Yuyu yang Tak Pernah Kerja Bakti - Entri Jurnal #19

“Lha kerja bakti gak pernah. Urunan gak ikut. Konsumsi gak pernah nyumbang. Eh sukanya nyacat saja hasil kerja bakti orang” kata Temin. “Lha gitu itu malah bikin orang gak semangat. Wegah aku” tutupnya.

Ia lantas menyebut salah satu kegiatan kerja bakti yang baru saja kami laksanakan. “Lha itu di depan rumahnya sendiri gak keluar untuk ikut bantu” simpulnya kemudian.

“Iya memang gak enak orang-orang kayak gitu ya” ujarku berusaha menenangkan.

Itulah keluhan salah seorang warga. Tak hanya Temin yang bercerita pengalaman serupa. Banyak lagi lainnya. Kita banyak menemui oknum exploiter semacam itu. Di organisasi laba pun begitu, apalagi di organisasi kampung.

Eksistensi Terancam

Saya jelaskan kepada Temin bahwa ada beberapa kemungkinan penjelasan atas fenomena semacam ini. Salah satunya ada di salah satu podcast.

“Diobrolkan di situ, beberapa orang merasa terancam eksistensinya saat ada orang yang lebih hebat daripada dia. Orang yang bekerja lebih keras daripada dia. Orang yang terlihat lebih baik di mata masyarakat” kata saya. Temin berupaya mendengarkan.

“Akhirnya, orang-orang semacam ini berupaya mendegradasi nama baik orang tersebut. Caranya ya dengan “nyacat” hasil pekerjaan tadi. Ia cari semua kesalahan, bahkan sekecil apa pun itu jadi masalah.”

“Kalau gak nemu?”

“Bila tak ada kesalahan, ia cari kesalahan pada orangnya. Pada niatnya. Apa pun lah.”

“Jadi, dia akan selalu mencoba mengangkat namanya dan menjatuhkan orang lain biar eksistensinya diakui.”

“Hooh, mungkin saja. Ia mengalami insecurities.”

“Apa itu?”

“Rasa khawatir dan tidak percaya pada diri sendiri. Ketika ada orang yang tampil lebih baik, ia lantas merasa semakin terperosok ke dalam jurang keminderan yang semakin lama bisa semakin dalam.”

Yuyu Mentality

Biasanya Min, kata saya, sebelum nyacat tadi, biasanya dia akan mendorong orang lain untuk menjadi seperti dirinya. Dia tarik orang lain yang hendak maju atau hendak memajukan diri dan orang lain.

Fenomena ini mirip dengan crab alias kepiting.

Ceritanya: crab ditaruh di dalam satu ember besar. Lalu, dikasih semacam alat agar si kepiting bisa keluar dari ember tersebut. Setiap kali ada kepiting yang hendak keluar dari ember, kepiting tersebut dijepit atau dihambat untuk keluar.

Itulah crab mentality. Mentalitas tidak mau melihat orang lain maju.

Thus, bila ada yang hendak maju ia tarik saja.

“Kenapa kok kepiting? Kok gak yuyu saja” tanya Temin.

“Iya juga ya”



To me, Pak Prabowo is an entrepenurial marketer - Entri Jurnal #18

To me, Pak Prabowo is an entrepenurial marketer - Entri Jurnal #18

Begitulah yang diucapkan Pak Hermawan Kartajaya pada acara MarkPlus Conference ke-19, yang diadakan di The Ritz Carlton, Jakarta, 5 Desember 2024 lalu.

Beliau lalu menyebut tiga kriteria dasar seorang entrepreneur. Pertama: jeli melihat peluang, kedua: mengambil risiko, ketiga: rendah hati dan selalu belajar.

Bedanya dengan profesional, pertama: melihat ancaman, kedua: menghindari risiko, dan ketiga: merasa diri paling jago di bidangnya.

Nah, di sinilah saya tersentak. Bagian yang tak sampai 1 menit ini membuka mata betapa mindset saya ya mindset seorang profesional.

Apa penyebabnya?

Mungkin pengalaman hidup.

Perjalanan hidup di masa lalu membentuk saya menjadi pribadi skeptis. Kekecewaan dan kegagalan mengajari saya untuk selalu waspada. Selalu mengaktifkan insting bertahan hidup. Setiap hal baru terasa seperti ancaman yang membahayakan eksistensi.

Saya juga lebih memilih untuk mengontrol situasi daripada membiarkannya mengalir begitu saja dan menemukan muara yang baru. Karena itu, saya lebih memilih mengasah kemampuan yang ada selama bertahun-tahun. Pengalaman inilah yang membuat saya merasa sangat kompeten, bahkan terkadang terlalu percaya diri.

Dan perasaan itu menjadi selimut hangat yang sudah saya kenali. Keluar dari zona nyaman itu bak melompat ke dalam terowongan gelap. Dan tak banyak yang mau memasuki kegelapan.

Dan enterpreneurship mirip dengan terowongan gelap.

 

Menciptakan Nilai itu Memang Panggilanmu Kok - Entri Jurnal #17

Menciptakan Nilai itu Memang Panggilanmu Kok - Entri Jurnal #17

Dalam hidup ini, kata seorang guru, kita sering diajari bahwa usaha yang kita lakukan seharusnya memberi hasil yang sepadan. Bila kita berbuat baik, minimal kita dapat pujian atau minimal terima kasih. Kita tidak mau ada free rider atau bahkan exploiter

Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Kadang, ketika kita berkontribusi, timbal balik yang kita harapkan tidak juga muncul. Terasa mengecewakan, dan bahkan kita bertanya-tanya apakah usaha kita ada manfaatnya.

Guru itu berkata bahwa menciptakan nilai bukan tentang menerima balasan. Menciptakan nilai itu memang tujuan keberadaan kita di dunia ini. Kita diutus sebagai pencipta nilai. Setiap tindakan yang bermanfaat bagi orang lain, setiap solusi yang memudahkan hidup orang lain, dan setiap ide yang memperbaiki kondisi adalah sebentuk nilai yang kita cipta.

Menciptakan nilai itu wujud dari memberi—tanpa pamrih dan tanpa syarat. Inilah panggilan kita sebagai manusia untuk meninggalkan dunia ini dalam keadaan yang lebih baik daripada ketika kita terlahir.

Tentu, ada kalanya usaha kita tidak dihargai sebagaimana mestinya. Tetapi apakah itu mengurangi makna dari nilai yang kita ciptakan? Tidak. 

Nilai sejati tidak diukur dari pengakuan atau penghargaan, melainkan dari dampaknya terhadap orang lain dan lingkungan di sekitar kita.

Itu kata guru saya.

Rasanya saya perlu belajar lagi.

Ada yang Lebih Berbahaya daripada Penumpang Gelap? - Entri Jurnal #16


Di masyarakat dan kehidupan lain, free rider selalu jadi problema. Maunya hanya menggunakan fasilitas, tanpa ikut berkontribusi. Ia hanya menerima value saja.

Saya kira ini dah paling parah. Tak hanya menghabiskan value, penumpang gelap menyedot semangat orang untuk turut berkontribusi.

Ternyata perkiraan saya keliru. Ada lagi yang lebih parah.

Namanya adalah pengeksploitasi. Kok bisa?

Si penumpang gelap memanfaatkan benefit secara pasif. Menerima tanpa ikut berkontribusi saja. Karena itu, dampaknya jadi terbatas. Dan si penumpang gelap ini masih bisa berkontribusi bila kita bisa meyakinkannya.

Pembabat Nilai

Contohnya begini. Ada pohon mangga di hutan. Seorang penumpang gelap akan mengambil buah mangga, dan menikmati mangga tersebut. Selesai di situ.

Pengeksploitasi mengambil buah mangga dan mencabut tanamannya. Tujuannya: agar orang lain tidak bisa menikmatinya.

