak ada yang istimewa.

Namun, justru di situlah letak keistimewaannya.

Bagi saya, kehangatan semacam ini adalah harta karun yang makin langka. Ini adalah bukti bahwa keguyuban—keakraban sejati—masih terjaga. Kami bisa bercakap-cakap tanpa sekat, tanpa perlu janjian formal, dan yang terpenting, tanpa intervensi layar ponsel.

Interaksi sehangat ini perlahan tergerus, tergantikan oleh hubungan yang serba praktis, bergeser menjadi sekadar urusan transaksi dan kepraktisan. Itulah mengapa hal-hal kecil, seperti ngopi santai di teras, ronda keliling, atau sekadar melempar canda ringan, patut dirayakan.

Yang sederhana ini sejatinya adalah kemewahan yang tersembunyi. Ia baru terasa sangat berharga ketika hilang; saat tetangga sibuk dengan urusannya masing-masing, saat setiap orang hanya fokus pada kendala, dan saat kita lupa bagaimana caranya merayakan kebersamaan. Jangan sampai kita baru menyadari nilainya ketika suasana hangat itu tinggal kenangan.

Apakah ini termasuk ibadah? Tentu saja. Ibadah ngopi.

Saya jadi teringat puisi Usman Arrumy yang berjudul Rukun Ngopi.

Rukun ngopi terdiri dari 6 perkara :
Pertama, bersuci dari sepi
Kedua, menggelar puisi
Ketiga, menghadap rindu
Keempat, mengheningkan cinta
Kelima, mengucapkan salam kepada kenangan
Keenam, mendo'akan keselamatanmu



Diari Syukurku #12: Dipaksa Bahagia oleh Gus Baha dan Ayam Ketawa

Awalnya, terus terang, aku amat terganggu. Jauh sebelum matahari menampakkan sinarnya, sekitar pukul empat pagi, kokok ayam di belakang rumah sudah memecah keheningan. Bunyinya bukan hanya sekali dua kali, melainkan bertalu-talu, nyaring dan terus-menerus. 

Setiap kali ia bersuara, keinginan untuk kembali menarik selimut dan menikmati sisa tidur pun langsung sirna tanpa sisa. Begitulah rutinitas yang harus saya hadapi setiap pagi.

Rasa penasaran akhirnya mengalahkan kejengkelan. Kuintip, dan ternyata, si biang kerok itu adalah Ayam Ketawa. Ayam unik ini, yang dijuluki juga Ayam Jantan dari Timur, merupakan spesies asli Indonesia, tepatnya dari Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan.

Meskipun kokoknya yang khas itu sempat mengusik ketenangan, aku putuskan untuk mencoba menikmati alih-alih terusik. Caranya sederhana: saya menirukan kokoknya. Saat saya tirukan, tiba-tiba terdengar lucu, bahkan konyol.

Sejak saat itu, ada perubahan kecil di hati. Setiap pagi, saat kokok itu kembali terdengar, aku tidak lagi menggerutu. Sebaliknya, aku justru tersenyum kecil karena teringat pada tingkah konyol saat menirukannya. Ayam itu, dengan keunikannya, seolah memaksaku untuk memulai hari dengan perasaan riang dan bahagia.

Oleh Kangwira - my farms, CC BY-SA 3.0, 
https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=31166978

Pelajaran dari Gus Baha dan Marcus Aurelius

Fenomena ayam ini tanpa sengaja mengingatkanku pada pengajian Gus Baha. Beliau pernah berpesan bahwa kita harus mencari cara untuk terus riang, terus berbahagia. Logikanya sederhana: kita sudah diberi begitu banyak nikmat oleh Allah, dan bukankah Sang Pemberi pasti tidak menyukai jika melihat penerima hadiahnya justru bermuram durja?

"Anda lebih suka orang yang setelah dikasih (hadiah) tersenyum bahagia atau yang mrengut (cemberut)?" tanya Gus Baha, selalu diiringi tawa khasnya.

Seketika kuberpikir, benar juga.

Konsep untuk selalu mencari jalan menuju kebahagiaan ini ternyata berakar kuat di mana-mana. Bahkan, dalam buku klasik "Meditations" karya filsuf Stoa, Marcus Aurelius, kita diingatkan tentang pentingnya rasa syukur di pagi hari.

Ia menulis: "Ketika Anda bangun di pagi hari, pikirkanlah betapa istimewanya hak istimewa untuk hidup—untuk berpikir, untuk menikmati, untuk mencintai." (When you arise in the morning, think of what a precious privilege it is to be alive—to think, to enjoy, to love.)

Jika seekor ayam saja bisa "tertawa" dan berbahagia dengan caranya yang unik, lalu tanpa sadar menebarkan energi positif itu pada orang lain, lantas mengapa kita sebagai manusia harus memilih untuk mengawali hari dengan wajah cemberut?

Diari Syukurku #11: Kasih yang Pilih-Pilih

Beberapa waktu lalu, aku menonton video singkat yang menarik. Di video itu, diperlihatkan banyak orang di negara Barat yang berupaya keras menciptakan alat-alat canggih agar tupai tidak bisa mencapai tempat makan burung. Mereka menyebutnya bird feeder

Fenomena ini menunjukkan sebuah ironi: mereka senang memberi makan burung, tetapi di saat yang sama, mereka mati-matian menghalangi tupai. Sama-sama hewan, kan? Sama-sama liar.

Alasannya sederhana, burung hanya makan seperlunya, sementara tupai akan menimbun semua makanan yang ada.

Jika direnungkan, perbedaan sikap ini ternyata bukan hanya tentang hewan, melainkan refleksi dari cara pandang manusia. Burung dianggap sebagai tamu yang sopan: datang sebentar, membawa keindahan dan kicauan merdu, lalu pergi tanpa meninggalkan masalah. Sebaliknya, tupai dipersepsikan sebagai hewan rakus, cerdik, dan selalu ingin berkuasa. Singkatnya, burung melambangkan harmoni, sementara tupai melambangkan gangguan.

