Belajar Menjadi Kuli

Sumber: http://bit.ly/1OglyAO
Belajar Menjadi Kuli - Hal paling sulit di dunia mungkin bekerja dengan tulus ikhlas tanpa pengharapan di sepanjang perjalanan. Acap kali, kita akan tulus di awal, selangkah berlalu hati bisa jadi bergejolak. Berganti arah, memutar, atau bahkan berbalik. Ketulusan dan keikhlasan berubah menjadi sebentuk perasaan yang benar-benar lain.

Demikian juga saat bekerja sebagai profesional atau relawan. Di awal mungkin kita tulus ikhlas. Sejenak berganti, ketulusan dan keikhlasan itu bisa terkikis. Dan ketika terkikis muncullah penguasa baru, ketamakan serta harapan akan imbal hasil yang lebih besar.

Itu juga yang terjadi pada salah satu teman. Pada suatu waktu, salah satu teman itu keluar dari pekerjaannya yang semula. Dia memutuskan mengundurkan diri. Jalan kami sudah berbeda, ucapnya. Dan sesuai dengan sudah aku perkirakan, dia menceritakan sejumlah daftar ketidakpuasan dan kekecewaannya. Ketidakpuasannya mungkin bila ditumpuk akan membumbung dan mencapai langit ketujuh. Di mana langit ketujuh itu?

Kita dan Pelestari Bersapu Tangan

Di antara berbagai dialog yang terdapat di dalam al-Quran, salah satu yang terkenal adalah dialog antara para malaikat dengan Allah Swt tentang penciptaan Nabi Adam as. Dialog ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30 sampai 33.

Singkat cerita, sebelum menciptakan Nabi Adam as dan menetapkannya khalifah-Nya di bumi, Allah Swt mengabarkan masalah yang sangat penting ini kepada para malaikat. Dalam firman-Nya, Allah ingin menciptakan makhluk sebagai wakil dan khalifah-Nya di bumi. Makhluk ini akan menguasai segala sesuatu dan memiliki potensi berkembang dan menjadi khalifah Allah. Setelah mendengar kabar ini, para malaikat berkata dengan intonasi penuh protes.
sumber: pixabay.com

Sejarah Boikot: Dari Irlandia hingga Indonesia

sumber gambar: kompas.com
Charles Boycott begitu orang tuanya memberi nama. Dia adalah agen pentanahan yang bekerja untuk sang tuan tanah Lord Erne, yang tinggal di Lough Mask House di County Mayo, Irlandia.

Sekira tahun 1880, Lord Erne ditentang oleh para penyewa lahannya karena hanya menawarkan diskon 10% dari biaya sewa. Tahun itu hasil pertanian sedang buruk-buruknya. Para penyewa tak bisa menyewa lagi apabila biaya sewanya tidak diturunkan. Tawaran 10% itu ditampik, dan para penyewa pada bulan September tahun itu meminta diskon 25 %. Dan tentulah si tuan tanah menolak angka itu.

Sebagai orang yang berkepentingan, Charles Boycott turun gunung. Para penyewa lahan yang menolak hendak diusirnya dari lahan. Para penyewa lahan semakin keras, seiring makin kerasnya perlakuan Charles Boycott. Lama kelamaan, semua orang mengikuti sikap para penyewa lahan. Seiring berjalannya waktu, para pekerja di perkebunan, peternakan, dan rumahnya mogok bekerja. Charless Boycott pun terisolasi. Dia kesulitan mencari pekerja yang mau bekerja padanya untuk panen, mengurus peternakan, dan mengurus rumah.

Kala Generasi Sapu Tangan Berganti Generasi Tisu

Source: iqmaltahir.files.wordpress.com
Masih kuingat wajahnya yang berkeriput sebab menua. Juntaian rambut putih keluar sedikit dari kerudungnya yang tak tertutup sempurna. Tatapan matanya yang sayu selalu meneduhkanku. Senyumnya mengembang perlahan, tetapi menawan. Menyihirku hingga waktu yang lama.