Jadi, pengeksploitasi secara aktif melakukan aktivitas berbahaya. Selain itu, pengeksploitasi juga merusak kepercayaan antarorang. Mengapa begitu?

Karena orang akan saling menuduh tentang siapa yang mencabut tanaman.

Sementara orang lain bertengkar, si pengeksploitasi senyum-senyum saja.

Saat Penumpang Gelap Mengakhiri Rantai Penciptaan Nilai - Entri Jurnal #15

 Idealnya, harus ada saling tukar nilai antara manusia dan sesama – atau bahkan dengan alam dan semesta, kata seorang teman. 

Misalnya, kita menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Pohon mengeluarkan oksigen dan menghirup karbon dioksida. Kita hidup secara bersaling dengan pepohonan. Simboisis mutualisme.

Demikian pula hewan. Hewan makan tanaman, dan mengeluarkan kotoran, yang kemudian menjadi pupuk bagi tanaman. Tanaman hasil pemupukan ini pun lalu menjadi pakan hewan. Simboisis mutualisme.

Itulah idealnya. Kita hidup secara bersaling, bukan bersaing. Saling mencipta. Bukan bersaing untuk mengonsumsi hasil ciptaan nilai.

Coba kita kembali ke obrolan tentang polisi cepek kemarin. Berapa jumlah orang yang lewat yang mengapresiasi kehadiran polisi cepek tersebut?

Ada yang akan berkata, “jangankan memberikan sedikit uang, sebagian bahkan lupa belum berterima kasih.” Sebagian orang lebih senang menerima daripada memberi. Bantuan orang lain taken for granted atau dipandang remeh semata.

Free rider

Orang-orang semacam ini dalam referensi ilmiah disebut juga sebagai free rider.

Menurut kamus Cambridge, free rider adalah "a person or company that gets an advantage without paying for it or earning it". Terjemahan bebasnya: Orang atau perusahaan yang mendapat untung tanpa ikut membayar atau mengupayakan “untung” itu.

Di budaya Indonesia, kita menyebutnya sebagai penumpang gelap.

Misalnya, seorang penumpang kereta, sebutlah Agus. Ia ikut perjalanan kereta menuju Jakarta tetapi tidak ikut membeli tiket. Kalau hanya satu, mungkin masih oke.

Bayangkan bila si Agus ini berjumlah ribuan.

Bayangkan…

Karena si Agus ini tak mau ikut membayar, maka ia disebut juga tak tahu “diuntung”. Mirip dengan definisi kamus Cambridge itu, kan?

Bila banyak orang yang demikian, nilai ekonomi akan berhenti. Tak ada lagi yang mau menciptakan nilai. Semua orang hanya mau menjadi penerima. Sekadar mengonsumsi.

 

 

 

Polisi Cepek dalam Rangkai Nilai Ekonomis # Entri Jurnal 14

“Prit” seorang pria meniup peluit. Dia menghentikan lalu lintas dari arah depan. Mobil, truk, dan sepeda motor pun berhenti mengikuti arahan si pria paruh baya, yang menjadi pengatur lalu lintas partikelir ini.

Itulah fenomena harian yang kita saksikan di Malang dan bahkan di berbagai kota di Indonesia. Kejadian ini sudah sangat umum

Jangankan berputar balik di lalu lintas padat, sekedar berbelok pun kita pasti menemui layanan profesi semacam ini.

Value

Rangkaian-rangkaian ini tak pernah terpikirkan sampai akhir-akhir ini saya membaca tentang value. Tindakan apa pun yang kita lakukan sejatinya selalu terkait value.

Kira-kira begini rangkuman sederhananya.

Saat melakukan tindakan yang bermanfaat, si A (1) menciptakan value. Misalnya, saat membantu orang putar balik, ia menciptakan value. Orang yang ia bantu (2) menerima value atau capture value.

Apabila berterima kasih dan memberikan uang, si penerima manfaat (2) juga menciptakan value sebagai timbal balik atau value exchange.

Lalu, si pemberi manfaat awal (1) bersemangat karena mendapat timbal balik tersebut, lalu kembali menciptakan value.

Terciptalah sebuah rangkaian nilai, yang saling berinteraksi. Itulah nilai ekonomis.

Dan itulah kenapa kita harus melakukan timbal balik agar penciptaan nilai itu harus terus berulang dan kehidupan terus berputar.

Caranya: sesederhana berterima kasih... apalagi lebih.

Hmmm

 

Dilematis antara Berita Pesimis dan Otak yang Harus Optimis # Entri Jurnal 13

Dilematis antara Berita Pesimis dan Otak yang Harus Optimis # Entri Jurnal 13

Hari ini, Jumat 24/20/24, banyak berita PHK. Pabrik tekstil bertumbangan. Startup tak kalah sulitnya. Sritex pailit. Nasib 20 ribuan karyawannya di ujung tanduk.

Padahal, kelas menengah Indonesia konon turun sekitar 9,48 juta orang dalam 5 tahun terakhir.

Di sisi lain, Faiz CEO belajarlagi memposting: 

Aku kemarin buka lowongan untuk 1 HR Staff, yang apply ada 2300 Orang

Acceptance rate hanya 0,04%. Sebagai gambaran, Acceptance Harvard adalah 4.92% / ITB adalah 8%

In this economy, melamar kerja bisa lebih ketat daripada seleksi PTN Top.

Kadang mendengar berita-berita PHK ini suka bikin keder dan pesimis. Sementara ini, pekerjaan terjemahan kian lama kian tipis. Yang sedikit itu pun diperebutkan banyak orang.

Sementara sebagai seorang marketer, saya harus optimis. Mencari dan menangkap peluang sekecil apa pun. Dan mencoba meramu produk yang ada agar sesuai dengan yang dibutuhkan pasar.

Sungguh dilema yang tak mudah didamaikan.

Feedback dari Talking Customer # Entri Jurnal 12

Feedback dari Talking Customer # Entri Jurnal 12

Salah satu pasien di suatu RS Islam di Malang menulis “Pernah di kondisi yg sangat darurat. Namun respon nakes/dokter sewaktu saya ga sadar dan sayup2 terdengar malah tertawa2 membuat guyonan terkait umur saya. Benar-benar nggak sopan dan saya kapok ke sini. Dokternya pun ketika saya konsul juga malah memojokkan seolah2 saya pura-pura sakit baru hasil lab keluar ternyata memang ada yg kurang baik hasilnya. Sayang sekali tenaga kesehatan tp bad attitude semua.”
 
Pasien tersebut memberi bintang satu atas layanan RS tersebut. Sangat disayangkan betapa para nakes di sana tidak berempati dan bahkan mengolok-olok usia seseorang.
 
Prinsip pelayanan seperti ini rasanya standar. Biasa saja. Bila ada yang sakit, kita bantu. Bila ada yang kesusahan, kita layani. Tidak perlu kita olok-olok, seberapa pun gatal. Tidak ada yang mewah dari berempati kepada orang lain.
 
Banyak pula keluhan yang muncul dengan nada yang serupa.

Pelanggan yang semacam ini disebut pula talking customer. Mereka biasanya menyampaikan opininya terkait layanan yang diperoleh. Opini yang kurang baik bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan, dan opini baik bisa dijadikan feedback.

Pelanggan semacam ini lebih penting posisinya daripada pelanggan senyap. Pelanggan senyap tidak akan berbicara sehingga kita tidak tahu apakah pelayanan kita memuaskan atau tidak. Tiba-tiba dia lenyap dan hilang saja sehingga kita tidak tahu apa yang terjadi.

Thus, penting RS untuk menjawab keluhan dan menyempurnakan produk. Menyederhanakan prosedur. Mendidik SDM agar minimal sesuai dengan standar dasar.  