Fenomena sederhana di halaman rumah itu menyimpan pesan etis yang dalam tentang nilai-nilai sosial. Manusia cenderung lebih nyaman dan bersedia berbagi ruang dengan mereka yang tidak menuntut berlebihan, yang memahami batas kebutuhan, dan yang kehadirannya membawa manfaat. Mengusahakan pun pilih-pilih.

Sebaliknya, mereka yang serakah, selalu ingin menguasai, atau menimbulkan masalah akan cenderung dihindari. Sederhana saja, berbagi akan terasa lebih menyenangkan jika ada keseimbangan antara memberi dan menerima.

Kita bisa bertanya pada diri sendiri: dalam kehidupan ini, apakah kita lebih sering bersikap seperti burung atau tupai? Apakah kehadiran kita membawa ketenangan dan rasa cukup, membuat orang lain nyaman, atau justru kita selalu ingin menumpuk dan pada akhirnya dijauhi?

Pada akhirnya, tindakan memberi makan burung sambil menghalangi tupai dapat dibaca sebagai sebuah simbol. Manusia secara alami akan memilih untuk mendukung sikap yang membawa kedamaian dan menjauhi sifat yang menimbulkan keresahan. 

Ini adalah cermin dari sifat-sifat manusia itu sendiri, yang diekspresikan melalui interaksi dengan alam.

Duh, belajar lagi, kan?

Diari Syukurku #10: The Alchemist dan "Harta Karun" Jawaban

Santiago, seorang gembala muda dari perbukitan Andalusia, hidup sederhana dan sudah puas dengan kawanan dombanya. Namun, hatinya tak pernah tenang. Berulang kali, ia dihampiri mimpi yang sama: seorang anak kecil menuntunnya ke Piramida Giza di Mesir lalu menunjukkan lokasi sebuah harta karun tersembunyi.

Mimpi itu terasa begitu nyata hingga Santiago percaya bahwa itu isyarat takdir. Ia pun memutuskan untuk keluar dari zona nyaman. Ia menjual domba-domba kesayangannya lalu memulai perjalanan panjang yang penuh ketidakpastian.

Di tengah petualangannya, semesta seakan mengirimkan guru-guru tak terduga:

Ia bertemu Melkisedek, seorang raja tua misterius yang memperkenalkan konsep "Legenda Pribadi"—takdir yang menanti setiap manusia jika mereka berani mengejarnya.

Di sebuah kota kecil, ia bekerja pada seorang pedagang kristal. Dari pedagang itu, Santiago belajar bahwa kerja keras dan ketekunan adalah jalan untuk mewujudkan impian, meski impian itu mungkin tak pernah tergapai.

Di gurun pasir yang luas, ia bertemu dengan seorang Inggris yang terobsesi pada ilmu alkimia, membuka mata Santiago pada dunia pengetahuan yang lebih dalam. Di sana pula, ia menemukan cinta sejati pada diri Fatima, seorang gadis gurun yang mengajarkan arti pengorbanan dan penantian.

Puncak perjalanannya adalah saat ia bertemu Sang Alkemis legendaris. Alkemis ini bukan hanya mengajarinya cara memahami Bahasa Semesta dan menyatu dengan Jiwa Dunia. Beliau juga menjadi mentor spiritual yang mengantarnya pada pemahaman bahwa harta sejati bukanlah emas, melainkan perjalanan itu sendiri—pengetahuan dan kebijaksanaan yang ditempa oleh pengalaman.

Namun, kejutan terbesar menantinya di ujung perjalanan. Setelah menempuh ribuan kilometer hingga ke Mesir, Santiago mendapati bahwa harta karun itu tidak ada di sana. Justru, ia menemukan petunjuk bahwa harta itu tersembunyi di tempat ia memulai perjalanan. Tepatnya, di reruntuhan gereja tua tempat ia tidur bersama domba-dombanya.

Santiago pun kembali. Ia menggali di bawah pohon sycamore, dan benar saja, sebuah peti penuh harta karun menantinya. Ia telah menemukan apa yang ia cari. 

Lebih dari itu, ia telah menemukan dirinya sendiri. Santiago belajar bahwa takdir adalah sebuah siklus, dan untuk menemukan harta sejati, seseorang harus berani meninggalkan apa yang ia miliki dan kembali ke akarnya dengan jiwa yang telah diperkaya.

Itulah sinopsis dari buku Alchemist yang ditulis oleh Paulo Coelho.

Buku ini muncul di benak saat aku menulis tentang interaksi. Rupanya, inti dari hidupku tentang interaksi. Berinteraksi secara horizontal dan vertikal. Adakalanya, interaksi menghasilkan kecewa, sesekali menghadirkan bahagia. Untuk memahami itu, aku harus menjalani perjalanan panjang. Panjang sekali dan melelahkan...

Dan ternyata jawabannya malah kutemukan di rumah, tempatku memulai pencarian.

Diari Syukurku #9: Kenangan yang Menetap

"Anak saya, yang sulung, sekarang kerja jadi teknisi di tambang Kalimantan," ujar Minto, salah seorang tetanggaku. Matanya berbinar, memancarkan kebanggaan yang tak terbendung saat bercerita tentang putranya.

Anak sulung Minto, setelah tiga bulan bekerja, akan mendapatkan jatah pulang. Waktunya tak selalu sama, kadang seminggu, kadang sepuluh hari. Semua biaya, dari pesawat sampai transportasi darat, sudah ditanggung perusahaan.

Warung ndalem ratu di Singosari

Saat pulang, tak pernah absen dia mengajak keluarganya makan di luar. Minto, dengan bangga, pernah berujar kepada anaknya, "Terima kasih, Le. Adik-adikmu mungkin akan lupa uang yang kamu kasih. Tapi, mereka akan selalu ingat kenangan makan bersama seperti ini."