Masih terekam jelas di benakku, saat dia mengeluarkan sapu tangan, lalu sejenak kemudian mengusap lembut ingus yang keluar dari hidung. Atau sesekali menyeka kotoran yang menempel di pelipis kanan.

Itulah nenekku, salah satu generasi pengguna sapu tangan terakhir yang masih kuingat. Mungkin semenjak generasinya menua, manusia Indonesia yang perlahan menuju generasi tisu tak lagi menjadikan sapu tangan sebagai bekal. Di saku-sakunya, tak lagi tersisip sapu tangan. Berganti dengan tisu-tisu, hape keluaran terbaru, headset, iPod, dan segenap peralatan canggih lain.

Generasi Penuh Luka

source: wikipedia.
Dalam novel Sepatu Dahlan yang ditulis apik oleh Khrisna Pabichara, ada satu adegan yang menurut saya selalu relevan untuk kita jadikan refleksi. Seusai salat Jumat pada 17 September 1948, Kiai Mursjid yang saat itu menjadi pimpinan Ponpes Sabilil Muttaqien sekaligus imam Tareqat Syatariyah, ditangkap oleh Laskar Merah yang terafiliasi langsung Front Demokrasi Rakyat. FDR ini adalah aliansi yang dibangun oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin setelah kejatuhannya. Pada kemudian waktu, Muso salah satu tokoh PKI bergabung.

Tak rela sang Imam ditawan sendirian, Imam Paham salah satu muridnya meminta izin untuk diperbolehkan mendampingi pemimpinnya. Sejak saat itu, Kiai muda berkharisma bersama muridnya itu tidak pernah pulang lagi ke pesantren. Hilang misterius.

Definisi dan Arti: Nyinyir yang Menyinyir

Source: http://conq.me/
Setelah berpusing-pusing membahas latar belakang mengapa kita perlu mencari definisi suatu istilah sebelum berdebat (lihat posting sebelumnya: signifikansi definisi nyinyir, perlunya apa?), tibalah saatnya kita membahas arti kata Nyinyir itu sendiri. Ya, agar segera jelas kesimpangsiuran yang selama ini memanjang dan melebar.

Kurang afdhol rasanya membahas makna dan arti suatu kata, tanpa terlebih dahulu mengutip KBBI. Nah, menurut KBBI sendiri “nyinyir” masuk dalam rumpun adjektiva atau kata sifat, yang artinya: mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet.

Jadi, kalau sudut pandang kita hanya dari KBBI, ya kita salah memilih kata. Kalau panduan kita hanya KBBI, kita ternyata salah memilih kata nyinyir itu. Titik.

Lalu apa kata yang pas?

Signifikansi Definisi Nyinyir, Perlunya Apa?

Screenshot dari situs jonru.com
Pertarungan Pilpres setahun lalu menyisakan kegetiran yang masih belum tuntas. Cercaan, hinaan, komentar pedas, dan sindiran tajam berseliweran tanpa henti, baik di dunia nyata apalagi di dunia maya. Mungkin lebih dahsyat dari terpaan gelombang Laut Selatan (seakan-akan saya sudah pernah ke sana).

Parahnya, kedua belah pihak seakan makin tajam-tajamnya mengasah kelihaian mengolah kata. Pendukung presiden terpilih, yang sering disebut Jokowers, mencerca balik para haters dengan sindiran yang memang tak setajam silet tetapi mungkin setara belati. Tidak tajam betul, tetapi menyanyat dan tahan lama.

Jangan Kau Terus Pertahankan Lukamu

Source: ridhaintifadha.wordpress.com
Tergeragap di malam itu meyakinkanku. Baris-baris percakapan itu harus aku kunjungi lagi. Ya, serupa mengunjungi masa lalu. Harus aku baca lagi secara menyeluruh. Kerapuhan-kerapuhan yang menjadi bingkai tipis yang membungkus hati biarlah aku buka pada segala kemungkinan.