Sangat disayangkan, padahal RS ini baru saja membangun gedung yang megah dan tinggi. Sayangnya, tidak diikuti oleh standar pelayanan yang sama megah dan tingginya.

Padahal mencari pelanggan itu sulit bukan main.
 

 Harus Baik yang Berbiak # Entri Jurnal 10

Harus Baik yang Berbiak # Entri Jurnal 10

Di tulisan sebelumnya, saya bercerita seorang perempuan yang hanya berfokus tentang uang-uang-uang. Kali ini, teman saya satunya berfokus pada kebaikan.

Setiap keluar rumah, ia berpikir tentang kebaikan apa yang dapat ia lakukan. Bila ada yang salah menyalakan sein kanan padahal lurus saja, ia akan mengingatkan.

Bila ada yang tiba-tiba memotong jalannya, ia langsung membaca istighfar. Tidak membentak atau bersumpah serapah.

Bila tidak ada hal penting yang perlu ia sampaikan, ia diam saja.

Kenapa kok kamu bisa begitu?

Dia jawab bahwa kebaikan yang tulus juga akan berbiak, kadang pula menghadirkan uang-uang-uang.

#oalah

 Harus Dapat Uang # Entri Jurnal 10

Harus Dapat Uang # Entri Jurnal 10

Di salah satu video yang mampir di beranda, ada seorang perempuan, sekira berusia 27 tahunan, bilang bahwa setiap kali keluar dari rumah, ia minimal harus mendapat salah satu dari tiga hal.

Satu uang, dua network, tiga ilmu. Jadi, ke mana pun dia pergi, ia selalu berpikir apakah akan dapat uang dari kesempatan itu. Bila tidak, ia harus dapat network. Bila tidak network, ia harus dapat ilmu atau pengetahuan.

Sebab, network bisa mendatangkan uang, begitu juga pengetahuan. Pengetahuan jadi bekal untuk mendapat uang.

Kalau tidak dapat ketiganya, mending dia tetap leyeh-leyeh di rumah.

Begitulah kehidupan orang yang fokus. Ia punya tujuan di setiap langkahnya. 

Cuan, cuan, dan cuan...

Ya Kritik Konstruktif # Entri Jurnal 9

Bayangkan kita sedang mendorong maju orang lain: apakah kita akan mengkritiknya?
 
Bila jawabannya ya, yang muncul di benak mungkin kritik konstruktif. Kritik konstruktif itu diberikan dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan suatu hal, baik itu ide, perilaku, atau kinerja. Ada empat syaratnya:

  1. Fokus pada masalah, bukan pribadi. Kritik diarahkan pada masalah atau kekurangannya yang spesifik, bukan pada pribadi orang yang dikritik.
  2. Solutif. Selain mengidentifikasi masalah, kritik konstruktif juga menawarkan solusi atau saran perbaikan.
  3. Dapat diterima. Kritik disampaikan dengan cara yang sopan, santun, dan dapat diterima oleh penerima.
  4. Bersifat membangun. Tujuan utama kritik konstruktif adalah membantu orang atau kelompok jadi lebih baik.
Syarat-syaratnya agak sulit, kan? Saat kita mengkritik, kita sering berfokus pada orangnya.

Thus, memang ada kritik konstruktif seperti itu, tetapi sebagian besarnya destruktif. Baik karena isi dari kritik maupun cara penyampaiannya.

Pernah saya menyampaikan kritik, yang saya anggap konstruktif. Rumusan penyampaiannya pun sudah dipikirkan sedemikian rupa.

Dan apa tanggapan dari orang yang saya beri kritik itu? Ia tersinggung dan balik menyerang. Bagi beberapa orang, menyerang "masalah" atau "ide" sama dengan menyerang dirinya.

Repot juga, kan?



Kritik Diri: Tambah Maju atau? # Entri Jurnal 8

Apa sebenarnya yang dialami Romi?
 
Sebagian besar psikolog menyebutkan fenomena ini sebagai self-criticism atau mengkritik diri sendiri. Dengan mengkritik diri sendiri, kita merasa bisa meningkatkan kemampuan. Atau setidaknya sebagai sarana antisipasi, sebelum orang lain mengkritik, kita kritik diri kita sendiri dulu. Kita cari semua kekurangan dan kelemahan kita. Kita jabarkan sedemikian rupa. Kita punya ensiklopedi kekurangan dan kelemahan.
 
Apakah hasilnya kita jadi lebih baik?
 
Mengkritik diri sendiri bukan membuat kita bangkit. Malah sebaliknya. Kita jadi terpuruk. Seorang psikolog klinis Amerika, Lisa Firestone, Ph.D pun menyebut beberapa studi yang menegaskan bahwa kritik diri mengganggu kemampuan kita mencapai target yang sudah ditetapkan. Bukannya membuat kita bergerak maju, kritik diri malah jadi penghambat. Kita malah terkekang, tapi tidak kita sadari.
 
Lisa bahkan menyebut bahwa kritik diri adalah prediktor kuat munculnya depresi. Sederhananya, orang yang sering mengkritik diri sendiri cenderung akan mengalami depresi.
 
Duh berat betul.
 
Lantas, solusinya apa?


Mengkritik Diri Sendiri # Entri Jurnal 7

Seorang teman, sebut saja Romi, tiba-tiba cemas. Salah seorang klien meminta audiensi. Temanya: seputar pekerjaan terjemahan yang pernah dia tangani 8 bulan lalu.

Menurut Romi, ia perlu antisipasi. Ia perlu jujur tentang semua langkah dan semua kesulitan.

Lantas, ia meminta saran. Ia sudah cemas bahwa si klien akan menjelek-jelekkan dan akan saling berbantah di forum itu.

Lalu saya bilang "memangnya klien ini bilang kalau pekerjaanmu jelek."

"Gak juga sih" ujarnya ragu. "Cuman ya dulu banyak masalah pas kita ngerjakan. Kayaknya dia nemu bagian-bagian yang kurang bagus di terjemahan kita."

"Oke, kita susun langkah dan kita susun jawaban yang sebaik mungkin."

Beberapa jam kemudian, sambil tersenyum ia bercerita. "Ternyata kliennya memuji hasil terjemahan. Istilah-istilahnya sangat on-point." ujarnya bersemangat. "Kadang bahkan dengan penerjemah tersumpah pun tidak setepat ini, kata klien."

"Selamat ya. Tidak terbukti ternyata ketakutanmu itu ya"

Ia pun tersenyum lega.

Itulah yang sering terjadi dan menimpa kita. Kita merasa pekerjaan kita dan penampilan kita buruk. Sebab, kita tahu semua celah. Kita tahu semua kekurangannya saat mengerjakan. 

Kita menuntut diri kadang di angka 100%. Sementara bagi klien, 80% kita saja sudah setara dengan 100%-nya ekspektasinya dia.

Saya selalu suka teman yang bekerja 100% tetapi merasa banyak yang bisa ditingkatkan dari pekerjaan 100% itu. Artinya, ia merasa mampu meningkatkan dan memperbaiki diri. 
 
 


Kucing Iri - Entri Jurnal #6

Tadi pagi, kucing kesayangan kami, Bleki, kabur dari rumah. Penyebabnya, ada kucing kampung liar yang dengan santainya garuk-garuk kepala di rumah seberang. 

Bleki rupanya tak terima. 

Padahal, si kucing liar itu tidak ngapa-ngapain. Tidak berbunyi yang mengganggu. Tidak pula menantang. Hanya diam sambil menikmati pagi yang cerah di Singosari.

Bleki iri? Bisa saja. Si kucing kampung bisa sebebas itu lho. Beda dengan Bleki, yang tak pernah kami biarkan berkeliaran di luar.

Ia melompat pagar setinggi 2 meter untuk kemudian bersitatap lalu bersitegang dengan makhluk berbulu berwarna oranye tersebut.