Mendengar cerita Minto, pikiranku melayang pada pengalaman beberapa waktu lalu. Saat itu, aku sedang menjadi bagian dari sebuah tim di sebuah lembaga. Sesekali, aku mengajak teman-teman makan bersama di luar. Kami mencoba warung-warung baru, dan mencicipi menu di kafe-kafe kekinian.

Pengalaman-pengalaman itu, kenangan yang tercipta, ternyata menetap lama dalam ingatan kami. Sampai sekarang, kami masih sering mengenang kafe yang pelayanannya lambat, atau kafe yang akhirnya tutup setelah kami datangi. Kami juga masih ingat, kami sengaja menaruh ponsel di meja agar bisa saling bercerita tanpa gangguan.

Kami mensyukuri momen-momen itu. Kami merayakan persahabatan sebelum budaya kerja berubah menjadi rutinitas belaka. Kami bersyukur, karena interaksi kami bukan sekadar transaksi. Kami bekerja, tapi bukan sekadar menghabiskan waktu, pulang, dan melupakan beban itu.

Dan ketika nanti ada yang bertanya, "Apa kenanganmu saat bekerja?" Kami akan dengan mudah menjawabnya, "Kami punya banyak cerita."

Diari Syukurku #8: Service Excellence dari Sopir

Hari Ahad lalu, saya mengantar keponakan untuk membeli sepeda motor baru. Motor ini akan menemaninya selama kuliah. Kuliah sekarang harus mobile, dan punya sepeda motor sudah jadi kewajaran. Saya dan istri dimintai tolong oleh orang tuanya untuk menemani.

"Kira-kira kapan motornya akan diantar?" tanya saya kepada pihak dealer setelah melihat warna, stok, dan sepakat harga.

"Untuk Bapak, 24 jam!" jawab Mas Dika, staf marketing dealer, dengan sigap.

Benar saja. Tidak sampai dua hari, sepeda motor berwarna biru matte itu sudah tiba di rumah saya. Tadinya, saya kira motor akan diantar setelah Magrib. Tepat jam delapan malam, motor itu datang. Betul juga, ba'da isya kan juga habis maghrib.

Ternyata yang mengantar motor itu bukanlah sopir pengantar, melainkan seorang petugas bengkel bernama Adi. Badannya kurus, dan matanya terlihat lelah.

"Sopir belum datang, jadi saya ditugaskan untuk mengantar, Pak," jelasnya. Sebenarnya ini di luar tanggung jawabnya.

"Kenapa tidak diantar besok saja?" tanya saya.

"Kalau nunggu besok, pekerjaan numpuk, Pak," jawabnya. "Kadang saya pun mengantar sampai jam 12 malam".

Saya menyadari satu hal. Di dealer ini, setiap karyawan harus multi-tasking. Mereka tidak hanya fokus pada satu pekerjaan, tetapi juga luwes dalam mengerjakan tugas di bagian lain. Orang bengkel bisa jadi sopir yang bisa mengantar sepeda motor setelah tugas utamanya selesai.

Tujuannya cuma satu: membuat pelanggan senang. Kalau pelanggan senang, mereka akan kembali. Itulah rahasia dari bisnis yang berkelanjutan. 

Bila bisnis terus berjalan, para karyawan tetap bisa bekerja. Dan semua orang happy.

Bukannya begitu?




Diari Syukurku #7: Salah Sein dan Nyala Lilin

"Tadi aku ketemu ibu-ibu berdaster naik motor Mio. Sein-nya kiri, tapi beloknya kanan," kata seorang teman. "Betul-betul menyebalkan."

"Seharusnya?" tanyaku.

"Seharusnya ya sein kiri, ya belok kiri!" jawabnya sewot. "Kan bisa celaka yang di belakangnya."

Kejadian serupa juga aku alami pagi itu saat perjalanan ke Malang. Ada beberapa pengendara motor yang keliru menyalakan sein. Ada yang sein kiri tapi lurus, ada juga yang sein kiri tapi belok kanan. Anehnya, bukan hanya ibu-ibu, kali ini seorang bapak-bapak sekitar 30-an tahun. Dia mengendarai motor Vario merah yang agak kusam di tengah Jalan Suhat yang lumayan ramai.

Dulu, aku akan langsung mengecam. Sein adalah bahasa komunikasi di jalan. Jika komunikasinya melenceng, interaksi di jalan pun bisa kacau. Dampak terburuknya, bisa terjadi kecelakaan. Bukankah ada indikator sein di panel motor? Sebenarnya tidak sulit untuk mengeceknya.

Namun, satu kejadian mengubah sudut pandangku.

Pernah suatu waktu, aku lupa mematikan sein. Lampu sein itu terus menyala sepanjang Jalan Ronggowuni di Singosari. Tiba-tiba, seorang bapak-bapak berusia 50-an menyalip dan memberitahuku dengan suara yang lantang, "Mas, saya kasih tahu ya. Salah sein itu bisa membuat saya dan orang lain celaka. Kan sebenarnya gampang, dicek dan diperhatikan itu tanda di kilometer. Kalau nyala ya dimatikan!"

Penyebab seinku terus menyala sebenarnya sederhana: aku lupa.

Sejak kejadian itu, aku sadar. Tidak semua orang keliru menyalakan sein karena sengaja atau tidak tahu dampaknya. Sebagian dari mereka hanya lupa, seperti aku. Kenapa lupa? Karena kita manusia.

Setelah momen itu, aku bersumpah untuk selalu mengingatkan orang lain yang salah menyalakan sein dengan cara sederhana. Aku tidak lagi mengecam. Aku menganggap mereka sama sepertiku, bisa khilaf.

Caranya kini mudah: aku hanya membuka dan menutupkan lima jariku untuk memberi isyarat bahwa sein mereka menyala, lalu melanjutkan perjalanan.

Seperti kata orang bijak, kita bisa memilih mengutuk kegelapan, atau menyalakan lilin. Atau dalam kasus ini, kita bisa memilih mengutuk pengendara yang salah sein, atau menjadi pengingat yang berempati.