Hidup sudah mengajarkan: Keberanian adalah pintu gerbang menuju setiap kemungkinan. Sebagaimana halnya hari kemarin, kemungkinan paling buruklah yang paling menakutkan. Namun, bila kita berani menghadapinya, kita tidak akan bisa membuka mata, hati, dan diri pada kemungkinan paling baik: Penyembuhan dan kesembuhan diri.

Agar Bulir-bulir Nasi Mendoakanmu


Source: kulitkupat.blogspot.com
Sore itu berbondong-bondong para undangan menuju acara walimatul arsy. Kami berkelompok-kelompok kecil, lalu menuju sebuah tenda biru, yang didirikan dengan pipa-pipa yang sambungan lasnya kurang mulus. Warna keemasan akibat karat terlihat jelas.

Sebelum mengambil tempat  di alas terpal yang dihamparkan di atas tanah, kami bersalaman dengan sekompi penerima tamu. Tuan rumah menjadi salah satu di antaranya.

Usiaku saat itu masih sekira 15 tahunan. Ayah tidak bisa datang, sehingga mengutusku. Mungkin ayah hendak mengajariku bersosialisasi. Berdamai dengan keramaian. Atau memang ayah harus ke sawah, memeriksa air seperti yang biasanya dia lakukan.

Mengunjungi Luka


Source: http://bit.ly/1PcqJEJ
“Aku akan mengunjungi masa laluku. Membaca lagi semua catatan-catatan itu. Memperhatikan setiap gerakku dulu. Setiap petunjuk yang terlihat. Meresapi tindak-tandukku. Jangan-jangan luka itu aku yang mengundangnya” ujarnya serius.

Sirat matanya tajam. Dia tak pernah sebersungguh-sungguh ini, seingatku. Selama puluhan tahun aku mengenalnya, kupaham satu hal. Dia berusaha keras untuk berdamai dengan masa lalu itu, yang menurutnya mengganggu tidurnya setiap malam.

“Kau takkan takut menghadapi lukamu sendiri?” tanyaku. Dia masih diam. Susah berbicara dengan orang yang terlalu serius memandang hidup.

Karena Pantulan Itu Luka, Ucap Pemuda Itu

source: en.wikipedia.org/wiki/Narcissus_(mythology)
Tiresias didatangi oleh peri Liriope, dengan tergesa-gesa. Sang peri membawa serta anak hasil perkawinannya dengan dewa sungai Cephisus. Wajahnya pucat pasi. Terlihat benar kekhawatiran menggelayut di raut wajahnya yang entah mengapa tetap terlihat muda, meskipun sudah larut dimakan usia.

Nasib anak semata wayangnya membuatnya cemas sejauh ini. Seperti halnya anugerah lain, ketampanan anaknya bisa mengundang musibah, itu sumber ketakutannya. Dia takut anugerah itu mencabut usia anaknya itu lebih cepat.

“Jangan khawatir. Dia akan hidup lama, kecuali dia mengenal dirinya” ucap Tiresias sambil memegang tangan anak itu beberapa saat kemudian. Kepalanya sedikit mendongak ke atas. Wajahnya datar. Matanya menatap kosong, ah mungkin menerawang. Raut wajah Tiresias menyiratkan dia tahu akhir hidup anak itu. Tapi dia enggan memberi tahu.

Karena Bayangan Selalu Lebih Kecil

source: http://bit.ly/1jgL1zF
Dia berjalan gontai, dan santai. Sesekali berjalan cepat mengikuti ritme dan laju jalan orang lain. Dalam kebanyakan kasus, dia berjalan begitu saja: rileks.

Di sebuah perjalanan taksi ke sebuah simposium besar, dia ditanya oleh pengemudi taksi. “Maaf, Anda sepertinya petani sukses. Bisa naik taksi” ujarnya sambil menyunggingkan senyum.