Bleki mendesis, kucing oranye yang tak punya salah itu pun lari. Bleki tak terima, lalu balik mengejar. Ia masuk orang yang pagarnya sedang terkunci. 

Gimana saya masuknya? Setelah mengevaluasi kondisi, saya pun mempraktikkan kemampuan yang sudah terasah sejak kecil. Lompat pagar.

Melihat kucing tengkar dan Bleki mendesis, salah seorang tetangga datang. Saya pun menjelaskan Bleki yang kabur.

Moral of the story: Bleki iri dengan kenikmatan kucing liar lain, yaitu kebebasan. Dan ia lupa dengan kenikmatan yang ia terima, sense of safety and comfort.

Agak mirip kita-kita.


Belajar Ilmu Customer Service dan Marketing dari Promotor Hape Lulusan SMA

Kejarlah ilmu sampai ke negeri China, kata pepatah. Saya pun mencoba mempraktikkan itu. Walau kali ini saya belajarnya dari CS dan marketing hape.
 
Ceritanya: pada tanggal 8 Oktober 2024, saya mengajak Ndaru beli hape untuk kebutuhan kantor. Awalnya, hape yang mau kami beli adalah Infinix Note 40.
 
Dari semua toko hape di Malang, Ivancell menawarkan harga paling ramah di kantong. Salah satu toko hape besar di sebelahnya misalnya menawarkan harga 2.400k. Di marketplace online, mereka tawarkan seharga 2.300k. 

Rupanya di tengah persaingan sengit itu, IvanCell menggunakan strategi pricing.

Apa itu? Strategi mengotak-atik harga agar paling bersaing. Atau customer merasa bahwa toko ini memberikan harga yang paling bersaing. Harga yang mereka tawarkan hanya 2.200k.

 
Berangkatlah kami ke Ivan Cell sekira jam 2. Seorang lelaki muda berumur sekitar 20 tahunan dan berbaju warna hitam menyambut kami. Perawakannya kurus dan berkacamata pula. Karena versi infinix 40 yang mau kami beli tidak ada, kami ditawari hape yang sama tetapi versi BMW. Kami pun sejenak memikirkan dan melakukan riset cepat di google.
 
Setelah bertanya tujuan hape yang akan kami gunakan, ia sarankanlah hape Samsung M15. Ia jelaskan semua fitur dan keunggulan hape ini. Product knowledge-nya tidak kaleng-kaleng.

Setelah kami putuskan untuk beli Samsung M15 ini, kami diminta ke lantai atas untuk melakukan unboxing. Kami melalui beberapa prosedur unboxing atau pemeriksaan fungsional, sesuai SOP yang ditetapkan.
 
Di situlah kami mengobrol. Bila dirangkum: kira-kira ia sudah bekerja 3 tahun dengan berbagai pengalaman di pekerjaan sebelumnya. Ia sebenarnya promotor untuk produk Apple. Artinya, tanggung jawab utamanya ya menjual produk Apple.
 
Hebatnya, ia tetap melayani penjualan hape lain bila ada pelanggan yang bertanya tentang produk lain tersebut. Ia tak memaksa pelanggan membeli hape yang ia promotori. Bila dipaksa, takut pelanggan tersebut tidak nyaman dan akhirnya beralih ke lain hati, eh toko maksudnya. Masuk akal. Ilmu customer service-nya boleh juga.
 
Lalu kami tanya soal target. Ia bilang targetnya adalah menjual 70 unit hape atau aksesori. Bila hanya mencapai 50%, sanksinya beragam. Bisa pindah toko atau bahkan tidak berlanjut bila ternyata tidak melakukan perbaikan. Wow
 
Lalu, apakah tindakannya menjual produk Samsung itu tidak dipertimbangkan?
 
Tetap dipertimbangkan, katanya sambil tersenyum.
 
Ia pun bercerita tentang seminggu sekali harus mengikuti pelatihan untuk meng-upgrade ilmu dan skill-nya. Ia bercerita product knowledge yang harus ia serap setiap minggu, lalu juga belajar tentang teknik cross-selling dan up-selling.
 
Saya lalu bercerita tentang betapa hebatnya Ivan Cell konsisten melakukan live IG. Padahal, penontonnya kadang hanya 1. Ia lalu menyahut baru tadi selesai melakukan Live. Ia melakukan aktivitas marketing dan direct sales juga.
 
Di akhir waktu setelah selesai obrolan itu, ia bertanya apakah saya sudah mengikuti instagram toko? Ya sudah, jawab saya.
 
Lalu ia lanjut dengan meminta tolong agar membantunya. Caranya, mereview toko tersebut di Google. Nanti saja mas ya.
 
Baik Pak, jawabnya.
 
Wow, ia meminta physical evidence pula. Lalu kami dimintai tolong untuk difoto untuk keperluan media sosial. Ilmu marketing-nya juga jalan.
 
Kok bisa se-multi-tasking dan sekomplit itu ya?
 
 


Kepala di Atas Langit, Kaki Menjejak Tanah - Entri Jurnal #5

Kepala di Atas Langit, Kaki Menjejak Tanah - Entri Jurnal #5

Lalu apa peranan seorang pemimpin?

Saat mencari info lengkap, ada salah satu artikel bagus. Di artikel itu, Dr. Hidayatulloh, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, memaparkan empat peranan seorang pemimpin.

Pertama, pathfinding atau menemukan jalan. Pemimpin memiliki peran untuk menentukan arah kepada kelompoknya, seperti visi, misi, dan strategi.

Kedua, modelling atau menjadi teladan. Artinya, pemimpin wajib memberikan contoh yang baik kepada anggota kelompoknya. Peranan ini menjadi cara efektif untuk membentuk tim hebat seperti yang seorang pemimpin inginkan. Tujuannya: membangun kepercayaan.

Ketiga, aligning atau menyelaraskan. Pemimpin harus menjaga tim agar tetap sejalur dengan visi yang ingin diraih bersama. Pemimpin melakukan pengaturan dan penyesuaian dengan perubahan yang ada tetapi tetap menuju tujuan yang sama.

Keempat, empowering atau memberdayakan. Pemimpin fokus pada pengembangan bakat para anggotanya. Pemimpin memberikan kepercayaan dan tanggung jawab, serta membantu anggotanya jika diperlukan.

Bila dipikir-pikir, peranan seperti ini mirip dengan konsep servant leadership. Seorang "servant leader" melayani organisasi dengan menentukan visi, misi, dan strategi. Si leader lalu mengerahkan dirinya, pikirannya, sumber dayanya, dan tindakannya untuk mencapai sasaran bersama itu. Temukan tujuan, lalu selaraskan semua agar orang-orang bisa mencapai tujuan dengan selamat, dan syukur-syukur bahagia.

Kepala Pemimpin itu di Atas Langit, Kakinya Menjejak Tanah

Belajar Memimpin dari Ketua RT -  Entri Jurnal #4

Belajar Memimpin dari Ketua RT - Entri Jurnal #4

Menjadi pemimpin itu tentang melakukan sesuatu yang benar. Definisi yang benar bisa sangat luas dan lebar. Dan orang-orang punya POV berbeda.
 
Misalnya di level kepemimpinan RT. Ada pelanggaran terkait warga yang tidak membayar iuran. Menurut aturan, bila tidak membayar iuran, Pak RT tidak mau menangani urusan administrasi orang yang bersangkutan.
 
Bila dia menggunakan kompas seorang bendahara, aturan ini adalah aturan. Harus ditegakkan. Orang yang bersangkutan tidak akan dilayani urusan administrasinya.
 
Bila menggunakan POV seorang pemimpin rakyat, Pak RT tidak serta menegakkan aturan ini. Ia telisik dulu alasan mengapa orang ini tidak membayar iuran. Bila karena memang tidak punya uang, ya Pak RT ini akan memaklumi. Bahkan mencarikan cara agar si warga bisa melunasi tanggungannya.
 