Aku bersyukur belajar itu.



Diari Syukurku #6: Hadiah sang Majus


Satu dolar delapan puluh tujuh sen. Hanya itu. Dan enam puluh sennya berupa koin satu sen. Koin satu dua sen itu ia kumpulkan dengan menawar mati-matian kepada tukang sayur, tukang daging sampai-sampai pipinya terasa panas karena malu dicap pelit. Della masih menghitungnya tiga kali. Satu dolar delapan puluh tujuh sen. Padahal, besok hari Natal.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menjatuhkan diri ke sofa usang dan menangis. Dan Della melakukan itu. Artinya, hidup ini terdiri dari tangisan, isakan, dan senyuman, sayangnya porsi isakannya paling banyak.

Saat sang nyonya rumah beralih dari tangis ke isakan, mari kita lihat rumahnya. Sebuah apartemen sewa senilai delapan dolar per minggu. Walau tak bisa dibilang sangat buruk, apartemen itu jelas menarik perhatian petugas yang mendata pengemis.

Di bawah, tepatnya di lorong masuk, ada kotak surat yang sayangnya tak pernah menerima surat, dan bel listriknya tak bisa berbunyi meski ditekan kuat-kuat. Di situ, juga ada kartu nama bertuliskan "Tuan James Dillingham Young".

Nama "Dillingham" pernah mereka banggakan saat makmur dulu, saat Jim dibayar tiga puluh dolar seminggu. Sekarang, saat penghasilannya menyusut jadi dua puluh dolar, keduanya berpikir dalam-dalam untuk menyingkat nama itu menjadi 'D' saja. Tapi, setibanya Tuan James Dillingham Young di apartemen, ia selalu dipanggil "Jim" dan dipeluk erat oleh Nyonya James Dillingham Young—yang sudah kita kenal sebagai Della. Dan rasanya itu sangat baik.

Isakan Della perlahan tandas dan ia mengoleskan bedak di pipi. Ia berdiri di jendela, memandang lesu seekor kucing abu-abu yang berjalan di atas pagar abu-abu di halaman belakang yang juga abu-abu. Besok hari Natal, dan ia hanya punya $1,87 untuk membelikan hadiah bagi Jim. Ia sudah menabung habis-habisan selama berbulan-bulan, dan inilah hasilnya. Uang belanja dua puluh dolar seminggu tidak cukup. Pasak selalu lebih besar dari tiang. Selalu begitu. Hanya $1,87 punya untuk membeli kado bagi Jim. Ya, Jim suami tercintanya itu. Ia sudah luangkan banyak waktu merencanakan hadiah yang bagus untuk Jim. Hadiah yang indah, langka, dan murni serta layak dimiliki Jim.

Di antara dua jendela kamar itu, ada cermin tipis. Mungkin Anda pernah melihat cermin semacam itu di apartemen $8 per minggu. Orang yang sangat kurus dan gesit, dengan melihat pantulannya dalam potongan-potongan vertikal yang cepat, bisa mendapat gambaran yang cukup akurat tentang seperti apa penampilannya. Dan Della, karena tubuhnya langsing, sudah piawai menguasai seni itu.

Tiba-tiba ia berbalik dari jendela dan berdiri di depan cermin. Matanya berbinar cemerlang, tapi wajahnya pucat dalam dua puluh detik. Dengan cepat ia urai rambutnya dan ia biarkan tergerai.

Keluarga James Dillingham Young ini punya dua harta kebanggaan. Yang pertama adalah arloji emas Jim, warisan ayah dan kakeknya. Yang kedua adalah rambut Della. Andai Ratu Sheba tinggal di seberang apartemen, Della akan membiarkan rambutnya tergerai di jendela pada suatu hari. Perhiasan dan hadiah Ratu pun akan terlihat tak berharga. Andai Raja Salomo menjadi tukang sapu dan memiliki semua harta karun yang menumpuk di ruang bawah tanah, Jim akan mengeluarkan arlojinya setiap kali ia lewat, dan Raja Salomo pun akan mencabuti jenggotnya karena iri.

Kini, rambut indah Della tergerai penuh gelombang dan berkilau seperti air terjun cokelat. Panjangnya sampai di bawah lutut dan hampir menyerupai pakaian. Lalu ia gulung lagi dengan gugup dan cepat. Ia sempat ragu sesaat lalu terdiam, dan setetes air mata jatuh membasahi karpet merah yang usang.

Ia kenakan jaket cokelat lawas, juga topi cokelatnya yang usang. Dengan gaun berlipat dan mata yang masih berbinar, ia bergegas keluar dari pintu dan menuruni tangga ke jalan.

Di tempat ia berhenti, terpampang tulisan: “Mme. Sofronie. Menjual Pernak-Pernik Rambut.” Della berlari menaiki satu anak tangga dan berusaha menenangkan diri sambil terengah-engah. Sang Ibu Penjaga, bertubuh besar, terlalu pucat, dan dingin, sama sekali tidak terlihat seperti "Sofronie".

"Berkenan membeli rambut saya?" tanya Della.

"Saya memang jual-beli rambut," jawab si Ibu. "Lepaskan topimu dan biar saya lihat."

Air terjun cokelat itu tergerai.

"Dua puluh dolar," kata Madame, mengangkat massa rambut itu dengan tangan terampil.

"Cepat berikan uangnya," kata Della.

Oh, dua jam berikutnya berlalu begitu saja seperti tergelincir di atas sayap-sayap mawar. Lupakan metafora yang campur aduk itu. Ia lalu keluar dari satu ke toko lain mencari hadiah bagi Jim.