Temanku itu menyeringai perlahan. “Kok tahu saya petani?”

“Dari penampilannya saya yakin bapak itu petani. Gimana pertanian di daerah bapak? Sekarang musim apa?”

“Saya pengajar Pak. Dosen orang menyebutnya” jawabnya jujur, tak hendak menyampaikan kebohongan. Dia tersenyum sambil terkekeh sedikit. Demikian juga si pengemudi taksi.

Teruntuk Kita, Korban Aksi Tikam dari Belakang

source: http://bit.ly/1Kz9oyg
Ditikam dari arah mana pun akan sakit. Lebih tak terukur apabila arahnya dari belakang. Bukan karena tikamannya, tetapi lebih kepada efek psikologisnya. Dampak benturannya yang mengguncang jiwa.

Lebih tak terkira lagi bila ternyata si penikam menggunakan belati yang kita percayakan tempo hari. Dan ketika tikaman usai, setelah kita menengok, dia ternyata orang terdekat.

Malam lantas terasa begitu panjang. Memori buruk, sakit hati, memori indah yang tiba-tiba berubah muram, cerita-cerita buruk dari orang lain yang kita tepis, tanda-tanda dari alam yang kita enyahkan berlalu lalang silih berganti, teraduk, dan bercampur menjadi kafein tingkat tinggi.

Kunci Bahagia Nomor 110: Berhenti Merasa Berjasa

Yoni, sebutlah namanya begitu, adalah seorang pekerja konstruksi. Tugasnya sederhana: di setiap proyek konstruksi yang dikerjakan perusahaannya, dia harus mengawasi keluar masuk material bangunan, dan memastikan tidak ada kebocoran.

Jadi, untuk urusan berapa karung semen yang digunakan setiap hari, berapa truk pasir yang dihabiskan para tukang, dan berapa kubik batu yang disedot pondasi suatu bangunan, dialah pengeceknya. “Pemeriksa kebenaran, dan verifikatur” ucapnya.

Bawahan? Dia tidak punya. Atasannya ya bos konstruksinya sendiri. Konon, sudah belasan tahun si Yoni ini ikut sang bos. Setia mengikuti kemana pun si bos ini menunjuk.

Pada suatu waktu, Yoni memiliki keperluan mendadak. Dia perlu uang. Dengan bekal “merasa” memiliki loyalitas dan jasa besar atas perusahaan, si Yoni memberanikan diri menghadap kepada bosnya.

Gema: Akhir Tragis si Peri Setia

Dia mengendap-endap dalam rimbun semak. Sesekali bersembunyi di sisi pohon. Jejeran batu raksasa tak luput pula dibidiknya. Ada seseorang yang selalu dinantinya, diharapnya dari jauh.

Penantian itu selalu membuat jantungnya berdegup kencang. Membayangkan wajahnya saja sudah membuat hatinya seakan melompat-lompat. Ya, pemuda rupawan itu sudah merampok hampir seluruh kewarasannya.

Dia ingat lima tahun lalu, seorang pemuda tersesat. Dia lari dari kerumunan orang-orang yang mengejarnya. Terengah-engah. Wajahnya pucat, dan badannya melemah. Sebagaimana sudah ditugaskan padanya, digariskan dalam garis takdirnya, dia harus menghalangi siapa pun memasuki hutan rimbun Onserva.