Lalu, di tengah POV yang berbeda-beda itu, apa yang perlu dilakukan seorang pemimpin? Mengikuti kompas kepemimpinan dan moral yang sudah ditetapkan. Dengan kompas yang tepat, ia bisa menuju arah yang tepat. Tak harus benar. Kadang salah. Kadang menyimpang.
 
Namun, akan ada pengalihan atau reroute yang membuatnya beralih ke arah yang tepat lagi. Ia akan sadar saat salah. Lalu meminta maaf dan mengubah serta memperbaiki kesalahan yang ada.

Sempurna itu Nomor Dua  - Entri Jurnal #3

Sempurna itu Nomor Dua - Entri Jurnal #3

Masih tentang lagu Kata Mereka Ini Berlebihan karya Bernadya. Tapi kali ini kaitannya dengan marketing. Saat kita ngelakuin aktivitas marketing dan branding, kita cenderung ingin menampilkan hal-hal sempurna. Hal-hal terbaik.
 
Kita ingin menunjukkan seberapa hebat kita, produk kita, atau layanan kita. Kita sampaikan semua fiturnya. Keunggulannya. Faktornya pembedanya. Keunikan-keunikannya.
 
Namun, kadang orang belum yakin dan tidak jadi membeli produk atau jasa kita. Orang tak percaya. Jadinya, belum konversi.
 
Sebab:

Ingin sempurna di matamu
Hanya itu yang aku mau
Namun, tampaknya sempurna tak cukup
Bila ternyata aku bukan yang kau perlu

Ya, bukan kita yang diperlu. Pemasaran itu tentang menyajikan solusi atas kebutuhan atau pain point seseorang. Jika kita sajikan solusi yang pas, orang akan mulai memperhatikan. Bila akhirnya mereka yakin, kita bisa dipilih. Sebab, kita diperlukan. Dibutuhkan. Kita jadi jawaban.
 
Yupz, relevan lebih penting daripada sempurna.

Kata Orang Ini Berlebihan - Entri Jurnal #2

Kata Orang Ini Berlebihan - Entri Jurnal #2

Sedang suka mendengar lagu sejuta umat, yang berjudul "kata orang ini berlebihan".

Salah satu lariknya bilang:

Kubaca sampai tuntas semua buku yang paling kau suka
Mungkin suatu saat kau anggapku cerdas
Tak kuhiraukan kata mereka ini berlebihan
Untukmu, apa pun akan kulakukan

Bener banget lagi larik ini. Bila sudah suka atau sangat mencintai sesuatu atau seseorang, ada kecenderungan beberapa orang untuk ugal-ugalan. Mencinta dengan mati-matian. Itulah ciri khas beberapa orang "pendiam".

Apa pun dilakukan demi sang terkasih.

11.000 kilometer kutempuh sendirian
Bawa pelukku yang ternyata tak kau rindukan
36.000 kaki di atas laut kutahan
Kau tahu benar kutakut ketinggian

Kita akan halalkan segalanya. Ada yang bahkan berkendara jauh. Ada yang menjual semua barang berharganya demi membeli tiket untuk bertemu seseorang. Ada yang tiba-tiba jadi pemberani. Cinta memang seajaib itu.

Namun, semua itu akan sia-sia bila upaya kita tak berjumpa usaha serupa. Bila ternyata bukan kita yang diharap.

Ingin sempurna di matamu
Hanya itu yang aku mau
Namun, tampaknya sempurna tak cukup
Bila ternyata aku bukan yang kau perlu

Dari lirik ini saya belajar bahwa berupaya mencintai harus tahu kadar. Bila ternyata bukan kita yang ditunggu, bukan kita yang diperlu, sudah waktunya kita berlalu. Sebab, hanya akan membuang waktu.

(#2 - 28/09/2024)



Paksa Saja Sampai Bisa - Entri Jurnal #1

Paksa Saja Sampai Bisa - Entri Jurnal #1

Kata seseorang beberapa waktu lalu. Terasa keras dan kasar. Tapi begitulah kenyataannya bila kita ingin menguasai bidang-bidang tertentu. 

Pertama, kita tetapkan apa yang kita mau (sasaran). Harus betul-betul fokus untuk melakukan dan membiasakannya. 

Kedua, paksa lakukan dengan cara apa pun. Berat awalnya memang. Sebab, badan dan otak belum terbiasa. Lama-lama, jaringan otak dan otot akan terbentuk untuk mengakomodasi kebiasaan itu. Akhirnya, jadi lebih mudah dan otomatis. 

Ketiga, lama-lama kita pun akan menikmatinya. Pelan dan perlahan. 

Caranya, konsisten dengan langkah kecil. Sederhananya: consistent small step atau atomic habit.

Contohnya: Nulis ini (#1 - 27/09/24)
Puisi Do it Anyway karya Ibu Theresa

Puisi Do it Anyway karya Ibu Theresa

Terjemahan Puisi Do it Anyway

Manusia sering tak masuk akal, tak logis, dan egois.
Tetaplah saja maafkan!


Jika engkau baik,
Orang mungkin akan menuduhmu egois dan punya motif tersembunyi.
Tetaplah saja berbuat baik!

Jika engkau sukses,
Beberapa temanmu akan penuh kepalsuan dan sebagiannya musuh sejati.
Tetaplah saja sukses!

Jika kau jujur dan apa adanya,
Orang mungkin akan mencurangimu.
Tetaplah saja jujur dan tampil apa adanya!

Apa yang kau bangun bertahun-tahun
bisa dihancurkan seseorang dalam semalam.
Tetaplah saja membangun!

Jika kau temukan damai dan sukacita,
Mungkin orang akan iri
Tetaplah saja bersukacita!

Kebaikanmu hari ini,
Sering dilupakan orang esok hari.
Tetaplah saja berbuat baik!

Berikan milikmu yang terbaik kepada dunia
Dan itu mungkin takkan pernah cukup.
Tetaplah saja berikan yang terbaik!

Sebab, kan kau saksikan pada hari penghitungan, semuanya antara kamu dan Tuhan-mu.
Takkan pernah antara dirimu dan orang-orang itu.

Puisi di atas adalah terjemahan dari puisi yang terpampang di Rumah Sakit Kalkuta yang dikelola Bunda Teresa.

Versi bahasa Inggrisnya berikut ini:

People are often unreasonable, illogical, and self-centered.
Forgive them anyway!

If you are kind,
people may accuse you of selfish, ulterior motives.
Be kind anyway!

If you are successful,
you will win some false friends and some true enemies.
Succeed anyway!

If you are honest and frank,
people may cheat you.
Be honest and frank anyway!

What you spend years building,
someone could destroy overnight.
Build anyway!

If you find serenity and happiness,
they may be jealous.
Be happy anyway!

The good you do today,
people will often forget tomorrow.
Do good anyway!

Give the world the best you have,
and it may never be enough.
Give the world the best you've got anyway!

You see, in the final analysis, it is between you and God.
It was never between you and them anyway.

Tiga Topi Bisnis

Bayangkan skenario di bawah ini.
 
Bapak-bapak berjaket ijo-ijo khas duduk berjejer sambil menunggu kasir yang akan memanggil nomor pesanan dan menyerahkan pesanan mereka. Sebagian saling bercanda dan berbicara. Sebagian diam saja sambil melihat hape.
 
Salah satunya, seorang bapak berusia sepuh sekitar 63 tahun terlihat serius. Sesekali, ia mengecek hape bututnya. Setiap kali kasir memanggil, ia melihat nomor antreannya untuk mencocokkan.
 
Di sudut lain restoran, seorang lelaki muda berbaju biru duduk di salah satu meja yang kosong. Ia sibuk merekap hasil penjualan. Di depannya, ada kalkulator yang sesekali ia pencet. Tak jarang, ia menuju meja kasir untuk bercakap-cakap.
 