Akhirnya ia temukan. Benda itu pasti dibuat khusus untuk Jim dan tidak ada orang lain yang pas. Tak ada yang mirip di semua toko yang sudah ia datangi. Itu adalah rantai arloji platinum yang sederhana dan murni. Dari bahannya saja, terlihat bukan dari perhiasan murahan. Rantai itu memang pantas disandingkan dengan Arloji Jim. Begitu melihatnya, ia tahu itu pasti cocok untuk Jim. Benda itu mirip Jim. Tenang dan berharga—dua kata yang cocok untuk keduanya. Si penjual mengambil dua puluh satu dolar dari Della. Ia bergegas pulang dengan sisa delapan puluh tujuh sen. Dengan rantai itu, ia bisa membayangkan Jim dengan bangga melihat arlojinya di depan siapa pun. Sehebat apa pun arloji itu, Jim kadang harus meliriknya secara sembunyi-sembunyi. Sebab, tali kulit yang ia pakaikan sebagai pengganti rantai sudah lapuk.

Ketika Della sampai di rumah, semangatnya sedikit mengendur, dan berganti jadi perasaan hati-hati. Ia keluarkan alat pengeriting rambut, menyalakan kompor gas, dan mulai mengatasi kerusakan akibat kedermawanan hati yang berlandaskan cinta itu. Tugas itu selalu sangat berat, teman-teman—amat sangat berat.

Dalam waktu empat puluh menit, kepalanya sudah dipenuhi keriting-keriting kecil. Ia pun terlihat sangat mirip seperti anak laki-laki yang bolos sekolah. Ia tatap pantulannya di cermin agak lama, hati-hati, dan kritis.

"Kalau Jim tidak membunuhku," katanya pada diri sendiri, "sebelum dia melihatku untuk kedua kalinya, dia akan bilang aku terlihat seperti penari panggung di Coney Island. Tapi aku bisa apa—oh! Aku bisa apa dengan satu dolar delapan puluh tujuh sen?"

Pukul 7 malam, kopi sudah siap dan wajan sudah panas di atas kompor, siap untuk memasak daging.

Jim tidak pernah terlambat. Della melipat rantai arloji di tangan dan duduk di sudut meja dekat pintu yang selalu Jim masuki. Lalu ia dengar langkah kaki Jim di tangga, jauh di lantai pertama, dan wajahnya memucat sesaat. Ia terbiasa merapal doa-doa kecil dalam hati tentang hal-hal sederhana sehari-hari, dan kini ia berbisik: "Tuhan, tolong buat dia agar tetap menganggapku cantik."

Pintu terbuka dan Jim masuk lalu menutupnya. Ia terlihat kurus dan sangat serius. Kasihan sebenarnya, ia baru dua puluh dua tahun—dan harus menanggung beban keluarga! Ia butuh mantel baru dan tidak punya sarung tangan.

Jim berhenti di pintu. Tak bergerak seperti anjing pemburu yang mencium bau burung puyuh. Matanya menatap Della, dan ada ekspresi yang tidak bisa Della baca. Ia pun ketakutan. Itu bukan ekspresi marah, kaget, tidak setuju, bukan kengerian, atau emosi apa pun. Ia hanya menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi aneh itu di wajahnya.

Della bergeser dari meja dan menghampirinya.

"Jim sayangku" teriaknya, "jangan tatap aku seperti itu. Rambut ini kupotong lalu kujual karena aku tidak bisa melewatkan Natal tanpa memberimu hadiah. Rambutku akan tumbuh lagi. Tidak apa-apa, kan? Aku harus melakukan ini. Rambutku tumbuh sangat cepat. Bilang saja 'Selamat Natal!' Jim dan kita rayakan kebahagiaan ini. Kamu tidak tahu betapa indahnya—betapa memukaunya hadiah yang aku belikan untukmu."

"Kau potong rambutmu?" tanya Jim, dengan susah payah, seolah ia belum menyadari fakta nyata itu meski sudah berpikir sangat keras.

"Ya, kupotong dan kujual," kata Della. "Kamu tetap mencintaiku, kan? Aku tetap Ella meski tanpa rambutku, kan?"

Jim melihat sekeliling ruangan dengan rasa penasaran.

"Berarti rambutmu sudah hilang?" tanyanya, dengan nada yang hampir seperti orang bodoh.

"Tidak perlu kamu cari," ujar Della. "Sudah kujual, kataku. Sudah kujual dan tidak ada juga. Ini Malam Natal, sayang. Bersikaplah baik padaku karena semua ini demi kamu. Mungkin jumlah helai rambutku sudah dihitung dengan angka," lanjutnya dengan nada lembut yang tiba-tiba serius, "tapi tak seorang pun bisa menghitung cintaku padamu. Mau aku masak dagingnya, Jim?"

Jim seolah terbangun dari lamunannya. Ia peluk Della. Selama sepuluh detik, mari kita perhatikan dengan bijaksana beberapa benda tak penting di beberapa sudut lain. Delapan dolar seminggu atau satu juta setahun—apa bedanya? Seorang ahli matematika atau orang cerdas akan memberikan jawaban yang salah. Sang Majus membawa hadiah berharga, tapi itu bukan di antaranya. Pernyataan gelap ini akan dijelaskan nanti.

Jim mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku mantelnya dan meletakkannya di atas meja.

"Jangan salah paham, Dell," katanya, "tentang perasaanku. Aku tidak berpikir ada potongan rambut atau alat cukur atau sampo yang bisa mengurangi rasa cintaku padamu. Kalau kau buka bungkusan itu, kau mungkin akan tahu kenapa aku sempat terdiam."

Jari-jari putih dan lincah merobek tali dan kertas. Dan kemudian, jeritan gembira yang meluap-luap lalu berubah jadi penuh kesedihan! Lalu ekspresinya berubah menjadi tangisan histeris dan isakan, yang memaksa Jim untuk segera menenangkannya.

Kenapa? Di dalam bungkusan itu, terdapat sisir—satu set sisir, samping dan belakang. Della sudah lama mengidamkannya saat terpampang di etalase Broadway. Sisir yang indah, dari tempurung kura-kura murni, dengan pinggiran yang berhiaskan permata. Warnanya cocok untuk rambutnya yang indah tapi kini sudah tidak ada. Ia tahu sisir itu mahal. Hatinya selalu mendamba dan terus mendambakannya tanpa harapan sedikit pun untuk pernah memilikinya. Dan sekarang, sisir itu milik Della, tapi rambut yang seharusnya dihiasi sisir itu sudah hilang. Lenyap.