Tapi cinta sudah membutakannya. Dia ingat betapa tatapan pemuda itu menembus cepat tembok yang sudah dibangunnya tinggi nan kuat. Merembes, dan langsung merubuhkan. Trauma akibat dikutuk suami durhakanya seakan terhapus mudah. Sekali tatapan. Kutukan sang suami sederhana: dia hanya bisa mengulang kata terakhir yang didengarnya.
Rumah

Rumah

RumahKetika beranjak besar seusia tujuh sampai sekira sebelas tahun, aku lebih sering berada di luar rumah. Berkelana, bersepeda, bermain, mengembara bersama teman–teman. Favoritku: Mandi di sungai. Kadang, kami menyusuri aliran sungai yang diteduhi pohon bambu yang bengkok. Di bagian tengah hingga ujung bambu itu lalu terdapat beberapa ular aneka warna dan rupa yang bergelantungan. Dari gerak gemulai tubuhnya yang memanjang itu, mereka seakan bercanda bersama rekan ular lainnya.
Berkorban

Berkorban

SpiderManWell, korban lagi. Ya, saya sedang suka membahas korban. Unik, dan banyak sudut yang bisa diambil. Bukan karena saya sering merasa menjadi korban tentu, tapi karena korban sering kali diabaikan dalam beberapa pembahasan sejarah. Kita lebih sering membahas tentang pahlawan, bukan korban. Dan kita sering lupa bahwa pahlawan ada karena ada yang berkorban atau ada pengorbanan. Dalam prosesnya, sang pahlawan lupa bercerita bahwa keberadaannya dimungkinkan oleh orang yang rela berkorban.

Apa kecenderungan itu karena ada sesosok pahlawan dalam jiwa setiap orang? There's a hero inside of us? Retoris pertanyaan ini sebenarnya. Sebab, saya sendiri lebih suka menjadi pahlawan, bukan korban. Mungkin semua orang begitu. Pahlawan di dalam diri mungkin sejenis nafsul muthmainnah, hasrat untuk berbuat baik. Kita sering menyebutnya kata atau suara hati. Dan orang barat menyebutnya conscience.
R.is.MA

R.is.MA

“Kubuka album biru, penuh debu, dan usang” lantunku penuh sendu. “Kupandangi semua gambar diri. Kecil bersih, belum ternoda” lanjutku kemudian. Tidak ada nada yang mengiringi. Hanya suaraku. Seadanya. Cempreng, kata istriku tanpa basa-basi pada suatu waktu. Semua terdiam. Bukan karena terhanyut tentu. Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Menatap layar setiap waktu. Mengganti satu kata dengan satu kata lain, lalu merangkainya menjadi kalimat. Dan kalimat itu berbaris menjadi angka transferan setiap bulan.

Aku bahkan ragu apakah mereka sebenarnya mendengarku menyanyi atau tidak.
Expecto...

Expecto...

Kala perasaan sebagai korban terus menerus berkuasa atas segala, kebahagiaan seakan habis tak bersisa. Di dalam diri, hanya terdapat nestapa dan nelangsa yang seakan berduet sempurna. Aku lalu menjadi lebih pendiam, lebih tak banyak bicara. Hasrat untuk meraih sesuatu tiba-tiba lenyap saja. Tanpa sisa.

Ketika rasa itu timbul, dan simpati dapat diraih, ketagihan pun muncul. Aku lantas menjadi sering mencari iba. Mencari simpati. Menciptakan drama-drama dalam cerita. Semakin candu itu menguasai diri, semakin tenggelamlah dalam nuansa-nuansa melankolis tanpa tepi. Mirip benang kusut yang terangkai dalam lingkaran setan. Rumitnya amit-amit.

retrieved from: http://bit.ly/1JmQtbM
retrieved from: http://bit.ly/1JmQtbM
Konflik batin akibat salah persepsi terhadap diri sendiri plus derita kalbu yang menyertainya menyedot habis semua kebahagiaan. Tidak hanya kebahagiaan diri sendiri, tapi juga kebahagiaan orang di sekitar. Mengiba sebetulnya hanya menghasilkan derita. Dan kadang penderitaan membuat orang ketagihan. Itu rumus mutlak yang kebenarannya hampir pasti. Mungkin paduan dari semua perasaan itu mirip dementor, sesosok iblis yang menyedot habis semua kebahagiaan dan kenangan indah kita. Sosok Dementor yang diciptakan JK Rowling itu benar-benar pas menggambarkan kesedihan membatu akibat kebodohan diri memilih persepsi, dan kesedihan itu melahap habis semua kebahagiaan.
KORBAN-is-ME