Saat sibuk mengotak-atik angka, ia menerima telepon dari seseorang.
 
“Siap-siap Pak. Kami pertimbangkan” balasnya sambil tertawa renyah. Di ujung telepon sana, seseorang menawarkan untuk memperluas dan memperbesar restoran itu. Ia menawarkan investasi dengan jumlah lumayan banyak untuk keperluan ekspansi usaha.
 

https://id.quora.com/

Tiga Topi Bisnis

Tiga aktivitas di atas dijelaskan secara sangat gamblang oleh seorang penulis buku kenamaan, Keith Cunningham. Ia menjelaskan bahwa di aktivitas bisnis ada setidaknya tiga peran. Analoginya: topi berbeda yang digunakan para pelaku bisnis.
 

Satu, Topi Operator 

Topi ini menandakan mentalitas "selesaikan masalah". Operator sama dengan teknisi, orang yang turun tangan dan menjalankan tugas secara efisien. Keunggulan mereka adalah aspek praktis bisnis. KPI-nya: menghasilkan pekerjaan yang berkualitas. Gampangnya: Karyawan.

Dua, Topi Pemilik

Topi ini mewakili visi jangka panjang dan pemikiran dengan mempertimbangkan gambaran besar. Pemilik mempertimbangkan kesehatan dan arah usaha. Pemakai topi ini menetapkan tujuan, mendelegasikan tugas, dan memastikan perusahaan beroperasi dalam kerangka kerja yang berkelanjutan. Pemilik kadang diwakili oleh Direktur atau CEO. KPI-nya: unit bisnis berkembang, dan lingkungan bisnis positif.

Tiga, Topi Investor

Di sini, pelaku bisnis dituntut berpikir secara strategis seperti seorang investor. Fokusnya adalah pengembalian hasil investasi (ROI) dan menganalisis peluang pertumbuhan. Pemakai topi investor bertanya "Apakah penggunaan sumber daya kita sudah baik?", "Apakah keuntungan bulan ini akan positif?", “Kapan BEP?”, dan “Apa yang bisa dilakukan agar bisnis kian maju?” KPI-nya: Kecepatan pengembalian modal dan penciptaan keuntungan.

Cunningham menegaskan, bila ingin sukses, pemilik bisnis harus bisa berpindah-pindah antara topi, tergantung situasinya. Mereka bisa menjadi operator langsung pada satu momen (mengatasi masalah teknis) dan investor strategis pada momen lainnya (mengevaluasi kampanye pemasaran baru).

Yang tak kalah penting, bila bisnis sudah besar, pemilik harus jadi pemilik dengan mengenakan topi pemilik atau bahkan topi investor. Sebab, karyawan yang memang karyawan sulit untuk mengenakan topi selain topi operator. Tugas karyawan hanya satu: Menyelesaikan tugas secepatnya dan semaksimal yang ia bisa.
 

Flow: Di Antara Suka dan Menantang

Konon, saat menulis novel dalam serial Harry Potter, JK Rowling pernah begitu terhanyut ke dalam aktivitas kreatif tersebut dengan begitu intens. Saking dalamnya, ia bahkan lupa waktu dan semua hal yang terjadi di sekelilingnya.
 
Dalam wawancaranya dengan Oprah Winfrey misalnya, dia menggambarkan bagaimana cerita sering terungkap di pikirannya seolah-olah dia sedang menonton film. Dia pun sepenuhnya tenggelam dalam proses kreatif itu.
 
Sering kali kita menyebutnya sebagai “masuk zona” atau “flow” menurut Mihaly.
 
Menurut Mihaly, flow adalah “a state in which people are so involved in an activity that nothing else seems to matter; the experience is so enjoyable that people will continue to do it even at great cost, for the sheer sake of doing it”.


Terjemahannya adalah kondisi saat  seseorang begitu terhanyut dalam suatu aktivitas sehingga hal lain seolah tak penting lagi. Pengalaman tersebut begitu menyenangkan sehingga orang tersebut akan terus melakukannya meski konsekuensinya mahal, sebabnya ya karena senang melakukannya saja.
 
Kondisi inilah yang dijelaskan Riska pada pertemuan tim beberapa hari lalu.
 
Saat sedang flow, seseorang akan merasakan kenikmatan (enjoyment), bukan lagi kesenangan (pleasure).



Apa bedanya?
 
Kesenangan adalah perasaan puas yang bersifat pasif dan muncul dari terpenuhinya kebutuhan dasar atau harapan sosial. Misalnya, menonton TV, makan makanan manis, atau bersantai di sofa. Aktivitas-aktivitas ini memang menyenangkan saat ini, tetapi tidak selalu mengarah pada pertumbuhan atau rasa pencapaian. Kita mendapat jeda, tetapi tidak berkontribusi banyak terhadap kesejahteraan kita secara keseluruhan dalam jangka panjang.
 
Kenikmatan sendiri adalah pengalaman yang lebih aktif dan menarik. Perasaan ini muncul dari aktivitas yang menantang keterampilan dan kemampuan kita dengan cara yang masih dapat kita tangani. Titik manis antara tantangan dan keterampilan inilah yang menciptakan keadaan flow. Misalnya, saat kita menangani proyek kreatif yang di atas keterampilan kita dan cukup menantang, kita akan merasakan flow itu.

Saat seseorang sedang flow, orang lain juga akan merasakannya dari hasil kerja yang terlihat. Bagus. Sepenuh hati. Penuh kejutan menyenangkan. Dan orang yang flow tersebut juga akan merasakan kenikmatan yang luar biasa, terlepas apakah karyanya akan dipandang bagus atau biasa saja oleh orang lain.

Flow itu berada di titik tengah yang manis antara kemampuan dan tantangan. Antara kemampuan dan kesukaan.

 

Berubah Cepat atau Mati Lekas?

 Salah satu fasilitas terbaik yang disediakan kehidupan modern masa kini adalah perubahan yang begitu cepat. Berkedip sebentar kita seakan-akan sudah ketinggalan hal baru. Berita baru. Ada saja fitur hape yang berubah lebih baik. Fitur penulisan email yang lebih canggih. Dan istri baru dari artis baru. Eh#

Derap perubahan itu tak bisa kita hadang atau kita bendung. Ia terus melaju dengan kecepatan yang eksponensial. Kian lama, kian cepat. Apalagi, pemikiran manusia kian canggih saja dengan adanya dukungan generative AI.

Apa yang terjadi bila kita tidak ikut berubah?

Ambil contoh Kodak. Dulu, perusahaan ini jagoan banget di dunia fotografi selama lebih dari seabad. Mereka melibas pasar roll film. Dengan sekilas melihat kotak kuningnya, semua orang sudah tahu itu merek apa.

Namun, Kodak gagal melihat kehadiran era digital. Akhirnya, mereka tidak bisa mengikuti perubahan. Perusahaan ini akhirnya bangkrut pada 2012.

Berikut adalah alasan kenapa respons mereka yang lambat terhadap perubahan menyebabkan kebangkrutan:

  • Susah menerima perubahan: Kodak keukeuh banget sama fotografi film. Padahal mereka punya teknologi buat mengembangkan kamera digital dari dulu. Namun, pimpinan mereka takut terkena imbasnya dan khawatir bisnis film mereka jadi sepi. Jadinya, pengembangan kamera malah dihentiin.
  • Kesempatan yang hilang: Kodak punya sumber daya dan pengalaman buat jadi pemimpin di dunia fotografi digital, tapi mereka malah melewatkan kesempatan penting buat masuk ke pasar duluan atau membeli perusahaan digital yang sedang naik daun.
  • Kehilangan pangsa pasar: Saat kamera digital jadi makin murah dan gampang digunakan, penjualan film Kodak langsung jatuh drastis. Mereka jadi susah bersaing dengan perusahaan kayak Sony dan Canon yang menerima teknologi digital.