Della memeluk sisir itu dalam-dalam, dan akhirnya ia bisa mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca dan senyuman, lalu berkata: "Rambutku tumbuhnya cepat sekali kok, Jim!"

Dan kemudian Della melonjak seperti anak kucing yang disulut api kecil dan berteriak, "Oh, oh!"

Jim belum melihat hadiah indahnya. Della mengulurkannya dengan penuh semangat dan membuka telapak tangannya. Logam mulia yang kusam itu berkilau dengan pantulan semangat yang cerah dan dinamis.

"Indah sekali, kan, Jim? Aku mengobrak-abrik seluruh toko di kota untuk mencari itu. Kamu harus melihat jam seratus kali sehari sekarang. Berikan arlojimu. Aku ingin melihat tampilannya saat dipasang."

Bukannya menuruti, Jim malah menjatuhkan diri ke sofa dan meletakkan tangan di bawah kepala lalu tersenyum.

"Dell," katanya, "ayo kita simpan dulu hadiah Natal kita. Terlalu bagus untuk dipakai sekarang. Aku jual arlojiku untuk membeli sisir itu. Dan sekarang, bagaimana kalau kau masak daging dulu?"

Para Majus, seperti yang kalian tahu, adalah orang-orang bijak, angat bijak. Mereka membawakan hadiah untuk Bayi di palungan. Mereka penemu seni memberi hadiah Natal. Karena mereka bijaksana, tentu saja hadiah-hadiah yang dibawa pun penuh kebijaksanaan—mungkin bahkan boleh ditukar andaikan ternyata ada hadiah yang sama. Dan di sini aku dengan payah menceritakan kisah dua insan bodoh di sebuah apartemen yang dengan sangat tidak bijak saling berkorban. Tetapi sebagai kata terakhir bagi orang bijak di zaman ini, boleh dikatakan bahwa dari semua pemberi hadiah, kedua orang inilah yang paling bijaksana. Dari semua pemberi dan penerima hadiah, orang-orang seperti merekalah yang paling bijaksana. Di mana pun, mereka itu paling bijaksana. Mereka adalah para Majus.



----

Cerpen di atas adalah karya Henry O, yang berjudul The Gift of The Magi. Masih serupa dengan tema tulisan beberapa hari ini... tentang diusahakan


Diari Syukurku #5: Jauh Wangi, Dekat Bau Tai

Miris sebenarnya ketika melihat video seorang dosen UIN Malang yang berseteru dengan tetangganya. Persoalan yang seharusnya cukup diselesaikan di lingkup RT kini menjelma menjadi tontonan nasional. Cercaan dan hinaan mengalir deras, tak terbendung. Video-video lamanya pun satu per satu dikorek, dipertontonkan, seolah membuka kembali luka yang mestinya bisa disembuhkan dengan cara sederhana: duduk bersama dan mengobrol.

Saya sendiri tinggal di kampung yang warganya datang dari latar belakang berbeda-beda. Ada yang serba cukup: mobil mengkilap, rumah megah, dapur penuh persediaan hingga berbulan-bulan ke depan. Ada pula yang hidup pas-pasan: rumah sederhana, tak punya kendaraan, tetapi selalu punya keluarga dan saudara untuk dijadikan sandaran.

Keragaman semacam ini bisa jadi pisau bermata dua. Ia bisa menimbulkan gesekan, ibarat duri dalam daging. Namun, ia juga bisa menjadi kekuatan, penopang kebersamaan yang membuat hidup lebih hangat. Semua tergantung bagaimana cara kita memaknainya.

Di kampung saya, untunglah yang sering tampak adalah wajah kebersamaan itu. Mereka yang mampu kerap memberdayakan yang butuh bantuan. Ada yang membeli dagangan tetangga, ada yang meminta pertolongan tenaga, ada pula yang sekadar berbagi makanan. Sederhana, tapi bernilai.

Malah, kami sering lebih memilih membeli barang atau jasa dari tetangga, meski harganya sedikit lebih mahal. Karena kami tahu, ketika musibah datang, tangan pertama yang terulur pasti tangan tetangga. Orang jauh hanya mencium wangi, tapi orang dekatlah yang lebih dulu mencium bau busuknya. Istilah gampangnya: Jauh Wangi, Dekat Bau Tai. Ya, diusahakan itu memang penting dalam tingkatan hubungan apa pun.

Pada akhirnya, kampung mengajarkan satu hal: keberagaman bukan masalah. Yang masalah adalah ketika kita lupa bahwa tetangga adalah lingkaran pertama dari siapa kita. Jika lingkaran pertama ini retak, maka retakan itu bisa menjalar ke mana-mana. Sebaliknya, bila lingkaran ini kokoh, ia akan jadi perisai yang melindungi kita dari derasnya hujatan dunia luar.



Diari Syukurku #4: Karena Diusahakan itu Penting

Mengapa, seperti yang saya ceritakan di Tamu Jauh, saya senang ketika Mas Fitri dan Mas Kusnan sekeluarga datang? Rasanya sederhana, tapi maknanya dalam. 

Apalagi kali ini beliau berdua datang jauh-jauh, satu dari Probolinggo dan satu lagi dari Trengganu. Di tengah padatnya jadwal, masih menyempatkan waktu untuk mampir dan bersilaturahim. Bukan hal kecil, saya kira.

Saya jadi teringat pada suatu waktu, ketika seorang teman menitipkan barangnya kepada saya. Barang titipan itu berat, dan membawanya pun tidak mudah. Namun, meski menyulitkan, saya tetap membawa dan mengirimkannya. Mengapa? Karena titipan itu penting. Amanah itu penting. Dan saya ingin mengusahakannya.