KORBAN-is-ME

Meratapi kekurangan, menangisi nasib sial, lalu menceritakannya kemana-mana demi mengais simpati merupakan kewajiban tiap kali bertemu orang baru. Orang lama pun tak luput menjadi sasaran kegelisahan diri. Semakin banyak bercerita, semakin besar keinginan untuk dipahami. Dimaklumi. Disenangi. Di antara cerita-cerita yang ditebarkan sedemikian rupa itu, bumbu-bumbu drama tak lupa diselipkan. Kebohongan kadang ikut serta. Hendak menciptakan efek yang lebih greget. Lebih ingin menimbulkan rasa kasihan. Mungkin saat itu, ketagihan memelas sedang mencapai puncak.

ayahSemakin banyak orang yang simpati, semakin besar keinginan untuk bercerita kepada lebih banyak orang. Meratapi nasib sendiri. Mengasihani diri seakan-akan tidak ada orang yang lebih menderita. Pada akhirnya, tidak semua orang memberi tanggapan serupa. Bila bertemu orang yang tidak memberikan simpati dan empati yang sama seperti yang diharapkan, hendak menyadarkan bahwa tak pantas rasanya aku dikasihani, semakin diri merasa terpojok. Semakin melas.
Beda

Beda

Lahir dan besar di sebuah lingkungan petani di desa yang mensyaratkan kekuatan dan kecerdasan fisik prima membuatku sering bertanya-tanya: mengapa aku berbeda. Di tengah anak-anak dengan kelincahan fisik hampir sempurna, aku hampir selalu menjadi nomor kesekian. Lecak begitu mereka memanggilku. Lecak adalah kata dalam bahasa Madura yang selalu diucapkan banyak orang di lingkunganku itu. Seperti agar-agar, ucap salah satu temanku menggambarkan kata lecak itu. Dengan kekuatan fisik seadanya, boleh dikata mendekati lemah, aku hampir tanpa harapan saat itu.

bedaDalam permainan kasti misalnya, aku hampir menjadi langganan objek penderita. Dalam kebanyakan kejadian, akulah anggota tim yang terakhir dipilih, dan diharapkan tersisih karena tidak ada lawan pembandingnya. Dan setelah masuk tim pun, aku biasanya ditunjuk menjadi pemukul bola kasti nomor dua dari akhir. Mengapa nomor dua dari akhir? Ya, karena di situ konsentrasi lawan sedang agak lemah sehingga aku bisa selamat dari lemparan bola kasti. Mengapa bukan yang terakhir? Karena pemukul paling akhir adalah pemukul paling kuat, dan sebab itu dalam karier permainan kastiku aku tidak pernah menjadi pemukul terakhir itu.
Hadir

Hadir

Semilir angin menerpa muka. Deru air perlahan stabil di kubangan sungai bagian tengah Songa, sebuah jalur rafting yang begitu terkenal di Probolinggo. Boat perlahan bersandar, dan sang guide menurunkan kami di sana. Di gazebo sederhana, sudah tersedia minuman jahe bersama satu potong pisang goreng yang disajikan masyarakat lokal.

Minuman jahe dan pisang goreng hangat adalah kombinasi sempurna setelah separuh perjalanan mengarungi arus sungai Pekalen, menikmati air terjun yang menerpa helm dengan kekuatan penuh, seakan kepala dimartil dengan palu Thor. Menikmati bunyi kelelawar marah yang kami ganggu, dan sebagai gantinya mereka dengan begitu semangatnya mengencingi air yang mungkin tanpa kami sadari kami sesapi sedikit demi sedikit. Dan untunglah, itu tidak menjadikan kami batman jadi-jadian.