Pas Kodak akhirnya masuk ke pasar kamera digital, sudah terlalu terlambat. Bangkrutlah mereka pada tahun 2012. Itulah salah satu cerita sedih tentang perusahaan yang gagal mengikuti perubahan teknologi dan perubahan selera pasar.


Kita pun begitu bila tak mengikuti perubahan dan abai melihat masa depan.

Kejelasan: Sederhana Tapi Jarang Diberikan

Dalam perjalanan pulang dari Jombang ke Malang hari Sabtu lalu, ada dua perempuan berboncengan dengan sepeda Beat berplat AG. Yang duduk di belakang berbaju abu-abu, dan berjilbab. Yang depan berbaju biru dan berkerudung krem.
 
Keduanya tampak baru pertama kali lewat jalan alternatif Kasembon – Ngantang - Batu. Ada yang kontras: si pengemudi sibuk mengendalikan laju sepeda motor. Si boncenger sibuk mengeluarkan smartphone Android-nya untuk merekam pemandangan sekitar.
 
Dan di belakang mereka, saya sibuk menjaga jarak dan memperhatikan tindakan muskil mereka. Sesekali, sepeda motornya ada di tengah. Lalu, beberapa detik kemudian menyamping hendak keluar dari bahu jalan. Dalam Sebagian besar jalan, posisi sepeda motor mereka di tengah.
 
Mengapa tidak saya salip saja?
 
Ya, karena cara berkendara mereka tak stabil. Ada kalanya di pinggir. Ada kalanya di tengah. Kadang mengerem mendadak, lalu mengerem terlalu awal. Saat saya pencet klakson, mereka kian ke tengah.
 
Cara berkendara yang serampangan itu membuat saya tidak bisa memutuskan apakah harus menyalip, di mana, dan kapan menyalipnya.
 
Untunglah beberapa saat kemudian ada jalan lurus yang lebih lebar. Di titik itu saya bisa menyalip.
 
**


Pada suatu kesempatan, saya pernah dicurhati salah satu teman. Ia dekat dengan seorang perempuan, sudah agak lama.
 
Ia merasa perempuan itu juga menaruh rasa karena si perempuan memberinya rasa nyaman. Hanya, kadang-kadang tiba-tiba si perempuan ini dekat dengan lelaki lain. Kadang cuek. Kadang tidak memberi kabar.
 
Ia pun dibuat galau dan bingung. Sebab, ia tak bisa mengambil keputusan untuk langkah berikutnya.
 
Betul, namanya di-ghosting.
 
Kedua peristiwa ini mirip. Ya, tak ada kejelasan. Ketika tidak ada kejelasan, kita pun sulit mengambil langkah. Kita tidak tahu harus bagaimana.
 
Bila dalam kehidupan biasa saja begitu, apalagi di dalam organisasi atau tempat kerja. Penting sekali untuk memberikan kejelasan agar orang tahu apa yang harus dilakukan. Tak bingung dan tak galau.
 
Kecuali?
 
Kecuali memang kita memang mau menyiksa dan menyulitkan orang lain. Memang ada?

 
 

Apresiasi dan Kebanggaan

 Kalau bukan uang, terus apa lagi?
 
Dua hari lalu, saya bertamu ke rumah salah satu tetangga. Ia memajang plakat yang dibuat perusahaan tempatnya bekerja. Di situ tertulis momen ketika ia mencapai 10 tahun kerja, lalu 20 tahun kerja. Plakat tersebut ditandatangani oleh Manajer Pabrik.
 
Ia memajangnya di ruang tamu. Di bagian terbaik dari lemarinya.
 
Dari caranya memajang dan caranya bercerita, tampak betul ia begitu bangga dengan tempat kerjanya.
 
Dan itulah salah satu cara sederhana dan murah tentang bagaimana kita sebagai pemimpin bisa menghargai karyawan. Memanusiakannya. Mencatat waktu kerjanya dan memberikan penghargaan atas setiap milestone itu.
 
Ingatan lalu membawa saya pada seorang handai taulan yang berprofesi sebagai PNS Guru. Saat mencapai 10, 20, atau 30 tahun bekerja, ia mendapat bintang Satyalencana Karya Satya dari Gubernur. Perunggu bila mencapai 10 tahun pengabdian, perak untuk 20, dan emas untuk 30 tahun.
 
Saya ingat kata-kata Bob Nelson:
 



Luangkanlah waktu untuk mengapresiasi karyawan dan mereka akan membalasnya dengan seribu cara.

Tak Harus Uang sih Memang

Tak Harus Uang sih Memang

Kita sudah tahu bahwa reward memang penting. Sekarang pertanyaannya:

Reward-nya seperti apa? Bagaimana cara memberikan reward tersebut? 

Salah satu teks yang sedang saya telikuri untuk saya terjemahkan kebetulan membahas itu.

Ternyata, reward bisa bermacam-macam bentuk. Boleh berupa barang, uang, atau bahkan afirmasi. Kata-kata baik. Dan validasi atas tindakan positif dan penuh inisiatif yang dilakukan anggota tim.

Dan semua reward ini perlu diberikan oleh sang leader. Sebab, dalam organisasi, leader menentukan atmosfer dan arah organisasi.

Taruh misalnya kita memiliki salah satu personel cleaning service melintas di restoran yang sedang sibuk melayani para pelanggan. 

Lalu, ia melihat tempat sampah yang hampir penuh. Tanpa banyak pikir, ia lalu mengeluarkan wadah plastik sampah tersebut dan mengikatnya. Ia lalu menggantinya dengan wadah plastik baru dan membuang wadah sampah tersebut ke luar.

Minimal, kita bisa memberinya reward, berupa kata-kata afirmasi positif. Atau kita menyebut namanya dalam pertemuan harian atau pertemuan mingguan yang kita adakan.

Dengan cara itu, kita mendorong agar insiatif yang positif ini diulangi dan ditiru oleh karyawan lain.

Atau yang paling minimal, kita tidak menoleransi karyawan yang malah berperilaku negatif.

Sebab,

“Nothing will kill a great employee faster than watching you tolerate a bad one. Perry Belcher, co-founder DigitalMarketing.com.”

Terjemahannya: karyawan yang luar biasa akan lama-lama hilang lebih cepat saat ia menyaksikan seorang pemimpin menoleransi karyawan yang berkinerja dan bersikap buruk.

Yang Enak-Enak Akan Diulangi

Yang Enak-Enak Akan Diulangi

Siang ini dalam sesi rutin ngobrol bersama tim, Farid mempresentasikan procrastination puzzle karya Timothy A. Pychyl. Farid lalu mengupas definisi procrastination. Penyebab. Lalu, terakhir bagaimana cara mengatasinya.
 
Menurutnya, semua orang menghindari perasaan negatif. Kesedihan. Rasa duka. Manusia selalu mencari perasaan senang dan bahagia.
 
Kadang, perasaan senang itu justru diperoleh dari aktivitas yang secara sadar atau tidak sadar malah membuat kita menunda aktivitas yang mestinya kita lakukan. Misalnya, mestinya mengerjakan tugas yang deadline-nya ketat, eh malah nyasar ke Netflix. Netflix memberi kita rasa senang.
 
Karena menyenangkan, kita ulangi lagi. Jadilah kita mengulangi procrastination ini, yang kemudian menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan menjadi karakter. Dan begitu seterusnya seperti kata Lao Tzu:

Watch your thoughts, they become your words; watch your words, they become your actions; watch your actions, they become your habits; watch your habits, they become your character; watch your character, it becomes your destiny.

Terjemahannya: Perhatikan pikiranmu karena pikiran akan jadi kata-kata. Perhatikan kata-kata karena akan jadi tindakan. Perhatikan tindakanmu karena akan menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaanmu karena akan jadi karakter. Perhatikan karaktermu karena akan jadi takdirmu.
 