Begitu pula dengan tamu atau siapa pun. Kalau kita penting, orang akan berusaha dan mengusahakan. Serepot dan sesusah apa pun. Sebaliknya, jika kita tidak begitu berarti, jangankan diusahakan, disapa pun mungkin tidak akan.

Dan rasanya, demi kebaikan mental, kita perlu timbal balik: mengusahakan orang yang juga berusaha... 

Karena perlu dua tangan untuk bertepuk, dan perlu dua hati untuk saling memberi dan mengasihi...


Diari Syukurku #3: Tamu Jauh

Kemarin kami kedatangan tamu, dua keluarga: Mas Fitri sekeluarga dan Mas Kusnan sekeluarga. Total enam orang karena masing-masing membawa serta anak. Rumah terasa lebih hidup siang itu. Kami pun bercengkerama, bertukar cerita, suka maupun duka mengalir begitu saja dalam percakapan hangat.

Mas Fitri adalah profesor madya di salah satu kampus di Trengganu, dengan bidang keilmuan perkapalan. Meski sudah melanglang buana ke berbagai kampus, beliau tetap rendah hati. Dari ceritanya, aku menangkap betapa perjalanan akademik bukan hanya soal ilmu dan prestasi, tetapi juga tentang daya tahan. Ia sering harus mencari pendanaan ke berbagai lembaga luar negeri untuk menopang penelitian, sekaligus menghadapi jenuh karena terpisah dengan keluarga inti. Di Trengganu, seperti halnya kami di Malang, ia juga tidak punya siapa-siapa.

Sejenak aku tersadar, siapa pun orangnya—dengan latar belakang bagaimana pun—selalu punya masalahnya sendiri-sendiri. Di balik gelar, jabatan, atau cerita sukses, tetap ada ruang kosong yang butuh dipenuhi. Karena itu, sudah bukan saatnya saling iri, tetapi saling mengisi.

Begitu juga dengan Mas Kusnan. Ceritanya tentang pekerjaan di PLN Paiton, anak-anak, hingga urusan rumah tangga membuat percakapan malam itu semakin berwarna. Kami tertawa bersama, lalu tiba-tiba hening ketika kisah menyentuh sisi rapuh masing-masing. 


Dari sana aku belajar, setiap orang sedang menapaki jalannya sendiri. Ada tantangan, ada rasa letih, tapi selalu ada harapan yang dijaga.

Malam itu terasa hangat. Di tengah obrolan sederhana, aku merasakan sesuatu yang lebih dalam: pertemuan ini adalah pengingat. Bahwa kita tidak sendiri. Bahwa hidup memang tentang saling menambal kekurangan, saling menguatkan, dan berbagi semangat untuk terus melangkah.

Diari Syukurku #2: Hidup itu Interaksi

Setiap hari, aku selalu melakukan perjalanan panjang, sekira 30 KM dari rumah ke tempat kerja. Di dalam perjalanan, kadang muncul dialog di dalam diri. Interaksi dengan batin. Kadang pula dengan sesama pelaju dan pekerja yang lalu-lalang di jalan.

Bila dipikir-pikir, hidup memang sebuah interaksi panjang; sebuah munajat tanpa henti, sebuah kemesraan sunyi. Dalam perjalanan itu, kita melabuhkan harap agar selamat di tujuan pada sang Maha. 

Ini tentang melabuhkan segala harap hanya pada-Nya, seraya menata palung hati agar lapang menerima apa pun jawaban yang Dia titipkan. Seberapa singkat dan lama jawaban itu kutunggu.

Dan seluruh perjalanan telah mengajarkan makna sesungguhnya dari semua itu.

Apalagi perjalanan haji beberapa bulan lalu.

Dan aku mulai sadar bahwa dunia ini hanyalah sebuah persinggahan, sebuah terminal tunggu yang riuh sebelum kita benar-benar kembali. Kain putih ihram yang membalut tubuh bukanlah sekadar busana, melainkan kafan pengingat bahwa kita datang tanpa apa-apa, dan kelak akan pulang hanya berbekal amal. Setiap langkah yang terayun di tanah suci terasa laksana miniatur perjalanan hidup itu sendiri—sebuah ziarah panjang menuju akhirat.

Di sanalah aku belajar untuk melepas. Melepaskan genggaman ego yang angkuh, membungkam riuh ambisi duniawi, dan menyingkirkan segala perhitungan rumit manusiawi. Yang tersisa kemudian hanyalah hati yang menunduk dalam kepasrahan, jiwa yang bergetar dalam penyerahan diri, dan desir doa yang tak pernah putus.

Haji membisikkan kepadaku bahwa cinta sejati adalah ketaatan tanpa syarat. Bahwa kebersamaan dengan jutaan jamaah bukanlah sekadar kerumunan tanpa makna, melainkan jalinan persaudaraan seiman yang menghangatkan jiwa. Sebab, kebesaran Allah terasa begitu nyata, begitu dahsyat, ketika jutaan kepala serempak menunduk, jutaan mata menitikkan air mata yang sama, dan jutaan pasang kaki berlari kecil menuju satu kiblat yang tak pernah berganti.

Dan dari semua perjalanan agung itu, ada satu hal yang ingin kubawa pulang dan kudekap erat selamanya:

Kesadaran penuh bahwa hidup ini, pada dasarnya, adalah sebuah perjalanan pulang.

Maka setiap hari yang tersisa kini adalah kesempatan berharga untuk terus bertawaf; bukan lagi mengelilingi Ka'bah, melainkan bertawaf dalam lingkaran kebaikan, menebar manfaat, dan menjaga hati agar senantiasa tertuju hanya kepada-Nya.


Diari Syukurku #1: Ajari Aku Bersyukur

Ya Allah, di keheningan siang yang berawan ini, hatiku menghangat saat teringat akan keluarga—dermaga teraman yang Kau titipkan sebagai tempatku pulang. Engkau juga hadirkan di sisiku para sahabat dan jiwa-jiwa baik, yang genggaman tangannya menjadi penopang kala langkahku terasa goyah. Senyumannya secercah harap kala dunia terasa gelap.