Di salah satu bagian presentasinya, Farid menegaskan bahwa apa pun yang rewarding, pasti akan diulangi, tulis Timothy.

Kalimat itu mengingatkan saya pada aturan utama perubahan perilaku, yang disampaikan James Clear di X.
 
The Cardinal Rule of Behavior Change: What gets rewarded, gets repeated. What gets punished, gets avoided. Don’t reward behavior you don’t want to see repeated.

Terjemahan sederhananya: Aturan Utama Perubahan Perilaku: Tindakan yang mendapat reward, akan diulangi. Tindakan yang dihukum, akan dihindari. Jangan hargai perilaku yang Anda tidak ingin untuk terulang kembali.

Sederhananya: Bila ingin orang lain meneruskan dan melanjutkan sikap positifnya, ya kita hargai dan beri reward saat ia bersikap positif.

Tut Wuri Handayani

Tut Wuri Handayani

Saat bersekolah di SD, saya diajari tentang tiga semboyan dasar pendidikan di Indonesia, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
 
Sederhananya, slogan Ing Ngarsa Sung Tulada berarti seorang guru harus menjadi teladan. Ing Madya Mangun Karsa menegaskan peran guru untuk membangun semangat agar murid terus maju. Tut Wuri Handayani berarti memberikan motivasi bagi anak didiknya, alias memberi dukungan dari belakang.
 
Tut Wuri Handayani lantas menjadi semboyan yang dijadikan logo oleh Kemendikbud. Pencantuman semboyan ini demi menunjukkan penghormatan terhadap almarhum Ki Hajar Dewantara. Selain penghormatan itu, hari lahir beliau dijadikan dan dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
 
Titik.
 
Saya tak bertanya-tanya lagi dan menjadikan info itu sebagai kebenaran mutlak, yang sudah tak perlu diganggu gugat.
 
Rasanya, informasi di atas itu sengaja disederhanakan karena saya masih di taraf sekolah dasar. Pikiran saya sederhana. Jadi, informasi dan ilmu yang diberikan pun diringkas oleh guru dan penulis buku pelajaran.
 
Beberapa hari lalu, dalam rangka membuat tulisan sederhana ini, saya pun melakukan penelusuran kecil.
 
Hasilnya?
 
Di Taman Siswa, para murid dibebaskan untuk belajar dan mengembangkan potensi dengan cara yang sesuai dengan minat dan bakat. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pembimbing dan pendamping yang selalu siap membantu murid ketika mereka butuh. Jadi, guru harus menjadi teladan, menunjukkan kasih sayang dan kesabaran, serta menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua murid. Bila merasa aman, siswa akan berkembang dan mau mencoba hal-hal baru.
 
Oh, ini yang dimaksud Tut Wuri Handayani.
 
Bila dikembangkan lebih jauh, Tut Wuri Handayani bisa berarti guru menjadikan para muridnya sebagai teladan bagi dirinya dan sesama murid. Para murid kemudian saling memotivasi dan memberi semangat. Dan di situlah posisi guru: menciptakan lingkungan aman dan nyaman semacam itu.

Bila dirunut lebih jauh, konsep ini mirip dengan konsep servant leadership.

 

Buruh

Buruh

Buruh

Bapak terburu-buru pamitan
ia mau menambang bulir-bulir peluh.
Akan ia peras, saring, lalu selipkan
perlahan ke dalam kantong tebal si tuan cuan.

Saat para buruh makan bekal siang
sang tuan berkata bijaksana
"keringat kalian itu harum di surga
semangat kalian itu pahala."

Salah satu buruh angkat suara
Bila Tuhan yang membayar
dengan pahala atau surga,
lalu Tuan gunanya apa?

1 Mei 2024


Kabari Dulu

Kabari Dulu

Jika ingin mengiris ulu hatiku, kirimi whatsapp
biar aku bisa bersiap-siap.
Bila tak sempat, posting-lah status galau.
Biar aku tahu. Biar aku maklum.

Saat  pisaumu mengirisku dulu
aku hanya terdiam
Bukan karena tak mampu melawan
Hanya tak mampu menalar

Lalu kau membela, bukan aku yang menyakitimu
Ekspektasi dan harapan besarmu itu
Juga asumsi-asumsimu
Dan terkaanmu tentangku.

Ya, kutahu. Mohon tetap kabari dulu
Sebab, rasaku padamu dibangun
atas dasar harapan baik dan sangkaan pelik
bukan atas praduga bahwa bisa jadi dirimu tiba-tiba mencekik


(2024)

Joko Pinurbo - di Antara Kata dan Kenangan

Dalam suatu perjalanan dari kota Batu, Malang, istri saya bercerita bahwa saya dulu sarkas. Mulut saya tajam. Pilihan kata saya menghujam.
 
Ada saja kata atau kalimat yang bisa mengiris hati orang lain. Piawai betul saya melakukan itu, katanya.
 
"Untung dulu sampeyan lumayan pintar" ucapnya sambil tersenyum.
 
Geli sekali mendengar cerita itu. Entah apa dulu penyebab saya begitu sarkas. Suka berbicara tajam itu. Rasanya, faktor latihan yang tak sadar.
 
Hasilnya, saya selalu mampu menemukan kata-kata yang bisa menusuk hati orang. Kian lama, kian tajam.
 
Lalu, di suatu momen yang tak pernah saya sangka, saya menggunakan kekurangan (keahlian kah?) terbaik itu tanpa sengaja.
 
Dalam suatu percakapan santai, saya membantai seorang rekan kerja. Ia terdiam untuk lantas tak lagi berbicara selama berbulan-bulan. Sesal saya dibuatnya. Malam-malam saya terusik selama beberapa hari.
 
Momen itu menjadi titik balik. Saya pun mencoba mengubah pendekatan. Perlahan saya mengurangi berbicara. Memperbanyak berpikir tentang dampak sebelum berbicara. Tak mudah. Sekarang pun, keahlian itu kadang tiba-tiba muncul dan saya terpeleset.
 
Entah kebetulan apa, saya pun hari ini membaca obituari indah gubahan Akmal Nasery Basral di Kompas tentang Almarhum Joko Pinurbo. Ia menulis:
 
“Dulu saya bersikap keras terhadap para penulis pemula. Karya mereka saya kritik tajam dengan maksud agar mereka menghasilkan karya yang lebih baik lagi sesudahnya. Tetapi yang terjadi, sebagian besar dari yang saya kritik itu malah tidak pernah menulis lagi,” katanya sembari kembali mengisap rokok dalam-dalam. “Saya lalu mengubah pendekatan dalam melakukan kritik agar para penulis muda tetap berkarya. Peningkatan kualitas bisa dilakukan bertahap tanpa harus memadamkan energi kreatif mereka.”
 


Saya jadi paham. Betapa kata dan kalimat bisa menjadi kekuatan yang bisa menghidupkan asa atau malah memadamkannya. Ia bisa menjadi nyala sekaligus angin yang mematikannya.

Dan kata-kata itu semua akan menjadi kenangan bagi orang lain:

Kenangan
Joko Pinurbo
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang cukurmu. Ia memangkas
rambutmu dengan sangat hati-hati
agar gunting cukurnya tidak melukai keluguanmu.
 
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang baksomu. Ia membuat
baksomu dengan sepenuh hati seakan-akan kau
mau menikmati jamuan terakhirmu.
 
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang fotomu. Ia memotretmu
dengan sangat cermat dan teliti agar mendapatkan
gambar terbaik tentang bukan-dirimu.
 
Suatu saat kau akan jadi kenangan
bagi tukang bencimu. Ia membencimu
dengan lebih untuk menunjukkan
bahwa ia mencintai dirinya sendiri dengan kurang.