Aku menunduk dalam syukur, bahkan untuk setiap ujian yang Kau izinkan mampir. Di dalam getirnya, Kau tunjukkan di mana letak rapuhku dan kurangku, dan dari sanalah Kau tuntun aku meniti jalan sunyi menuju kedewasaan. Kematangan yang perlahan kusadar.

Terima kasih untuk rezeki yang Kau alirkan. Ada kalanya ia datang melimpah, ada kalanya terasa pas, namun tak pernah kurang. Selalu ada kecukupan dalam setiap takaran-Mu. Betapa sering aku lupa mensyukuri nikmat sehat yang membuatku mampu berdiri hari ini, atau kesempatan berharga untuk belajar dari reruntuhan kegagalan. Terima kasih untuk tawa-tawa sederhana yang tiba-tiba datang, membasuh hati yang penat dan menenangkan jiwa.

Maka, ajarilah aku, ya Allah, untuk selalu menemukan kebaikan-Mu yang tersembunyi di balik setiap peristiwa, bahkan di dalam luka yang terasa begitu pedih sekalipun. Bimbinglah hati ini untuk senantiasa rendah hati, untuk melapangkan dada menerima setiap takdir-Mu, dan untuk menenun kesabaran di sepanjang helaan napas.

Hari ini, aku ingin memulai dengan kesadaran penuh: untuk memeluk erat apa yang ada, merayakan keindahan dalam hal-hal yang sederhana, dan berjanji untuk menanam kebaikan, sekecil apa pun itu.

Karena aku sadar, hidup ini hanyalah sebuah persinggahan singkat. Sependek helaan napas. Dan bekal terindah untuk perjalanan pulang menuju-Mu, tiada lain adalah rasa syukur yang tulus dari seorang hamba.

Dan aku sedang belajar

Dari Api ke Abu: Saat Semangat Kerja Perlahan Redup

Semangat sering kita ucapkan untuk diri sendiri atau kepada orang lain. Kerap kali kita jadikan bahan bakar motivasi. Namun, pernahkah kita melihat bagaimana semangat itu bisa mati? Bagaimana api yang menyala-nyala di dalam diri seseorang akhirnya berubah menjadi abu?

Di sebuah sekolah, hiduplah seorang guru yang membawa bara itu. Namanya Ibu Lentera. Ia datang dengan idealisme yang tumpah ruah. Ia beli alat-alat dan buku-buku untuk menyalakan semangat belajar para muridnya. Kelasnya bukan sekadar ruang empat dinding, melainkan laboratorium ide yang memancing murid-muridnya bermain sambil belajar. Ia bukan hanya mengajar, tetapi merayakan proses belajar itu sendiri. Sayangnya, idealisme itu adalah pedang bermata dua.

Setiap kali ia mengajukan inovasi kepada atasan, setiap kali ia berusaha melampaui standar, sistem menanggapi dengan cara yang kejam. Bukan penghargaan, melainkan beban kerja yang berlipat ganda. Tugas-tugas administratif yang membosankan, jam kerja yang memanjang, dan gaji yang tak sebanding dengan keringat yang ia curahkan. Rekan-rekannya yang memilih jalan aman, sekadar mengikuti rutinitas, justru hidup lebih nyaman. Perlahan, bara semangatnya ditimbun debu rutinitas, hingga padam sama sekali.

Hukuman bagi Mereka yang Berbeda

Fenomena ini bukan anomali. Ia adalah potret umum dari banyak organisasi, tempat di mana inisiatif dan semangat berujung pada ekspektasi yang tak adil. Bukannya dihargai, mereka yang proaktif justru "dihukum" dengan beban kerja yang lebih berat, seolah-olah semangat adalah sumber daya tak terbatas yang bisa dieksploitasi.

Dalam ilmu psikologi, kondisi ini disebut learned helplessness. Sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Martin Seligman. Kondisi ini terjadi saat individu yang berulang kali menghadapi situasi di mana usahanya tidak membuahkan hasil akhirnya berhenti mencoba. Mereka "belajar" bahwa berjuang itu sia-sia, bahkan mungkin merugikan. Dari situ, lahir sikap apatis, pasif, dan bekerja sebatas memenuhi formalitas.

Lingkaran Setan yang Membahayakan

Penerapan konsep ini pada dunia pendidikan sangatlah mengkhawatirkan. Seorang guru yang kehilangan motivasi intrinsiknya bukanlah sekadar individu yang lelah, melainkan sosok yang kehilangan kemampuan untuk menyebarkan energi positif di kelas. Proses pendidikan pun berubah menjadi transmisi informasi yang kering dan hampa. Yang lebih ironis, sistem sekolah sering tidak sadar bahwa mereka adalah arsitek dari lingkaran setan ini, melalui kebijakan yang mengabaikan kesehatan mental para pendidik.

Untuk memutus rantai ini, organisasi—termasuk sekolah—harus berani meninjau kembali budaya kerjanya. Apresiasi yang proporsional, pembagian beban kerja yang adil, dan ruang bagi inovasi adalah prasyarat untuk menjaga semangat tetap hidup. Para inisiator harusnya diberi dukungan, bukan tambahan beban yang membunuh niat baik mereka.

Sebuah Pelajaran Berharga

Kisah ini adalah pengingat bahwa semangat bukanlah energi yang tak habis. Ia adalah aset berharga yang harus dipelihara, dihargai, dan diarahkan dengan bijaksana. Learned helplessness bukanlah tanda kelemahan, melainkan respons manusiawi terhadap sistem yang cacat. Jika kita ingin menciptakan dunia pendidikan dan dunia kerja yang lebih hidup dan produktif, kita harus membangun sistem yang memberi ruang bagi api semangat untuk terus menyala, bukan sebaliknya, meredupkannya hingga menjadi abu.